Hasil survei nasional oleh SMRC memperlihatkan mayoritas publik ingin masa jabatan presiden selama dua periode dipertahankan. Publik juga menolak jika Presiden Joko Widodo maju kembali di Pilpres 2024.
Oleh
IQBAL BASYARI/NINA SUSILO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wacana perpanjangan masa jabatan presiden melalui amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai hanya aspirasi kelompok elite politik. Mayoritas publik cenderung ingin mempertahankan masa jabatan presiden hanya dua periode. Termasuk mayoritas tidak setuju jika Presiden Joko Widodo mencalonkan kembali untuk periode ketiga dalam Pemilu Presiden 2024.
Kondisi tersebut terekam dalam survei nasional bertajuk ”Sikap Publik Nasional terhadap Amandemen Presidensialisme dan Dewan Perwakilan Daerah” yang dilakukan lembaga survei dan konsultan politik, Saiful Mujani Research and Conculting atau SMRC. Survei menggunakan metode tatap muka dilakukan pada 21-28 Mei 2021 kepada 1.072 responden. Adapun margin of error sekitar 3,05 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Direktur Komunikasi SMRC Ade Armando saat webinar dan rilis survei SMRC, Minggu (20/6/2021), memaparkan, 74 persen responden menyatakan masa jabatan presiden maksimal dua periode seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 harus dipertahankan. Hanya 13 persen responden yang menyatakan aturan masa jabatan presiden harus diubah dan 13 persen tidak menjawab.
Kemudian saat ditanya soal Presiden Joko Widodo harus kembali menjadi calon presiden untuk ketiga kalinya pada Pilpres 2024, mayoritas atau 52,9 persen responden menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju. Adapun dari sisi metode pemilihan presiden, 84,3 persen responden tidak setuju dan sangat tidak setuju jika Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Menurut mayoritas responden atau 68,2 persen, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 saat ini, termasuk yang mengatur masa jabatan presiden-wakil presiden, adalah rumusan terbaik dan tidak boleh diubah atas alasan apa pun. Sejauh ini, keduanya dinilai paling pas bagi kehidupan Indonesia yang lebih baik.
”Kalau ada isu-isu semacam ini sebetulnya lebih merupakan aspirasi elite, bukan aspirasi dari masyarakat,” kata Ade.
Menanggapi hasil survei tersebut, Ketua Bidang Luar Negeri Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ahmad Basarah mengatakan, PDI-P akan menarik diri dalam pembahasan apabila ada gagasan menambah masa jabatan Presiden menjadi tiga periode.
”Ini jauh dari pandangan dan sikap kami di MPR dan PDI-P,” ujar Ahmad yang juga menjadi Wakil Ketua MPR itu.
Ia mengingatkan, Presiden Jokowi berkali-kali menegaskan tidak ada pikiran untuk menjadi Presiden selama tiga periode. Bahkan Jokowi membuat ungkapan satire kepada pihak-pihak yang memunculkan wacana tersebut, yakni hanya ingin mencari muka, menampar muka Jokowi, dan menjerumuskan Jokowi.
”Subyeknya saja sudah tidak mau dan partai tidak ingin konstitusi diubah hanya untuk kepentingan orang per orang. Saya kira sangat tidak elok jika konstitusi hanya dipermainkan untuk kepentingan orang per orang saja,” katanya.
Secara terpisah, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Fadjroel Rachman menegaskan, Presiden Jokowi tegak lurus terhadap konstitusi dan setia pada agenda Reformasi 1998. Jokowi sudah beberapa kali menolak wacana perpanjangan masa jabatan Presiden, yakni pada 12 Februari 2019 dan 15 Maret 2021.
”Saya tidak ada niat, tidak ada juga berminat menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanahkan dua periode, itu yang harus kita jaga bersama. Janganlah membuat gaduh baru, kita sekarang fokus pada penanganan pandemi,” ujar Fadjroel mengutip pernyataan Jokowi pada 15 Maret 2021.
Belum mendesak
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menilai amandemen UUD 1945 belum mendesak. Sebab, amandemen memerlukan proses yang panjang dan energi yang tidak sedikit. Harus ada kajian mendalam jika akan mengubah konstitusi.
Apalagi pada masa pandemi Covid-19 yang kasusnya cenderung meningkat, perlu energi besar untuk keluar dari krisis pandemi. Selain itu, ada agenda besar lain, yakni pemilu serentak 2024 yang perlu dipersiapkan dengan maksimal.
”Banyak agenda ke depan yang membutuhkan energi besar. Pasti akan tersita banyak energi kalau ada amandemen karena prosesnya tidak hanya di MPR, tetapi perlu keterlibatan masyarakat,” ujar Doli.
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny Kabur Harman mengatakan, seandainya pun hasil survei menunjukkan keinginan masyarakat untuk mengubah amendemen dan yang meminta jabatan presiden ditambah sangat tinggi, hal itu tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan perubahan. Apalagi perubahan aeandemen hanya didasarkan pada kepentingan menambah masa jabatan Jokowi. ”Ini mekanisme yang cacat konstitusi,” katanya.
Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid mengatakan, aturan jabatan dua periode presiden harus ditaati semua pihak. Sebab, hal itu sudah diatur dalam konstitusi dan harus dijalankan secara konsisten. ”Sikap ini bukan karena individu, melainkan karena aturan di UUD 1945 menyatakan demikian,” ujarnya.
Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti menuturkan, mayoritas responden yang tidak ingin ada perubahan masa jabatan presiden menunjukkan pemahaman publik terkait perkembangan demokrasi sangat baik. Menurut dia, wacana penambahan masa jabatan presiden hanya imajinasi politik dari orang-orang yang tidak jelas tujuannya.