Penangkapan Adelin Lis, Momentum Evaluasi Sistem Keimigrasian dan Kependudukan
Kejaksaan Agung diharapkan tidak hanya mengeksekusi putusan pengadilan terhadap Adelin Lis, tetapi juga memproses hukum pelanggaran lainnya. Sebab, Adelin dapat ke Singapura dengan memalsukan data di dokumen paspor.
JAKARTA, KOMPAS — Buron kasus pembalakan liar selama 13 tahun, Adelin Lis, yang ditangkap oleh otoritas Singapura karena pelanggaran keimigrasian akhirnya dipulangkan ke Jakarta, Sabtu (19/6/2021). Kejaksaan Agung RI diharapkan tidak hanya mengeksekusi putusan pengadilan, tetapi juga memproses hukum pelanggaran lainnya. Sebab, dalam masa pelarian, Adelin melakukan sejumlah pelanggaran, seperti memalsukan dokumen paspor.
Penangkapan Adelin juga diharapkan dijadikan momentum untuk mengevaluasi atau mengaudit sistem keimigrasian dan juga kependudukan di Tanah Air. Begitu pula integrasi data keimigrasian dan kependudukan perlu dievalusi seacara menyeluruh. Ini karena, pemalsuan identitas seperti yang diduga dilakukan Adelin Lis, bukan yang pertama di Indonesia.
Adelin merupakan terpidana kasus pembalakan liar hutan di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Mahkamah Agung memidana Adelin 10 tahun penjara serta membayar uang pengganti Rp 119,8 miliar dan dana reboisasi 2,938 juta dollar AS. Namun, kejaksaan saat itu kesulitan mengeksekusi Adelin karena tak diketahui keberadaannya (Kompas, 2/8/2008).
Saat berstatus sebagai tersangka, Adelin Lis, pemilik PT Mujur Timber Group dan PT Keang Nam Development Indonesia, sempat buron. Pada akhir September 2006, ia ditangkap di Beijing, China, dan dipulangkan ke Indonesia. Namun, Pengadilan Negeri Medan membebaskannya (Kompas, 7/11/2007). Sejak itu Adelin tak diketahui lagi keberadaannya.
Sebelum itu, saat berstatus sebagai tersangka, Adelin, pemilik PT Mujur Timber Group dan PT Keang Nam Development Indonesia, sempat buron. Pada akhir September 2006, ia ditangkap di Beijing, China, dan dipulangkan ke Indonesia. Namun, Pengadilan Negeri Medan membebaskannya (Kompas, 7/11/2007). Sejak itu Adelin tak diketahui lagi keberadaannya.
Selama melarikan diri, Adelin ternyata memalsukan paspor dengan menggunakan nama lain, Hendro Leonardi. Dia ditangkap otoritas Singapura pada 2018 setelah imigrasi negara itu menemukan data yang sama untuk dua nama yang berbeda. Imigrasi Singapura lalu mengirim surat kepada Atase Imigrasi KBRI Singapura untuk memastikan kebenaran dua nama yang berbeda sebagai sosok yang sama. Berdasarkan data di Direktorat Jenderal Imigrasi, dipastikan bahwa dua orang tersebut sama.
Baca juga: Adelin Lis, Buron Pembalakan Liar, Dipulangkan ke Jakarta pada Sabtu Malam Ini
Dalam persidangan di Singapura, Adelin mengaku bersalah. Atas dasar itu, Pengadilan Singapura, 9 Juni 2021, menjatuhi hukuman denda 14.000 dollar Singapura yang dibayar dua kali dalam periode satu minggu, mengembalikan paspor atas nama Hendro Leonardi ke Pemerintah Indonesia, dan mendeportasi Adelin Lis ke Indonesia (Kompas, 17 Juni 2021).
Antara tahun 2018 dan 2021, otoritas Keimigrasian Singapura (Immigration and Checkpoints Authority/ICA) sudah empat kali berkirim surat ke otoritas Indonesia untuk meminta klarifikasi soal identitas Adelin Lis. Namun, Kejagung RI baru mengetahui keberadaan Adelin di Singapura setelah ada surat keempat pada Maret 2021. Selain mengupayakan pemulangan Adelin ke Tanah Air, Kejagung RI juga perlu menjelaskan soal pemberitahuan dari ICA yang sudah ada sejak 2018.
Dari dokumen yang diterima Kompas, ICA telah empat kali mengirimkan surat yang ditujukan kepada otoritas berwenang di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura, yakni pada 12 Juni 2018, 19 November 2018, 3 Juli 2019, dan 4 Maret 2021. Surat itu berisi permintaan konfirmasi mengenai dua nama, yakni Adelin Lis dan Hendro Leonardi.
Paspor dengan data palsu yang digunakan Adelin itu juga perlu dijawab pihak Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dengan paspor asli tetapi palsu atau ”aspal” itu, Adelin dapat melenggang ke luar negeri. Dengan paspor itu pula pada akhirnya Adelin dapat ditangkap meskipun dilakukan oleh otoritas Singapura, bukan oleh aparat penegak hukum Indonesia.
Baca juga: Imigrasi Diminta Menjawab Paspor ”Aspal” Buron Adelin Lis
Usut pemalsuan identitas
Mengenai sengkarut masalah itu, Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (19/6/2021), mengatakan, jika buron Adelin Lis sudah tiba di Jakarta, kewajiban negara tidak hanya mengeksekusi putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Negara melalui Kejaksaan Agung tetap harus memproses hukum pelanggaran lain yang dilakukan oleh Adelin selama 13 tahun menjadi buron. Perbuatan melawan hukum yang jelas dilakukan oleh Adelin adalah memalsukan identitas sehingga dia bisa mengantongi paspor atas nama Hendro Leonardi.
