Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Tak Masuk Rencana Aksi Nasional 2021-2025
Penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tidak masuk dalam daftar prioritas Rencana Aksi Nasional HAM 2021-2025. Para korban tetap akan meminta pertanggungjawaban kepada negara.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia kembali dipertanyakan. Daftar prioritas dalam rencana aksi nasional HAM selama lima tahun ke depan tidak menyasar pelanggaran HAM berat masa lalu yang selama ini masih menggantung.
Anggota Staf Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jane Rosalina, mengatakan, penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 53 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (Ranham) Tahun 2021-2025 merupakan kemunduran dalam penyelesaian kasus HAM berat. Sebab, regulasi itu menghilangkan 12 kasus HAM berat masa lalu dari daftar prioritas.
Sebanyak 12 kasus yang dimaksud di antaranya kasus 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Talangsari 1989, Trisakti dan Semanggi I dan II 1998-1999, kerusuhan Mei 1998, serta Wasior 2001 dan Wamena 2003. Selain itu, kasus pembunuhan dukun santet 1998, simpang KAA 1999, Jambu Keupok 2003, rumah geudong 1989-1998, dan peristiwa Paniai.
”Ranham 2021-2025 sama sekali tidak memuat pelanggaran HAM berat masa lalu, bahkan jauh dari menjawab pelanggaran HAM lainnya yang menjadi prioritas program pemerintah,” kata Jane dalam diskusi daring berjudul ”Pernah Masuk Ranham Saja Dilupakan, Lebih Lagi Tidak”, Rabu (23/6/2021).
Merujuk Pasal 3 Perpres No 53/2021, penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan HAM ditujukan pada empat kelompok sasaran. Kelompok yang dimaksud terdiri dari perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan kelompok masyarakat adat.
Padahal, dalam Perpres Nomor 33 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 75 Tahun 2015 tentang Ranham 2015-2019 terdapat pembahasan mengenai ratifikasi Konvensi Anti-penghilangan Paksa. Optimalisasi koordinasi penanganan dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu juga disebut secara spesifik.
Menurut Jane, hal ini menandakan bahwa rezim saat ini menganggap isu pelanggaran HAM sebatas komoditas. Masih terjadi tebang pilih isu untuk melegitimasi kepemimpinan penguasa dengan cara memilih isu mikro yang bebas dari risiko stabilitas politik. Padahal, persoalan HAM merupakan satu kesatuan yang saling terkait.
Konsisten
Maria Katarina Sumarsih, keluarga korban Semanggi I, mengatakan, hilangnya penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dari Ranham 2021-2025 menunjukkan ketidaktegasan negara. Berulang kali pemerintah berjanji untuk menuntaskan sejumlah kasus tersebut, tetapi kebijakannya justru bertentangan.
”Bagaimana sikap kami keluarga korban ketika berpengalaman berkali-kali dibohongi, apakah kami akan diam saja? Tentu saja tidak. Saya tidak akan bosan, tidak akan malu untuk terus menyuarakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat karena nyawa manusia itu sangat berharga di mata Tuhan, begitu juga di mata manusia,” kata Sumarsih.
Ia melanjutkan, penghormatan dan perlindungan HAM diatur dalam konstitusi. Oleh karena itu, ia tidak akan pernah berhenti menuntut pertanggungjawaban negara meski pemimpinnya terus berganti.
Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 65) Bedjo Untung menyatakan kecewa dengan penyusunan Perpres No 53/2021. Dengan peraturan tersebut, kebijakan penyelesaian kasus HAM berat menjadi tidak terarah. ”Saya jadi bertanya, bagaimana kelanjutan kasus kami? Para korban 65 sudah berusia lanjut, sakit-sakitan, dan hidup dalam penderitaan luar biasa,” ujarnya.
Sekalipun tidak diprioritaskan, kata Bedjo, para korban dan masyarakat sipil akan tetap menuntut pertanggungjawaban negara. Salah satunya dengan merencanakan gugatan warga atau class action terhadap negara yang tidak melaksanakan komitmennya.
Tidak diabaikan
Dihubungi secara terpisah, Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, penetapan fokus empat kelompok sasaran Ranham 2021-2025 tidak serta-merta berarti pemerintah mengabaikan kewajiban pada sasaran lainnya. Pihaknya tengah menggodok langkah relevan lain agar seluruh kelompok strategis turut mendapatkan penghormatan, perlindungan, pemenuhan, penegakan, dan pemajuan atas HAM.
”Dalam konteks kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, Presiden telah memberikan arahan secara langsung, baik kepada Menko Polhukam maupun Menkumham, untuk menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu ini. Tim di bawah koordinasi Menko Polhukam telah bekerja, bukan hanya lintas kementerian dan lembaga pemerintahan, melainkan juga melibatkan mitra strategis lainnya dalam meminta masukan dan menyerap aspirasi publik, seperti akademisi, praktisi, NGO, dan media,” kata Jaleswari.
Ia menjelaskan, korban pelanggaran HAM berat tidak dimasukkan sebagai kelompok sasaran Ranham 2021-2025 karena tengah disasar melalui kebijakan khusus yang sedang diselesaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD serta Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej. Sesuai arahan Presiden, kebijakan itu fokus pada pemenuhan hak-hak korban yang diatur dalam peraturan dan norma HAM internasional.
Hal itu mencakup pemulihan atau reparasi, kebenaran, dan jaminan ketidakberulangan. ”Ini sejalan dengan pendekatan pemerintah dalam penegakan hukum yang memprioritaskan keadilan restoratif,” kata Jaleswari.
Selain itu, lanjutnya, penanganan pelanggaran HAM berat akan diselesaikan dengan mekanisme ad hoc, nonpermanen, dan khusus, seperti dilakukan di berbagai negara. berbeda dengan Ranham yang bersifat permanen dan berkesinambungan.
Meski demikian, masih terbuka ruang adanya peninjauan kembali terkait kelompok sasaran apabila diperlukan. Selain keluarga korban pelanggaran HAM berat, kelompok masyarakat lain juga tidak ditinggalkan. ”Ibu dan bapak keluarga korban tidak perlu khawatir akan dikecualikan dalam program dan kebijakan HAM pemerintah,” ujarnya.