”Kidung Rumekso Ing Wengi”, Calon Koleksi Istana
Di antara lebih dari 2.000 lukisan koleksi Istana yang dipajang di enam Istana Presiden, tak semuanya punya nilai seni tinggi. Tak heran jika ada kategorisasi empat tingkat, mulai dari yang 500 juta ke miliaran nilainya.
Kompleks Istana Kepresidenan, serta lingkungan kantor di sekitarnya, menjadi titik berharga secara politik dan estetik. Ia menjadi ruang ideal, termasuk untuk menggantung dan memamerkan karya seni seperti lukisan, patung, dan keramik. Kehadiran lukisan di atmosfer istana sekaligus menjadi wujud pengukuhan bahwa bangsa Indonesia menghormati kebudayaan bahwa bangsa ini tidak miskin estetika.
Saat ini, Istana Presiden di Jakarta, Bogor, Cipanas, Yogyakarta (Gedung Agung), dan Tampaksiring, Bali, memiliki lebih dari 2.000 lukisan. Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang juga peneliti benda seni koleksi Presiden Soekarno, Mikke Susanto yang sempat melakukan riset penilaian aset terhadap lukisan Istana menyebut lukisan koleksi Istana bisa digolongkan ke dalam level A hingga level D.
Level A merupakan lukisan eksklusif hanya ada satu dengan harga ratusan miliar rupiah, yang umumnya dibuat di kanvas berukuran besar seperti karya Pelukis Raden Saleh dan S Sudjojono. Lukisan level B dibuat seniman terkenal level nasional, tetapi tidak dikoleksi Soekarno dengan level kekaryaan yang tidak terlalu dibicarakan di sejarah perkembangan bangsa maupun sejarah seni.
Karya seniman level lokal yang belum pernah pameran dikategorikan ke level C, sedangkan level D dibuat oleh seniman tidak dikenal dan dibeli hanya untuk dekorasi ruangan dengan harga termurah Rp 500.000. ”Kita punya modal kultural karya seni kualitas A sebagai sarana memperkenalkan peradaban bangsa yang sangat baik,” kata Mikke.
Baca juga : Koleksi Benda Seni Istana Makin Terawat
Tak sekadar lukisan milik negara dari level A hingga D yang digantung di dalam Istana Kepresidenan di Jakarta, karya lukisan yang umumnya adalah milik pribadi dari pejabat kementerian dengan mudah juga bisa dijumpai bergelantungan di wilayah seputaran Istana Negara dan Istana Merdeka seperti di Gedung I, II, dan III tempat Menteri Sekretaris Negara ataupun Sekretaris Kabinet dan Kantor Wakil Presiden.
Ketika akan berjumpa dengan Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Staf Khusus Presiden Sukardi Rinakit, atau Sektretaris Kabinet Pramono Anung, para tamu bisa menikmati keindahan lukisan yang dipajang di tiap sudut kantor mereka. Beberapa lukisan segera dengan mudah dikenali seperti lukisan sosok mata hitam yang menjadi ciri khas Maestro Pelukis Jeihan Sukmantoro hingga lukisan karya Affandi Koesoema.
Ditemui di ruang kantornya pada akhir Mei lalu di Gedung Sekretariat Negara yang sesak oleh karya lukisan yang sudah digantung maupun tertumpuk pada sudut ruang, Sukardi segera menunjukkan lima lembar kertas bergambar desain lukisan yang sedang dipesan Presiden Joko Widodo.
Lukisan-lukisan yang digantung di kantor seputaran lingkungan Istana ini, menurut Mikke, tetap memiliki peran penting. ”Meskipun ada galeri nasional, museum nasional, lingkungan sekitar Istana merupakan titik penting budaya. Ruang paling ideal ada di sana, fondasi pertama orang nonton. Jika disertai kesadaran bahwa itu Kilometer Nol. Maka alangkah baiknya, kementerian sekalian jadi ruang pamer seni,” ujar Mikke, saat dihubungi Selasa (8/6/2021).
Ditemui di ruang kantornya pada akhir Mei lalu di Gedung Sekretariat Negara yang sesak oleh karya lukisan yang sudah digantung maupun tertumpuk pada sudut ruang, Sukardi segera menunjukkan lima lembar kertas bergambar desain lukisan yang sedang dipesan Presiden Joko Widodo. Lukisan yang sedang dikerjakan Pelukis Nasirun ini terasa menggetarkan hati karena diambil dari sebuah tembang karya Sunan Kalijaga bertajuk ”Kidung Rumekso Ing Wengi”.
