Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk membahas kembali Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada Juli nanti. Namun, akan lebih baik jika pembuat UU juga merevisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selain Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat juga didorong untuk secepatnya merevisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Pasalnya, banyak problem penegakan hukum di Indonesia yang bersumber pada hukum acara atau hukum formil, bukan pada hukum materiilnya. Jika tak bisa dibahas terlebih dahulu, revisi KUHAP sebaiknya dibahas bersama-sama dengan revisi KUHP.
Sebelumnya, dalam rapat kerja 9 Juni lalu, Komisi III DPR bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sepakat untuk memasukkan kembali RKUHP dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Menurut rencana, pemerintah akan menyerahkan draf terbaru RKUHP pada Juli mendatang. Pemerintah juga menargetkan draf RKUHP selesai dibahas dan dapat disahkan pada Desember 2021.
Ketua Bidang Humas DPP Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Erwin Natosmal Oemar saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (25/6/2021), mengatakan, ada sejumlah persoalan di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berlaku saat ini. Menurut dia, KUHAP lebih menitikberatkan fungsi negara yang lebih besar dibandingkan perlindungkan terhadap hak warga negara. Ini terlihat dalam ketentuan penahanan, penangkapan, dan penyitaan. Kontrol masyarakat dan mekanisme checks and balances antarpenegak hukum sangat minim.
”Memang praperadilan ada, tapi fungsinya tidak terlalu efektif. Praperadilan lebih kepada post factum dan pasif. Perlindungannya lebih lemah dibandingkan hukum acara sebelum KUHAP (Herzien Inlandsch Reglement/HIR) yang mengatur hakim komisaris, di mana setiap proses penangkapan dan penahanan harus mendapat persetujuan dari hakim sebelum diberlakukan kepada warga negara,” ujar Erwin.
HIR merupakan hukum acara dalam persidangan perkara perdata ataupun pidana bagi penduduk pribumi yang berlaku di Pulau Jawa dan Madura pada zaman penjajahan Belanda. Pada masa kemerdekaan, HIR masih tetap berlaku berdasarkan aturan peralihan UUD 1945. Hukum acara itu kemudian tidak berlaku lagi setelah diundangkannya KUHAP pada tahun 1981.
Erwin mengakui, KUHAP mengenal lembaga praperadilan. Meskipun sudah lama ada, praperadilan baru efektif sekitar lima tahun terakhir pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2016 yang memperluas kewenangan lembaga ini. MK mengamini putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam perkara praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan atas penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2015.
”Meskipun demikian, lembaga ini hanya mengatur sebagian kecil dari isu perlindungan hak-hak warga negara dalam proses hukum dibandingkan dengan standar internasional yang ada soal fair trial,” ujarnya.
Permasalahan lain, tambah Erwin, adalah terdapat dualisme penegakan hukum di Indonesia, yaitu antara penyidik dan penuntut umum. KUHAP yang berlaku saat ini menganut asas diferensiasi fungsional sehingga setiap lembaga membuat standar dan mekanisme sendiri dalam penegakan hukum. Implikasinya, tidak ada lembaga yang merasa paling bertanggung jawab dalam penegakan hukum. Terkadang, penuntut umum merasa tidak bertanggung jawab terhadap proses peradilan karena merasa hanya bagian kecil dari proses.
Hal itu juga berakibat pada tidak ada kesamaan standar dalam setiap tahap penegakan hukum. Tiap lembaga membuat standar sendiri melalui peraturan Kapolri, peraturan Jaksa Agung, dan peraturan Mahkamah Agung. Salah satu contohnya adalah mengenai isu korporasi dan keadilan restoratif, yaitu setiap lembaga memiliki standar dan ukurannya sendiri-sendiri. Dalam praktiknya, hal ini menimbulkan kerumitan tersendiri bagi pencari keadilan.
Namun, pengajar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, tak sependapat bahwa revisi KUHAP perlu didahulukan. Menurut dia, tidak ada persoalan jika KUHP direvisi terlebih dahulu.
”Jika harus ada prioritas, menurut saya KUHP bisa diselesaikan lebih dahulu. Karena KUHP itu masih peninggalan Belanda. Banyak nilai yang sudah tidak cocok dengan zaman sekarang, sedangkan KUHAP bisa menyusul bagian-bagian mana yang harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. KUHAP itu bisa parsial atau bisa dipersoalkan melalui Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menjelaskan, ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana di Indonesia berasal dari zaman Romawi, yang kemudian dibawa ke Perancis dan baru diadopsi Belanda. Belanda kemudian memberlakukannya di negara jajahan, termasuk Indonesia. ”Jadi, ini (KUHP) yang urgen. Banyak nilai yang sudah tidak sesuai,” ujarnya.
Buka draf RKUHP
Langkah pemerintah menyosialisasikan RUKHP dinilai tidaklah cukup untuk menunjukkan transparansi dalam proses penyusunan regulasi. Sebelum mengusulkan ke DPR, pemerintah perlu memublikasikan draf RKUHP sekaligus membuka seluas-luasnya ruang bagi partisipasi masyarakat.
Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi menilai sangat keliru jika tim pemerintah menunda-nunda membuka draf terbaru RKUHP dengan alasan belum diserahkan kepada DPR. Sebab, proses pembentukan undang-undang tidak hanya terlaksana saat pembahasan antara pemerintah dan DPR. Proses pembahasan sudah dimulai sejak fase persiapan, yakni saat pengusul RUU menyiapkan draf atau rumusannya. Dalam fase ini, ruang transparansi dan partisipasi publik harus dibuat terbuka oleh pengusul.
Pemerintah perlu membuka ruang partisipasi publik yang luas apabila RKUHP berhasil masuk Prolegnas Prioritas 2021. Penolakan pengesahan RKUHP pada September 2019 membuktikan bahwa publik mengawal dengan ketat dan ingin terlibat dalam pembahasan.
Ruang partisipasi publik itu, menurut Fajri, juga perlu dibuka seluas-luasnya bagi kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas yang memerlukan aksesibilitas dalam berpartisipasi secara penuh dan maksimal. Penyediaan juru bahasa isyarat dalam tiap forum publik dan draf RKUHP untuk penyandang disabilitas netra juga penting demi partisipasi yang lebih inklusif.
Seperti diketahui, dalam beberapa waktu terakhir, pemerintah telah menggelar sosialisasi di 12 kota. Sosialisasi terakhir dilakukan di Jakarta pada 14 Juni lalu.
Oleh karena itu, ia menilai, pemerintah dan DPR tak perlu tergesa-gesa memasukkan RKUHP dalam Prolegnas 2021. Masih banyak RUU lain yang belum tuntas dibahas yang sudah terlebih dahulu masuk Prolegnas 2021. Selain itu, menurut Fajri, pemerintah perlu menyerap masukan dari berbagai pihak semaksimal mungkin agar persiapan RKUHP lebih matang untuk kemudian diusulkan masuk dalam Prolegnas 2022.