Masih banyak warga yang cenderung belum memahami rencana pemerintah mengajukan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Diseminasi draf RUU ini perlu diperluas agar rencana ini tidak melahirkan kegamangan di publik.
Oleh
Arita Nugraheni/Litbang Kompas
·5 menit baca
Kecenderungan publik yang belum memahami Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP terekam dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu. Mayoritas responden (78,8 persen) menyatakan tidak mengetahui rencana revisi tersebut. Hanya sebagian kecil responden yang mengaku tahu hal ini, terutama terkait pasal-pasal pidana pada penyerangan martabat presiden dan wakil presiden.
Padahal, dalam kurun waktu 23 Februari hingga 14 Juni 2021, pemerintah melakukan sosialisasi penyusunan RKUHP di 14 kota. Diskusi publik ini diikuti oleh pemerintah daerah, kepolisian daerah, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan masyarakat. Bahkan pemerintah saat ini sedang mereformulasi pasal-pasal di draf RKUHP sebelum disampaikan ke Badan Legislasi DPR.
Kelompok responden yang mengikuti isu ini juga belum merata di semua lapisan masyarakat. Isu RKUHP lebih banyak dikonsumsi kelompok elite. Mereka yang berpendidikan tinggi memang lebih banyak memahami isu ini dibandingkan dengan kelompok responden berpendidikan menengah dan pendidikan rendah. Kelompok responden yang mengetahui RKUHP umumnya tahu dari pemberitaan di media massa dan dari media sosial.
Kurang masifnya pemahaman publik terhadap RKUHP juga sejalan dengan laporan Kompas soal sosialisasi RKUHP di Jakarta pertengahan Juni lalu. Perwakilan masyarakat sipil memberi catatan bahwa komposisi peserta sosialisasi dinilai belum inklusif melibatkan peserta dari elemen masyarakat (Kompas, 15/6/2021).
Bagaimanapun, sosialisasi menjadi salah satu kanal utama untuk menyerap aspirasi publik. Sayangnya, sosialisasi yang sejatinya merupakan pengulangan pembahasan dari RKUHP yang sempat ditunda pengesahannya pada September 2019 ini belum menunjukkan perbaikan dalam memberikan ruang partisipasi secara luas bagi publik.
Proses legislasi pembahasan RKUHP pada 2019 sudah sampai pada tahap persetujuan tingkat I. Namun, pengesahannya dibatalkan atas perintah Presiden Joko Widodo, dipicu oleh penolakan publik melalui unjuk rasa yang terjadi di sejumlah daerah.
Salah satu tuntutan pembatalan RKUHP pada 2019 terkait pasal-pasal yang menyangkut tindak pidana pada penyerangan martabat dan kehormatan presiden dan wakil presiden. Isu ini termuat dalam Pasal 218 sampai Pasal 220. Pasal ini menyebutkan soal hukuman pidana 3,5 tahun bagi orang yang menyerang kehormatan, harkat, dan martabat presiden dan wakil presiden. Pasal-pasal ini dinilai oleh Institute for Criminal Justice Reform berpotensi mengekang kebebasan sipil dan demokrasi (Kompas, 16/6/2021).
Pasal lain yang turut disorot adalah terkait penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Isu ini termaktub dalam Pasal 353-354. Masyarakat yang melakukan penghinaan pada penyelenggaraan negara dikenai pidana 1,5 tahun dan bagi yang menyebarkan dikenai 2 tahun penjara. Dalam pasal tersebut juga disebutkan, orang yang perbuatannya mengakibatkan kerusuhan dapat dipenjara hingga 3 tahun.
Salah satu keberatan yang disampaikan pada pembahasan RKUHP tahun 2019 ialah terkait pasal-pasal yang berpotensi mengkriminalisasi pers. Bagaimanapun, insan pers mengemban tugas melakukan kontrol dan koreksi sebagai bagian dari proses demokrasi yang menuntut adanya check and balance.
Penghinaan
Dalam jajak pendapat ini, secara umum publik tampak lebih mengamini perlunya pengaturan atas adanya penghinaan terhadap presiden/wakil presiden.
Sebanyak 57,8 persen responden setuju ada pasal di RKUHP yang mengatur soal penghinaan/menyerang martabat kepala negara dan 36,3 persen tidak setuju.
Publik tampaknya tetap memandang kebebasan berbicara harus memiliki batas toleransi tertentu sesuai asas kepatutan dalam masyarakat. Seperti, misalnya, kritik yang menyerang pribadi presiden/keluarganya, menyerang secara fisik ataupun ujaran kebencian dinilai sebagai upaya penyerangan terhadap kehormatan dan martabat kepala negara.
Kecenderungan publik untuk membatasi kebebasan berbicara yang ”kebablasan” juga tampak dalam persetujuan 62 persen responden yang menilai bahwa kebebasan berbicara tidak bisa sebebas-bebasnya seperti dalam masyarakat liberal. Dalam bentuk masyarakat liberal, warga bebas melakukan kritik hampir apa pun terhadap presiden sesuai dengan prinsip kebebasan berbicara yang dianut hukum positif dan norma masyarakatnya.
Meski demikian, belum adanya penjelasan yang komprehensif terhadap pasal ini membuat publik khawatir pada potensi pelanggaran kebebasan pendapat atas berlakunya aturan ini. Hal ini tecermin dari sikap 41,5 persen responden yang masih khawatir pasal tersebut akan membatasi kebebasan berpendapat.
Masih mengambangnya batasan di pasal-pasal itu tentu akan menimbulkan perdebatan multitafsir antara mana batasan mengkritik, menghina, menyerang dan mana yang masih dibolehkan secara hukum positif.
Di benak mereka, pasal-pasal ini berpotensi mengganggu kebebasan berekspresi. Apalagi jika ada pemahaman bahwa memberikan kritik kepada pemerintah rentan digolongkan sebagai penghinaan.
Responden setuju ada upaya melindungi marwah lembaga negara, tetapi di sisi lain juga khawatir hal itu akan mengganggu kebebasan berekspresi. Apalagi upaya melindungi penyelenggara negara dalam sejumlah pasal di RKUHP ini sebenarnya bukan barang baru. Kepentingan untuk melindungi nama baik orang atau lembaga sebenarnya sudah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta KUHP.
Sosialisasi dan diseminasi
Pada UU ITE, kepolisian membentuk polisi virtual yang bertugas mengatur ekosistem berpendapat di ranah maya. Pada tahun awal pembentukan polisi virtual, sebagian publik masih khawatir kombinasi antara UU ITE dan polisi virtual bisa mencederai kebebasan berekspresi.
Hal ini tecermin dari jajak pendapat Kompas pada 23-25 Maret 2021 yang menyebut 34,3 persen responden merasa khawatir kehadiran polisi virtual ini akan mengancam kebebasan berpendapat di media sosial. Meski demikian, memang lebih banyak responden (53,6 persen) yang menilai sebaliknya. Artinya, soal tafsir ancaman kebebasan berpendapat ini memang sarat tarik-menarik persepsi publik.
Untuk itulah, diseminasi RKUHP oleh pemerintah menjadi penting dilakukan saat ini. Apalagi, modal sosial pemerintah cukup menjadi pijakan untuk melibatkan publik.
Separuh bagian responden dalam jajak pendapat ini meyakini, pemerintah tidak akan menutup telinga atas berbagai aspirasi publik yang muncul. Dalam konteks RKUHP ini, pemerintah diyakini akan lebih mendengarkan pendapat dan masukan publik sebagai bagian dari membangun demokrasi itu sendiri.