Polri agar Tangani Dugaan Pemalsuan Dokumen Terkait Adelin Lis
Kepolisian diharapkan melakukan penegakan hukum terhadap dugaan pemalsuan dokumen paspor Adelin Lis, terpidana kasus pembalakan liar yang baru dideportasi ke Indonesia. Pemalsuan dokumen dinilai bukan delik aduan.
Oleh
SUSANA RITA/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendeportasian Adelin Lis, terpidana kasus pembalakan liar yang menjadi buron selama 13 tahun, ke Tanah Air perlu ditindaklanjuti dengan pengusutan secara tuntas penerbitan paspor Adelin dengan nama berbeda, yakni Hendro Leonardi. Penyelidikan itu penting guna mengungkap proses penerbitan dokumen kependudukan dan keimigrasian untuk Adelin serta mengusut pihak-pihak yang telah membantunya.
Adelin tiba di Jakarta pada Sabtu (19/6/2021) malam seusai dideportasi dari Singapura. Adelin merupakan buron kasus pembalakan liar di Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang divonis Mahkamah Agung 10 tahun penjara pada 2008. Ia lalu buron selama 13 tahun.
Adelin ditangkap Otoritas Imigrasi dan Pos Pemeriksaan (ICA) Singapura, 28 Mei 2018, karena menggunakan paspor Indonesia dengan identitas palsu, yakni Hendro Leonardi. Dengan paspor itu, Adelin empat kali memasuki Singapura dalam kurun waktu 2017-2018. Pada 9 Juni 2021, pengadilan Singapura menjatuhi Adelin dengan hukuman denda 14.000 dollar Singapura dan dideportasi.
Setelah tiba di Jakarta, Adelin dikarantina selama 14 hari di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejagung sebelum dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer, yang dihubungi, Minggu (20/6/2021), mengatakan, dengan tertangkapnya Adelin, kejaksaan akan fokus melaksanakan putusan MA. Ditanya soal tindak pidana lain yang diduga dilakukan Adelin selama pelariannya, seperti pemalsuan dokumen identitas diri sehingga mendapatkan paspor dengan identitas berbeda, dia menyatakan, Kejagung masih fokus pada pelaksanaan eksekusi.
”Kejaksaan fokus pada pelaksanaan eksekusi terpidana karena sudah cukup lama melarikan diri,” ujarnya.
Secara terpisah, Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Andi Rian R Djajadi ketika ditanya mengenai kemungkinan penyelidikan dugaan pidana penggunaan dokumen palsu oleh Adelin Lis mengatakan, hal itu dimungkinkan jika terdapat laporan.
”Kalau ada yang melaporkan, pasti akan ditangani. Tinggal didalami locus dan tempus-nya,” kata Andi.
Bisa ditangani Polri
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman berharap agar kepolisian melakukan penegakan hukum terhadap dugaan pemalsuan dokumen paspor Adelin Lis. Menurut Boyamin, bisa jadi paspor tersebut asli, tetapi dokumen asal pembuatan yang tidak sah atau palsu.
Boyamin mengatakan, Kejagung diharapkan segera merekomendasikan kepada kepolisian untuk memproses hukum dugaan pidana pemalsuan paspor yang digunakan Adelin Lis untuk melintas ke negara lain dengan nama Hendro Leonardi. Selain itu, katanya, Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui penyidik pegawai negeri sipil juga dapat menyelidiki dugaan pelanggaran tersebut.
”Pemalsuan bukan delik aduan. Jadi tanpa harus menunggu laporan, maka kepolisian bisa langsung penyidikan,” ujarnya.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Hibnu Nugroho mengatakan, kasus paspor Adelin Lis hampir mirip dengan kasus buron kasus cessie Bank Bali, Joko S Tjandra, yang berhasil mengurus KTP elektronik di Jakarta meski dalam pelarian. ”Ini perlu digali. Kalau di kasus Joko Tjandra bisa dibuka, yang ini juga harus bisa dibuka. Siapa yang bermain. Jika Adelin mau membuka, dia bisa berkontribusi untuk memperbaiki bangsa,” tuturnya.
