Imigrasi diharapkan menelusuri dokumen pendukung yang digunakan terpidana kasus pembalakan liar Adelin Lis dalam membuat paspor. Dokumen pendukung diduga dipalsukan, dan jika benar, aparat hukum bisa memidanakannya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Imigrasi diharapkan menelusuri dokumen pendukung yang digunakan terpidana kasus pembalakan liar Adelin Lis dalam membuat paspor. Adelin yang buron selama 13 tahun pernah empat kali memegang paspor RI, tiga di antaranya dengan nama Hendro Leonardi.
Seperti diberitakan sebelumnya, Adelin tiba di Jakarta pada Sabtu (19/6/2021) malam seusai dideportasi dari Singapura. Ia menjadi buron setelah Mahkamah Agung memvonisnya 10 tahun penjara dalam kasus pembalakan liar di Mandailing Natal, Sumatera Utara, pada 2008.
Otoritas Keimigrasian Singapura (ICA) sudah empat kali berkirim surat ke otoritas Indonesia untuk meminta klarifikasi soal identitas Adelin Lis antara 2018 dan 2021. Namun, pihak berwenang Indonesia baru merespons pada Maret 2021 setelah diperingatkan ICA (Kompas, 22/6/2021).
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, paspor yang dimiliki Adelin diduga palsu pada datanya. ”Itu kaitannya dengan data kependudukan di catatan sipil seperti kartu keluarga,” kata Robert saat dihubungi di Jakarta, Selasa (22/6/2021).
Robert mendorong agar Imigrasi serta Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri menelusuri dokumen kependudukan atas nama Hendro Leonardi yang digunakan Adelin untuk membuat paspor sebanyak tiga kali.
Menurut Robert, seharusnya dokumen kependudukan di Dukcapil dan Imigrasi terintegrasi sehingga dapat sinergi dalam berkoordinasi. Karena itu, ia berharap, ditelusuri data yang menjadi pangkal permasalahan dan yang dipalsukan. Jika memang kasus ini masuk pada ranah pidana, kepolisian bisa mengusutnya.
Ia menegaskan, persoalan pemalsuan data paspor tersebut seharusnya tidak terjadi. Sebab, verifikasi dalam perekaman data paspor menggunakan data biometrik seperti sidik jari. Bahkan, selain menggunakan data kependudukan, pembuat paspor juga diminta membawa data lainnya seperti ijazah.
Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Arya Pradhana Anggakara mengatakan, hingga saat ini, Imigrasi bekerja sama dengan Ditjen Dukcapil sedang mendalami keabsahan data diri atas nama Hendro Leonardi. Penelusuran tersebut dilakukan pada kartu tanda penduduk (KTP), surat bukti perekaman KTP elektronik, kartu keluarga, akta kelahiran, dan surat pernyataan ganti nama.
Sementara itu, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrullah mengatakan, pihaknya masih mengecek bagaimana Adelin bisa memiliki kartu identitas dengan nama Hendro Leonardi.
Adapun terkait lambatnya respons dari otoritas di Indonesia terkait permintaan klarifikasi soal identitas Adelin Lis dari ICA Singapura, pengajar hukum pidana Universitas Trisakti, Jakarta, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan, pejabat aparatur pemerintahan sepatutnya menumbuhkan semangat untuk menangkap buron.
Fakta bahwa otoritas di Indonesia tak cepat merespons permintaan ICA Singapura, bisa mengindikasikan bahwa aparatur di Indonesia sudah dikuasai mafia. Alhasil, kepekaannya seperti terhambat dan terganggu.
”Menjadi sangat mungkin, mereka telah menerima suap dari sang buron dengan kompensasi melambatkan penangkapan. Kebobolan di sana-sini sebenarnya akibat sikap aparatur dalam negeri sendiri,” kata Fickar.
Menurut Fickar, hal tersebut bisa menjadi dasar bagi publik menduga Imigrasi sengaja akan menutupi kasus Adelin. Karena itu, Fickar mendorong kejaksaan bersama kepolisian menyelidiki kasus ini untuk memastikan adanya tindak pidana dan pelaku baru.
Kompas sudah meminta tanggapan dari Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dan Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Agus Andrianto terkait penelusuran dokumen yang digunakan Adelin untuk membuat paspor, tetapi tidak direspons. Sebelumnya, Agus mengatakan sedang mendalami dugaan paspor palsu milik Adelin Lis.