Hari Ini, Ombudsman RI Bersikap soal Kasus ”Raja Kayu” Adelin Lis
Kasus Adelin Lis akan dibahas Ombudsman RI guna memutuskan apakah kasus itu akan ditindaklanjuti. ORI didorong menangani dugaan malaadministrasi paspor dan respons lambat KBRI atas surat Imigrasi Singapura.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia, Senin (21/6/2021), akan mendalami potensi malaadministrasi dalam kasus buron pembalakan liar selama 13 tahun, Adelin Lis. Rapat pleno pimpinan rutin yang diadakan setiap Senin akan memutuskan sikap yang akan diambil Ombudsman dalam kasus tersebut.
Adelin tiba di Jakarta pada Sabtu (19/6/2021) malam seusai dideportasi dari Singapura. Adelin tak lain buron kasus pembalakan liar di Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang divonis Mahkamah Agung (MA) 10 tahun penjara pada 2008. Ia lalu buron selama 13 tahun.
Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (20/6) malam mengatakan, sikap Ombudsman RI terkait kasus Adelin Lis akan ditentukan dalam rapat pleno pimpinan yang digelar hari ini, Senin. ”Senin (hari ini), rapat pleno pimpinan kemungkinan akan menentukan respons yang diambil Ombudsman terkait kasus Adelin,” kata Robert.
Dalam rapat rutin tersebut, Ombudsman akan menggali isu-isu yang menjadi perhatian publik selama sepekan. Tim menelusuri isu-isu itu dari media cetak, media elektronik, dan media sosial. Biasanya, dari 10 isu yang menguat, akan ada dua hingga tiga isu yang akan didalami.
Terkait kasus Adelin, lanjut Robert, isu itu nanti akan dibahas di rapat pleno pimpinan. Mereka akan memutuskan apakah kasus itu akan ditindaklanjuti atau tidak. Salah satu yang menjadi pertimbangan dalam mengambil sikap adalah berkaitan dengan potensi malaadministrasi publik.
Sebelumnya diberitakan, Adelin melakukan sejumlah pelanggaran, seperti memalsukan dokumen paspor saat menjadi buron. Selama melarikan diri, Adelin menggunakan paspor dengan menggunakan nama lain, yakni Hendro Leonardi. Dia ditangkap otoritas Singapura pada 2018 setelah imigrasi negara itu menemukan data yang sama untuk dua nama yang berbeda.
Imigrasi Singapura lalu mengirim surat kepada Atase Imigrasi Kedutaan Besar RI di Singapura untuk memastikan kebenaran dua nama yang berbeda sebagai sosok yang sama. Berdasarkan data di Direktorat Jenderal Imigrasi, dipastikan bahwa dua orang tersebut sama.
Dalam persidangan di Singapura, Adelin mengaku bersalah. Atas dasar itu, Pengadilan Singapura, 9 Juni 2021, menjatuhi hukuman denda 14.000 dollar Singapura yang dibayar dua kali dalam periode satu minggu, mengembalikan paspor atas nama Hendro Leonardi ke Pemerintah Indonesia, dan mendeportasi Adelin Lis ke Indonesia (Kompas, 17/6/2021).
Antara tahun 2018 dan 2021, otoritas Keimigrasian Singapura (Immigration and Checkpoints Authority/ICA) sudah empat kali berkirim surat ke otoritas Indonesia untuk meminta klarifikasi soal identitas Adelin Lis.
ICA Singapura, dikutip dari channelnewsasia.com (20/6), menyatakan telah melibatkan pihak berwenang dari Indonesia sejak Juni 2018 untuk memverifikasi identitas Hendro Leonardi dan Adelin Lis. ”Baru pada Maret 2021, setelah beberapa peringatan dari ICA, pihak berwenang Indonesia merespons untuk mengonfirmasi identitasnya,” kata ICA.
Kejagung RI mengaku baru mengetahui keberadaan Adelin di Singapura setelah ada surat keempat pada Maret 2021.
Dari dokumen yang diterima Kompas, ICA telah mengirimkan surat yang ditujukan kepada otoritas berwenang di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura, pada 12 Juni 2018, 19 November 2018, 3 Juli 2019, dan 4 Maret 2021. Surat itu berisi permintaan konfirmasi mengenai dua nama, yakni Adelin Lis dan Hendro Leonardi.
Robert melanjutkan, Ombudsman telah mendorong Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM untuk membuka proses dan menjelaskan kepada publik terkait duduk persoalan ini. ”Imigrasi harus menganggap isu ini serius untuk dijelaskan kepada publik tentang bagaimana pemalsuan data paspor Adelin,” ujarnya.
Kompas telah meminta konfirmasi dari Kepala Bagian Humas dan Umum Direktorat Jenderal Imigrasi, Arya Pradhana Anggakara, terkait proses pembuatan paspor Adelin, tetapi tidak dijawab.
Investigasi juga harus dilakukan kepada KBRI di Singapura karena mereka beberapa kali tidak merespon klarifikasi identitas Adelin yang diminta oleh ICA sejak 2018.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah, mengatakan, ada potensi adanya pelanggaran malaadministrasi publik dalam kasus Adelin. Pertama terkait pemalsuan data paspor dan tidak adanya respons dari KBRI di Singapura sejak 2018 hingga 2021.
Menurut dia, Ombudsman perlu menginvestigasi proses pembuatan paspor Adelin untuk memastikan ada atau tidaknya pelanggaran malaadministrasi publik. Selain itu, investigasi juga harus dilakukan kepada KBRI di Singapura karena mereka beberapa kali tidak merespons klarifikasi identitas Adelin yang diminta oleh ICA sejak tahun 2018. ”Bisa ditelusuri dari tanda bukti pengiriman dokumennya,” katanya.
Seandainya dalam kasus ini terbukti ada pelanggaran maladministrasi publik, hal itu bisa dianggap sebagai bentuk pelecehan hukum. Sebab Adelin mendapat perlakuan khusus dari pihak-pihak dengan melanggar aturan yang berlaku.
”Saya curiga ada penunggang gelap yang ikut bermain dan mendapatkan keuntungan dari kasus ini,” ujar Trubus.
Dalam kasus ini, ia menilai Adelin menjadi pihak yang paling dirugikan. Meskipun seolah-oleh Adelin diuntungkan, dia menjadi korban karena untuk mendapatkan perlakuan khusus biasanya ada ongkos yang harus dibayar.