KPK Melemah, Pemberantasan Korupsi Sumber Daya Alam Kian Terjal
Pengusutan korupsi SDA tidak mudah. KPK harus menelusuri berbagai kerumitan birokrasi dan perizinan di dalamnya. Bahkan, aktor utama dalam oligarki yang berada di balik korupsi SDA itu tak pernah tersentuh.
JAKARTA, KOMPAS — Korupsi di sektor sumber daya alam amat merugikan kepentingan bangsa sebab bertalian dengan korupsi politik dan praktik oligarki. Dibutuhkan kerja keras untuk dapat mengungkap praktik korupsi SDA. Dengan kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi yang diperlemah, dikhawatirkan korupsi terkait SDA semakin menggurita.
Hal itu terungkap dalam diskusi ”Pelemahan KPK dan Korupsi di Sektor Pertambangan dan Sumber Daya Alam” yang diadakan oleh Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi (GAK-LPT) secara daring, Sabtu (19/6/2021).
Mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja antar Komisi dan Instansi (PJKAK) KPK Soedjanarko mengungkapkan, sejak kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, KPK sudah menginisiasi gerakan untuk mengusut korupsi SDA sejak tahun 2007. Hal itu terjadi setelah tahun 2006, Indonesia meratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) soal pemberantasan korupsi sumber daya alam (SDA). Upaya pemberantasan korupsi itu dilakukan saat KPK mengusut korupsi Gubernur Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah.
Dari hasil persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Suwarna hanya terbukti menerima suap izin perkebunan senilai Rp 8 miliar. Namun, dari tindak pidana korupsi yang dilakukan, perusahan yang terafiliasi dengan dia, yaitu PT Surya Damai, diuntungkan bisnisnya senilai Rp 347 miliar.
Hal serupa juga terjadi saat KPK menangani korupsi di Kabupaten Pelalawan, Riau. Bupati Pelalawan hanya terbukti menerima suap kurang dari Rp 13 miliar. Namun, dari pemeriksaan di pengadilan terbukti bahwa pengusaha yang diuntungkan dari korupsi itu mendapatkan keuntungan Rp 1,3 triliun.
Baca juga : Dua Mantan Pejabat Dinas ESDM Sultra Jadi Tersangka Korupsi Perizinan Tambang
”Sayangnya, saat itu KPK tidak berhasil mengembalikan uang korporasi itu kepada negara karena perusahaan yang terlibat hanya perusahaan cangkang,” kata Sudjanarko.
Sudjanarko mengakui bahwa pengusutan kasus korupsi SDA memang tidak mudah. KPK harus menelusuri berbagai kerumitan birokrasi dan perizinan di dalamnya. Bahkan, dalam sejarah KPK, aktor utama, yaitu oligark yang berada di balik korupsi SDA itu, tak pernah tersentuh. Para oligark ini pun terkadang justru masih diuntungkan dengan celah hukum dan regulasi yang ada.
Dalam kasus korupsi suap perizinan Bupati Buol, Sulawesi Tengah, terdakwa Hartati Murdaya dihukum atas perbuatannya. Namun, izin konsensi lahan yang dikeluarkan yang seharusnya disita oleh negara atau dirampas tetap diberikan kepadanya.
Dalam kasus korupsi suap perizinan Bupati Buol, Sulawesi Tengah, terdakwa Hartati Murdaya dihukum atas perbuatannya. Namun, izin konsensi lahan yang dikeluarkan yang seharusnya disita oleh negara atau dirampas tetap diberikan kepadanya. Menurut dia, ada kementerian tertentu yang komitmennya untuk menaati putusan pengadilan masih lemah. Akibatnya, hukuman terhadap kasus korupsi SDA tidak membuat efek jera.
”Penindakan yang selama ini dilakukan oleh KPK juga belum efektif untuk membuat korporasi yang melakukan korupsi SDA menjadi kolaps. Data menunjukkan bahwa mereka justru menjadi lebih kaya setelah ditindak,” kata Sudjanarko.
Baca juga : Sultra, Contoh Nyata Kerusakan Lingkungan akibat Korupsi
Kemudian, pada 2012, sebut Sudjanarko, komitmen dari KPK untuk menindak kasus korupsi SDA ini bisa menyelamatkan keuangan negara hingga lebih dari Rp 200 triliun. Penyelamatan itu merupakan total aset dari pengembalian kerugian negara, pajak, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), upaya penghijauan kembali, reklamasi, dan sebagainya.
Sudjanarko menambahkan, temuan KPK, industri ekstraktif atau pengelolaan SDA selama ini menjadi sumber operasional dana politik. Dari sisi keuntungan, industri SDA memang luar biasa. Oleh karena itu, parpol kerap memanfaatkan industri ini untuk mendanai kampanye calon. Dengan sistem dan tata kelola parpol yang buruk, praktik korupsi SDA bertalian dengan korupsi politik. Kondisi itu juga dibajak oleh oligark untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Ketika KPK sudah mulai fokus masuk ke korupsi SDA, para oligark dan aparat penegak hukum nakal ini mulai terusik. Mereka kemudian berusaha sekuat tenaga untuk melemahkan KPK.
