Kepercayaan Publik terhadap Kejaksaan Dipertaruhkan

Kejaksaan belum juga mengambil sikap terkait putusan banding Mahkamah Agung yang memangkas hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Janji kejaksaan menindak jaksa-jaksa yang dianggap nakal dipertanyakan.

Kompas/Wawan H Prabowo

Bekas Kepala Subbagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Pinangki Sirna Malasari berjalan keluar dari ruang sidang setelah mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu (2/12/2020). Jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung hari itu kembali menghadirkan sejumlah saksi untuk didengar keterangannya dalam perkara suap fatwa Mahkamah Agung yang menjerat Pinangki Sirna Malasari. Pinangki diduga menerima hadiah sebesar 500.000 dollar AS atau Rp 7 milliar dari terpidana kasus hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra.

JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaaan Agung ditantang untuk membuktikan bahwa lembaganya tidak menolerir jaksa-jaksa yang dianggap nakal. Kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum tersebut diuji dalam kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari.

Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari, saat dihubungi pada Rabu (23/6/2021) mengatakan, kepercayaan publik terhadap kejaksaan dipertaruhkan dalam menangani kasus Pinangki. Terkait dengan vonis banding yang mengurangi hukuman Pinangki, kejaksaan perlu mengkaji secara mendalam apakah potongan hukuman tersebut didasari pertimbangan hukum yang kuat.

”Jika menurut kejaksaan ada alasan hukum yang kuat untuk mengajukan kasasi, hal tersebut harus dilakukan. Namun, jika (putusan itu) dianggap memiliki landasan hukum yang kuat, kejaksaan wajib memberikan penjelasan kepada publik agar publik tidak berprasangka buruk,” tutur Taufik.

Sebelumnya, Pengadilan Tinggi DKI mengurangi hukuman Pinangki dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Dalam pertimbangannya, majelis hakim yang diketuai oleh Muhammad Yusuf tersebut menyebutkan bahwa Pinangki telah mengaku bersalah dan menyesali perbuatan, Pinangki merupakan seorang ibu dari anak balita, Pinangki adalah perempuan yang perlu mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan adil. Selain itu, majelis hakim juga mempertimbangkan keterlibatan pihak lain yang turut bertanggung jawab dalam perkara suap pengurusan fatwa bebas Djoko S Tjandra, terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali.

ABBA GABRILLIN/KOMPAS.COM

Taufik Basari, Ketua DPP Partai Nasdem

Putusan PT DKI Jakarta tersebut sama dengan tuntutan jaksa, yaitu pidana penjara 4 tahun dan Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. PT DKI Jakarta menilai Pinangki terbukti bersalah dalam tiga tindak pidana sekaligus, yaitu suap, tindak pidana pencucian uang, dan permufakatan jahat.

Baca Juga: Diskon Vonis Pinangki yang Tak Mengejutkan

Menurut Taufik Basari, kejaksaan memang memiliki dilema dalam perkara Pinangki karena putusan pengadilan tingkat pertama sebenarnya lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Pengadilan tingkat banding justru mengembalikan vonis sama dengan tuntutan jaksa. Karena itu, kejaksaan harus mampu menunjukkan sikap profesional sehingga publik dapat percaya pada keputusan yang akan diambil oleh pihak kejaksaan dalam putusan banding Pinangki.

Secara terpisah, pakar pidana Universitas Parahyangan, Bandung, Agustinus Pohan, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa Mahkamah Agung (MA) tidak akan bisa mengubah vonis yang dijatuhkan kepada Pinangki oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Sebab, MA merupakan judex juris yang mengadili penerapan hukum dan bukan pengadilan fakta. Dengan demikian, urusan berat ringannya hukuman bukan menjadi kewenangan MA.

Padahal, menurut dia, hukuman 4 tahun yang dijatuhkan kepada Pinangki terlampau ringan. Sebab, perbuatan Pinangki tergolong ekstrem. Pinangki selaku penegak hukum bekerja sama dengan seorang kriminal untuk mengalahkan hukum.

KOMPAS/SHARON PATRICIA

Dosen Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan

”Ini bukan cuma suap, melainkan mengkhianati pekerjaan dia, mengkhianati kepercayaan masyarakat, mengkhianati hukum,” ujarnya.

Selain itu, ia juga menilai tidak adanya alasan kuat untuk mengubah hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun. ”Apakah pasalnya ganti, pasal yang dulu tidak tepat, kemudian dikenakan satu pasal yang ancaman hukumannya lebih ringan. Kalau memang karena itu, ya, tinggal dilihat secara teknis aturan hukumnya benar atau tidak. Namun, yang berkembang di media, kan, alasannya karena yang bersangkutan perempuan. Itu tidak tepat. Ada berapa banyak perempuan yang dihukum mati di Indonesia,” ujarnya.

Agustinus Pohan mencium adanya bau yang tidak sedap dalam perkara Pinangki. ”Tapi, kita enggak punya fakta, apakah ini ada kaitannya sama petinggi. Apakah ini ada kaitannya dengan kekuasaan. Tapi saya mau mengatakan, inilah white collar crime. Ketika kita perangi white collar crime, yang begini selalu terjadi dan sering kali penegak hukum kalah,” ujarnya.

Baca Juga: Publik Gelisah karena Diskon Vonis Jaksa Pinangki

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa saat ini Indonesia sedang menyaksikan betapa white collar criminal mampu mempengaruhi jalannya penegakan hukum. Dan, apabila dibiarkan, hal tersebut akan menjadi preseden. Masyarakat akan membanding-bandingkan putusan Pinangki dengan putusan lain, seperti Angelina Sondakh, yang dihukum 12 tahun penjara meskipun dia perempuan dan punya anak balita.

”Yang saya khawatirkan adalah penegakan hukum dipengaruhi oleh kekuatan politik sehingga dari waktu ke waktu berubah, tergantung relasi politiknya, relasi dengan kekuasaan. Kalau itu yang dibaca, terus di mana ada keadilan?” kata Agustinus Pohan.

Jelaskan ke publik

Kompas

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto

Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto mengatakan, disparitas tuntutan dan hukuman yang dijatuhkan kepada Pinangki harus dijelaskan kepada publik. Sebab, terjadi gap tuntutan dan hukuman yang dijatuhkan pada Pinangki dibandingkan dengan para tersangka pada kasus-kasus serupa.

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, sangat wajar publik mempertanyakan penanganan Pinangki. Selain karena perkara ini melibatkan oknum penegak hukum yang bahu-membahu membantu pelarian buronan, irisan lain juga menyasar pada kejanggalan penanganan perkara itu sendiri di Kejaksaan Agung.

Kejanggalan itu terjadi mulai dari rencana pemberian bantuan hukum dari Persatuan Jaksa Indonesia, keluarnya surat pedoman pemeriksaan jaksa mesti seizin Jaksa Agung, tidak mendalami keterangan Pinangki ihwal penjamin ketika ia bertemu dengan Joko S Tjandra saat masih menjadi buronan kasus korupsi hak tagih Bank Bali, hingga enggan untuk melimpahkan penanganan perkara ke KPK. Belum lagi perihal rendahnya tuntutan jaksa penuntut umum kepada Pinangki.