Pasal 35 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi menegaskan bahwa negara wajib untuk menjamin adanya hak mengajukan tuntutan hukum terhadap pelaku kejahatan atas kerugian untuk memperoleh kompensasi.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 18 korban korupsi bantuan sosial sembilan bahan pokok bagi masyarakat terdampak pandemi Covid-19 dari sejumlah daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi melayangkan gugatan ganti kerugian terhadap bekas Menteri Sosial Juliari P Batubara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Mereka menuntut pertanggungjawaban dari terdakwa kasus korupsi bantuan sosial tersebut.
Perwakilan Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos, Kurnia Ramadhana, mengatakan, di tengah kemerosotan ekonomi yang mereka alami akibat pandemi Covid-19, hak untuk mendapatkan bansos dari pemerintah justru dijadikan bancakan korupsi oleh Juliari.
”Atas dasar itu, menjadi dapat dipahami jika publik murka lalu memilih jalur hukum untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku korupsi tersebut,” kata Kurnia melalui keterangan tertulis, Senin (21/6/2021).
Ia mengungkapkan, penggabungan gugatan ganti kerugian ini sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelum permohonan ini diajukan, setidaknya sudah ada 11 upaya hukum serupa dari korban kejahatan yang dikabulkan oleh majelis hakim. Namun, sayangnya, dalam konteks tindak pidana korupsi, langkah ini nyaris belum pernah diakomodasi dalam persidangan.
Padahal, serangkaian kesepakatan internasional dan peraturan perundang-undangan sudah menjamin hak ganti kerugian dari korban korupsi.
Pasal 35 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Melawan Korupsi, misalnya, menegaskan bahwa negara wajib untuk menjamin adanya hak mengajukan tuntutan hukum terhadap pelaku kejahatan atas kerugian untuk memperoleh kompensasi.
Turunan kesepakatan itu juga telah dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi, 2003. Dalam hal ini, para penggugat mendalilkan kerugian langsung yang dialami ketika proses pembagian paket bansos selama masa pandemi, antara lain kuantitas tidak sesuai ketentuan dan kualitas sembako buruk.
Kurnia mengatakan, merujuk pada surat dakwaan Juliari, disampaikan bahwa ada potongan sebesar Rp 10.000 dari total nilai paket bansos seharga Rp 300.000. Jadi, kausalitas dari tindakan Juliari dengan kondisi faktual yang dialami oleh para penggugat semakin tergambarkan.
Lagi pula, dengan perkembangan penanganan perkara saat ini, indikasi Juliari melakukan perbuatan melawan hukum juga lambat laun kian tampak. Mulai dari melanggar Pasal 5 Ayat (4) UU No 28 Tahun 1999 yang merujuk pada perbuatan Juliari saat menerima Rp 1,28 miliar dari Harry Van Sidabukke, lalu melalui Ardian mendapatkan Rp 1,95 miliar, dan setoran sejumlah penyedia paket bansos senilai Rp 29,2 miliar.
Tidak hanya itu, praktik nepotisme turut pula terlihat dilakukan oleh Juliari. Poin ini muncul dengan merujuk pada kesaksian terdakwa Adi Wahyono di persidangan. Kala itu, ia mengatakan adanya pembagian jatah pengadaan bansos untuk sejumlah pihak, yaitu Ketua Komisi III DPR Herman Herry sebesar 1 juta paket, anggota DPR dari Fraksi PDI-P Ihsan Yunus sebesar 400.000 paket, Bina Lingkungan sebesar 300.000 paket, dan Juliari mendapatkan jatah 200.000 paket.
Oleh karena itu, pengadaan paket bansos sembako yang dilakukan oleh Kementerian Sosial rawan akan konflik kepentingan, terutama perihal rekan satu partai. Adapun pelanggaran hukum dalam kerangka tindak pidana korupsi dapat mengacu pada surat dakwaan yang dibuat oleh jaksa penuntut umum.
Dokumen hukum itu menjelaskan bahwa Juliari didakwa dengan pasal suap, yakni Pasal 11 atau Pasal 12 Huruf b UU Tipikor, saat meminta bawahannya agar mengumpulkan fee yang ditujukan untuk kepentingan pribadi. Namun, argumentasi ini bukan sekadar dugaan, melainkan telah dituangkan dalam putusan terdakwa lain, yakni Ardian Iskandar.
Putusan itu menyebutkan secara jelas adanya penerimaan sejumlah Rp 1,95 miliar diperoleh Juliari melalui terdakwa Matheus Joko. Adapun selain dampak yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, para penggugat juga merasakan pelanggaran atas ketentuan UUD 1945, khususnya hak masyarakat mendapatkan jaminan sosial dan jaminan hidup layak kala diimpit situasi pandemi.
Terlepas dari itu, produk hukum lain juga berkaitan, misalnya pelanggaran UU Kekarantinaan Kesehatan. Regulasi tersebut menegaskan, setiap warga negara memiliki hak atas perolehan bantuan, khususnya dalam situasi pandemi. Namun, kewajiban hukum dari fungsi pelayanan publik yang diemban oleh Juliari malah dilanggar.
Maka dari itu, Kurnia menegaskan, korban korupsi bansos mendesak agar pengadilan menerima permohonan penggabungan gugatan ganti kerugian yang diajukan para korban korupsi bansos. Selain itu, menyatakan Juliari telah melakukan perbuatan melawan hukum karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam proses pengadaan bansos sembako Kementerian Sosial.
Bambang Nurcahyono dari bagian Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengatakan, dalam perkara keperdataan, setiap orang boleh mengajukan gugatan jika merasa dirugikan oleh orang lain. Gugatannya bisa berupa gugatan ganti rugi.