Transaksi Keuangan Mencurigakan di Papua Jadi Perhatian PPATK
PPATK menemukan setidaknya 53 orang yang berasal dari kalangan pejabat pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan, dan rekanan pemerintah daerah di Papua yang terlibat dalam transaksi mencurigakan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan melaporkan setidaknya 80 hasil analisis transaksi mencurigakan terkait penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta dana otonomi khusus Papua. Transaksi mencurigakan itu diduga merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae, dihubungi dari Jakarta, Senin (21/6/2021), mengatakan, Papua merupakan salah satu daerah yang menjadi perhatian PPATK 10 tahun ke belakang. Selama itu pula, pihaknya telah menyampaikan lebih dari 80 laporan hasil analisis dan pemeriksaan transaksi keuangan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan kepolisian.
Dalam laporan tersebut, PPATK menemukan setidaknya 53 orang yang berasal dari kalangan pejabat pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan, dan rekanan pemerintah daerah yang terlibat dalam transaksi mencurigakan. Transaksi yang menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) serta dana otonomi khusus (otsus) itu berpotensi merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Selain itu, lanjut Dian, pihaknya juga tengah memantau dugaan aliran dana dari anggota DPRD Tolikara dan Pemerintah Kabupaten Puncak, Papua, untuk mendanai pembelian senjata dan amunisi kelompok kriminal bersenjata (KKB). Hasilnya akan diserahkan kepada penegak hukum untuk melengkapi temuan di lapangan. ”Untuk sementara masalah ini (sumber dana pembelian senjata dan amunisi KKB) sedang dalam penelusuran, pemeriksaan, dan analisis,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, polisi mulai menguak sumber dana KKB untuk pembelian senjata dan amunisi. Berdasarkan keterangan Neson Murib, anggota jaringan pemasok senjata yang ditangkap Satgas Nemangkawi, Senin (14/6/2021), dirinya mendapat Rp 370 juta dari anggota DPRD Tolikara untuk membeli senjata api dan amunisi KKB di Timika. Sejumlah uang itu ia bawa saat ditangkap polisi.
Selain uang Rp 370 juta, polisi juga menemukan barang bukti lain. Salah satunya, catatan bantuan uang senilai Rp 600 juta dari Pemerintah Kabupaten Puncak.
Hingga saat ini, dugaan pendanaan KKB oleh politisi dan pemerintah daerah masih didalami. Kepala Kepolisian Daerah Papua Inspektur Jenderal Mathius Fakhiri menyatakan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah dalam mengusut kasus ini (Kompas.id, 17/6/2021).
Menurut Dian, penggunaan APBD dan dana otsus yang tak efisien berakibat pada pemerataan kesejahteraan masyarakat yang berjalan lambat. Karena itu, ia mendukung keputusan pemerintah menegakkan hukum kepada para pelanggar dan menerapkan pendekatan kesejahteraan kepada masyarakat Papua.
Dihubungi terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, dana yang mengalir kepada KKB untuk membeli senjata masih ditelusuri aparat. Ia pun belum bisa memastikan apakah dana yang dimaksud berasal dari APBD atau dana otsus.
Kemenko Polhukam senantiasa berkoordinasi dengan Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK untuk menindak seluruh pelanggaran hukum di Papua. Tidak terkecuali penggunaan dana otsus dan dana lain secara ilegal untuk tujuan yang melanggar hukum.
Mengenai aliran dana ilegal, Mahfud juga meminta Badan Intelijen Negara (BIN) dan PPATK untuk melacaknya. Sejauh ini, terdapat temuan bahwa aliran dana ilegal itu terkait dengan tindak pidana korupsi.
”Ada yang diduga korupsi berdasar temuan BPK yang dirujuk oleh BIN. Selanjutnya, menurut temuan PPATK, ada pencairan dana secara besar-besaran dan tunai dari bank, tetapi setelah itu tak jelas laporan pembelanjaannya,” ucapnya.
Sebelumnya, Mahfud mengatakan, ada 10 kasus korupsi besar di Papua yang tengah diselidiki penegak hukum. Ia menegaskan, seluruhnya akan diusut, termasuk soal sumber dana KKB. ”Papua akan kita bangun dalam bingkai kesejahteraan dan kedamaian. Penegakan hukum adalah bagian dari upaya membangun Papua yang damai dan sejahtera,” ujarnya.
Anggota Komisi II DPR dari daerah pemilihan Papua, Komarudin Watubun, mengatakan, aparat harus mengungkap sumber dana pembelian senjata dan amunisi KKB hingga tuntas. Tidak sekadar mengangkat persoalan ini ke permukaan hingga menjadi perbincangan publik, tetapi juga mempertanggungjawabkannya hingga bisa dibuktikan di pengadilan. Apalagi ini terkait dengan ancaman terhadap penegak hukum di lapangan.
Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menilai, isu korupsi dan penyalahgunaan dana otsus sudah berkali-kali diungkapkan pemerintah dan penegak hukum. Namun, bertahun-tahun seiring dengan pergantian pimpinan institusi penegak hukum dan Menko Polhukam, kasus-kasus itu belum pernah bisa dibuktikan.
”Tidak bisa lagi hanya angkat masalah, opini terbentuk, lalu habis tidak jelas ujung pangkalnya. Itu akan menghilangkan kepercayaan rakyat Papua terhadap aparat penegak hukum,” katanya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional yang juga anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, Guspardi Gaus, menambahkan, penyalahgunaan dana otsus sudah lama terindikasi sehingga manfaatnya pada masyarakat belum optimal. Ke depan, perlu ada pendampingan dari pemerintah pusat agar penggunaan dana tepat sasaran, yaitu untuk kepentingan masyarakat asli Papua.