Serupa dengan Hibnu, pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, menyarankan perlunya mengejar orang-orang yang berperan dalam pembuatan paspor Adelin dan menindaknya.
”Ada dua problem jika ingin membangun sistem, yaitu kemampuan dan kemauan. Saya tidak merasa Indonesia tidak punya kemampuan. Mampu. Kalau membangun sistem perlintasan, mampulah. Mengatasi bagaimana supaya paspor tidak bisa dipalsukan, tinggi kemampuan kita. Problemnya jangan-jangan di kemauan. Kalau kemauan, mau diapain juga susah. Kayak mendorong truk mogok,” ujarnya.
Sementara itu, Managing Partner Kantor Hukum Visi Integritas, yang juga mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Febri Diansyah menyebutkan, pemulangan Adelin Lis seharusnya diikuti dengan evaluasi menyeluruh. Misalnya, mengapa seseorang bisa menjadi buron bertahun-tahun, apa saja yang sudah dilakukan untuk mencari. Dalam beberapa kasus, buron tersebut justru menembus sistem imigrasi. Evaluasi tersebut penting untuk kepentingan perbaikan.
Adapun ICA Singapura, dikutip dari channelnewsasia.com, Minggu (20/6/2021), menyatakan telah melibatkan pihak berwenang dari Indonesia sejak Juni 2018 untuk memverifikasi identitas Hendro Leonardi dan Adelin Lis. ”Baru pada Maret 2021, setelah beberapa peringatan dari ICA, pihak berwenang Indonesia merespons untuk mengonfirmasi identitasnya,” kata ICA.
Dari dokumen yang diterima Kompas, ICA telah mengirimkan surat yang ditujukan kepada otoritas berwenang di KBRI di Singapura sebanyak empat kali, yakni 12 Juni 2018, 19 November 2018, 3 Juli 2019, dan terakhir 4 Maret 2021. Surat itu berisi permintaan konfirmasi mengenai dua nama, yakni Adelin Lis dan Hendro Leonardi, serta menanyakan apakah paspor atas nama Hendro Leonardi yang diterbitkan Kantor Imigrasi Jakarta Selatan itu sah dikeluarkan oleh otoritas di Indonesia.
Kejar TPPU
Setelah Adelin Lis dieksekusi pidana badan, peneliti Indonesia Corruption Watch, Lalola Easter, mengungkapkan, kejaksaan perlu fokus dalam upaya eksekusi pidana tambahan berupa uang pengganti Rp 119 miliar dan dana reboisasi 2,938 juta dollar AS. Selain itu, sangkaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang dulu pernah disematkan pada Adelin Lis juga harus ditindaklanjuti. Hal ini dinilai penting dilakukan jika memang kasus pencucian uang Adelin belum didakwakan bersama-sama dengan pidana korupsinya.
Pada tahun 2008, Adelin Lis masuk daftar pencarian orang Polda Sumut karena menjadi tersangka TPPU. ”Jadi, kemungkinan TPPU-nya belum dilanjutkan penyidikannya dan belum didakwakan di persidangan,” ujar Lalola.
Dia mendorong Kejagung bersurat resmi ke Polda Sumut untuk mengetahui proses yang sudah dilakukan dalam kasus dugaan TPPU dengan tersangka Adelin Lis. Kejagung juga perlu mendorong Kejaksaan Tinggi Sumut berkoordinasi dengan penyidik Polda Sumut agar ada percepatan penanganan.
Lalola juga memberikan catatan terkait perbaikan sistem pelayanan kependudukan dan keimigrasian. Menurut dia, sektor pelayanan publik di negeri ini jika dilihat dari perkembangan sistem sudah lumayan. Ada sistem biometrik, ada pul upaya beralih ke platform daring untuk mencegah bertemunya petugas dan pemohon layanan.
”Namun, memang masih sering kecolongan. Salah satu hal yang perlu dikembangkan mungkin integrasi sistem notifikasi tersangka atau terdakwa ataupun terpidana dari penegak hukum ke otoritas keimigrasian. Ini menjadi PR besar, tetapi harus pelan-pelan mengarah ke sana agar meminimalisasi penyelewengan dan memudahkan kontrol,” tutur Lalola.