”Ini bisa dikonstruksikan sebagai perbuatan melawan hukum dan pelanggaran berlapis karena dia (Adelin Lis) memalsukan dokumen dan memakai dokumen yang tidak berhak dia gunakan,” kata Sigit.
Ini bisa dikonstruksikan sebagai perbuatan melawan hukum dan pelanggaran berlapis karena dia (Adelin Lis) memalsukan dokumen serta memakai dokumen yang tidak berhak dia gunakan. (Sigit Riyanto)
Menurut Sigit, pelanggaran yang dilakukan Adelin itu sudah terang benderang. Sebab, di Singapura, pengadilan telah memutus untuk mendeportasi Adelin karena terbukti melanggar hukum keimigrasian setempat. Bahkan, otoritas Singapura juga sudah beberapa kali mengirimkan surat resmi kepada Pemerintah Indonesia untuk m engonfirmasi keabsahan dokumen kependudukan atas nama Hendro Leonardi.
Evaluasi menyeluruh
Sigit mendorong agar kejanggalan dalam proses penerbitan paspor Adelin yang menggunakan nama Hendro itu harus diusut tuntas. Harus ada evaluasi atau audit menyeluruh celah sistem di keimigrasian yang membuat paspor buron kelas kakap selama 13 tahun bisa terbit. Apakah ada pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh terpidana atau ada andil dari oknum petugas keimigrasian saat proses pembuatan dokumen.
Baca juga: Adelin Lis Ditangkap di Singapura
Bahkan, audit juga harus dilakukan pada otoritas yang berwenang menerbitkan dokumen administrasi kependudukan, yaitu Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri. Sebab, sebelum memproses permohonan pembuatan paspor, Adelin sudah mengantongi dokumen persyaratan lain setidaknya KTP atas nama Hendro Leonardi.
Apalagi, pelanggaran semacam itu tidak hanya sekali terjadi di Indonesia. Dalam kasus buron kasus cessie Bank Bali, Joko S Tjandra, terpidana juga bisa mudah keluar masuk Indonesia dengan menyuap sejumlah oknum, termasuk aparat penegak hukum. Meski berstatus terpidana dan buronan, Joko dilayani saat membuat KTP secara cepat di kantor kelurahan. Dia juga hadir langsung saat mendaftarkan permohonan peninjauan kembali (PK) kasus cessie Bank Bali di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2020.
”Dengan dukungan sistem teknologi yang semakin memadai ini, seharusnya pemalsuan atau penyalahgunaan identitas bisa dideteksi sejak dini. Namun, ini sepertinya terus berulang dalam kasus buron kelas kakap di Indonesia. Ada apa? Ini harus dijawab oleh otoritas yang berwenang,” kata Sigit.
Sigit menegaskan, audit dan evaluasi menyeluruh dalam kasus Adelin ini diperlukan karena mempertaruhkan reputasi negara dan proses penegakan hukum di Indonesia. Tanpa evaluasi menyeluruh, kesalahan bisa saja terulang di kemudian hari. Apalagi, daftar buron kelas kakap di Indonesia jumlahnya tidak sedikit, termasuk buron kasus korupsi suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR, Harun Masiku.
Pembenahan sistem
Anggota Ombudsman RI, Robert Endi Na Jaweng, mengatakan, jika melihat dari modusnya, permasalahan data warga negara seperti dalam kasus Adelin Lis hanyalah puncak gunung es. Masalah serupa sudah banyak ditemukan dalam perkara lain, misalnya Joko S Tjandra.
Sebagai lembaga negara yang berwenang untuk mengeluarkan rekomendasi yang berkaitan dengan pembenahan sistem, Ombudsman mendorong agar pihak Ditjen Imigrasi Kemenkumham dan jajaran membuka permasalahan yang terjadi. Ditjen Imigrasi harus menjelaskan mengapa paspor palsu Adelin atas nama Hendro Leonardi bisa dikeluarkan saat dia berstatus sebagai terpidana dan buron.
”Ombudsman mendorong Ditjen Imigrasi Kemenkumham untuk membenahi sistem yang ada agar masalah sistemik tidak berulang di masa depan. Pesannya adalah modus yang sama masih bisa terulang di masa mendatang sehingga ini harus menjadi isu sensitif dan prioritas yang harus diselesaikan,” kata Robert.
Ombudsman mendorong Ditjen Imigrasi Kemenkumham untuk membenahi sistem yang ada agar masalah sistemik tidak berulang di masa depan. Pesannya adalah modus yang sama masih bisa terulang di masa mendatang. (Robert Endi Na Jaweng)
Lebih lanjut, Robert menjelaskan bahwa penyelesaian sengkarut data keimigrasian ini juga sangat penting ke depan karena akan berkaitan dengan penegakan hukum. Saat ini, jumlah buronan di Indonesia banyak yang masih tidak diketahui keberadaannya.
Kesiapan sistem imigrasi untuk mendeteksi secara dini para buron ini dibutuhkan dalam upaya penegakan hukum. Celah para buron bisa melenggang besar dan tidak terdeteksi sistem keimigrasian harus ditutup. Jika diperlukan, harus ada satu sistem terintegrasi antara Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kementerian Dalam Negeri, Ditjen Imigrasi, kepolisian, dan Kejaksaan Agung untuk mengeksekusi para buron.
”Ini kan berkaitan dengan penegakan hukum pro justisia. Jadi, harus dilihat sebagai rangkaian serius yang memengaruhi kualitas penegakan hukum ke depan. Ini juga berkaitan dengan martabat negara karena kasus ini justru awalnya diketahui oleh otoritas negara Singapura,” kata Robert.