”Ketika KPK sudah mulai fokus masuk ke korupsi SDA, oligark dan aparat penegak hukum nakal ini mulai terusik. Mereka kemudian berusaha sekuat tenaga untuk melemahkan KPK, termasuk para oligark di internal pemerintahan,” kata Sudjanarko.
Menurut Sudjanarko, kini kondisi KPK memang benar-benar lemah karena KPK dihajar dari dalam melalui sistem yang konstitusional. Awalnya, KPK dilemahkan melalui revisi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019. Kemudian, KPK kembali dilumpuhkan dengan alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) melalui tes wawasan kebangsaan (TWK). ”Ada yang menginginkan KPK mati karena KPK telah lancang masuk mengambil menu favorit koruptor dan oligark,” kata Sudjanarko.
Baca juga : Dampak Kerusakan Lingkungan akibat Pertambangan
Merugikan negara
Akademisi dan Penyuluh Korupsi Hania Rahma menambahkan, kontribusi sektor pertambangan terhadap perekonomian di Indonesia cukup besar, yaitu 8 persen. Sektor pertambangan yang paling banyak memberikan kontribusi kepada perekonomian adalah mineral dan batubara seperti tambang emas, nikel, dan batubara.
Namun, ironisnya kekayaan SDA ini belum mampu memberikan nilai tambah kepada pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan di wilayah penghasil tambang. Eksplorasi pertambangan belum mampu mewujudkan kesejahteraan sosial di Indonesia. Provinsi penghasil SDA terbesar di Indonesia justru memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang rendah. Selain itu, integritas kepala daerah di daerah pertambangan juga rendah. Banyak kepala daerah di daerah tambang dan perkebunan tersangkut kasus korupsi, terutama suap perizinan.
Hania menambahkan, saat ini para oligark tidak hanya berada di pusat pemerintahan, tetapi juga sudah merambah ke daerah. Mereka melakukan kongkalikong dengan kekuasaan untuk meraup keuntungan. Menurut dia, sektor SDA menjadi lahan basah korupsi dana politik karena jumlah uangnya yang besar dibandingkan sektor lain. Selain itu, para oligark juga bisa bersembunyi untuk menutupi kejahatannya. Mereka kerap memanfaatkan calon kepala daerah ataupun calon presiden untuk memuluskan jalannya.
”Sektor tambang merupakan lahan basah dan mudah dikorupsi karena penanganan korupsinya relatif lebih sulit. Namun, korupsi tambang ini sangat berbahaya bagi dampak sosial masyarakat karena korupsi SDA hanya akan berhenti saat SDA itu habis,” tegas Hania.
Baca juga : Korupsi dan Lingkungan Hidup
Ekonom Faisal Basri menambahkan, korupsi SDA masuk dalam kategori korupsi besar (grand corruption) karena kerugian yang ditimbulkan banyak, tetapi pelakunya kerap terbebas dari jerat hukum. Otoritas penegak hukum domestik pun kerap terganjal untuk mengusut kejahatan. Sebab, kejahatan disembunyikan dengan rapi. Aset-aset disembunyikan di luar negeri sehingga terganjal yurisdiksi negara lain. Selain itu, korupsi SDA juga tidak hanya melibatkan aktor oligark dalam negeri, tetapi juga luar negeri. Mereka seolah tak tersentuh hukum.
Di Indonesia, upaya untuk mengusut korupsi besar SDA ini semakin terjal karena justru dipermudah melalui regulasi yang ada. Ada praktik korupsi yang dilindungi dengan legislasi. (Fasial Basri, Ekonom)
Menurut Faisal, di Indonesia, upaya untuk mengusut korupsi besar SDA ini semakin terjal karena justru dipermudah melalui regulasi yang ada. Ada praktik korupsi yang dilindungi dengan legislasi. Para oligark telah masuk ke dalam cabang kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif supaya bisa mengamankan tindak pidana korupsi melalui proses legislasi. Istilahnya, korupsi SDA dilegalkan melalui UU. Praktiknya menjadi legal karena ada kontrol dari negara melalui berbagai cabang kekuasaan.
”Secara jangka panjang ini akan sangat merugikan negara kita. Sekarang, eksplorasi nikel di Morowali, Sulawesi Tengah, itu dilakukan oleh perusahaan asing dari China. Mereka mengambil bahan mentah nikel kemudian diekspor ke China. Setelah diolah, nantinya bahan baku itu dijual lagi ke Indonesia dengan harga yang lebih mahal. Ini sangat merugikan negara dan menjadi bentuk penjajahan baru,” papar Faisal.
Faisal juga menjelaskan bahwa korupsi SDA juga tidak membawa nilai tambah bagi penduduk Indonesia. Dalam eksplorasi hasil tambang nikel di Sulteng, perusahaan asing China juga membawa tenaga kerja asing (TKA). TKA ini didatangkan tidak hanya untuk mengisi jabatan ahli, tetapi juga tenaga kasar. Faisal memiliki beragam data yang menunjukkan bahwa TKA asing China di Indonesia juga mengisi jenis pekerjaan seperti koki, montir, petugas satpam, operator alat berat, dan jenis pekerjaan kasar lainnya. (DEA)