Baca juga : Saat Koleksi Benda Seni Dinilai Satu Rupiah
Garis tegas
Kidung ”Kidung Rumekso Ing Wengi” berisi tembang penolak bala yang ditembangkan pada malam hari ini terasa pas dipesan di masa pandemi. Nasirun membagi kidung menjadi lima babak lukisan. ”Beliau (Presiden Jokowi) suka lukisan yang garisnya tegas. Memang abstrak karya Nasirun ini, tapi sebenarnya tegas. Ekspresionisme digabungkan ukiran,” ujar Sukardi menjelaskan tentang selera lukisan Presiden Jokowi yang juga menyukai lukisan abstrak karya Affandi.
Nantinya, begitu lukisan dikirim ke Jakarta, Presiden Jokowi akan menentukan di mana karya Nasirun itu akan digantung. Lukisan-lukisan yang dibeli Presiden Jokowi biasanya akan digantung di tempat kediaman Istana Bogor atau disimpan di rumah di Solo, Jawa Tengah. ”Yang penting sudah di sini dulu, akan dipasang di mana nanti terserah Bapak. Di tangga di gedung ini juga bisa,” kata Sukardi.
Baca juga : Jaga Karya Seni Aset Negara di Istana Presiden
Bahwa Presiden Jokowi menyukai karya seni lukis, Mikke melanjutkan, menjadi peluang untuk menaikkan citra bangsa. ”Presiden melakukan sesuatu pasti dicap sebagai implementasi simbolik bangsa. Pak Jokowi suka beli lukisan itu harus disosialisasikan sebagai sebuah realitas bahwa bangsa Indonesia itu menghormati kebudayaan. Tapi kalau itu tidak diceritakan, orang bakal enggak tahu. Dikiranya miskin estetika,” tambah Mikke.
Pada dinding ruang kerjanya, Sukardi juga memajang lukisan karya Nasirun yang merekam sejarah pandemi dengan mencantumkan goresan besar angka 2020. Selain memulas warna, Nasirun yang selama ini memilih menjauh dari kecanggihan telepon seluler mengimbuhkan beberapa kata-kata seperti ”Zoom” hingga ”Iphone”, seolah ingin mengisahkan betapa tahun-tahun pandemi ini telah memaksa kehidupan menuju ke arah digital.
Di antara tumpukan pigura yang masih tergeletak di lantai, Sukardi kemudian menunjukkan lukisan karya Maestro Pelukis Hendra Gunawan. Pada sudut bawah lukisan bergambar foto diri, tertulis kalimat ”aku sudah siap birahi di ranjangku”. Namun, penikmat lukisan bakal terhenyak ketika membalik pigura dan tercantum tulisan tangan dengan tinta pulpen, ”istriku tidak datang, Kebon Waru 18 Mei 1972”.
Berjalan menyelusuri lorong Gedung Sekretariat Negara, langkah kembali terhenti untuk melongok karya Affandi, Sri Warso Wahono, hingga karya lukisan Seniman Putu Sutawijaya.
Hendra, pelukis kelahiran Bandung 11 Juni 1918 yang adalah pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta, pernah dipenjara pada 1965-1978 karena keterlibatannya dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). ”Dia sudah siap semuanya untuk menunggu istrinya, tapi istrinya enggak datang. Lukisan Hendra banyak yang palsu, tapi ini ori, sudah cek orisinalitasnya,” kata Sukardi yang juga menunjukkan lukisan foto diri penyair Chairil Anwar karya pelukis legendaris S Sudjojono.
Berjalan menyelusuri lorong Gedung Sekretariat Negara, langkah kembali terhenti untuk melongok karya Affandi, Sri Warso Wahono, hingga karya lukisan Seniman Putu Sutawijaya. Karya Putu bertajuk ”Bakti Pertiwi” terinspirasi dari relief Candi Kedaton di Probolinggo yang berkisah tentang Garudeya atau manusia berkepala garuda yang sungkem menghormati ibu yang melambangkan ibu pertiwi.
Baca juga : Upaya Menyelamatkan Karya Seni Berusia Ratusan Tahun
Karena posisi lingkungan sekitar Istana yang sangat krusial, maestro lukis Srihadi Soedarsono mengingatkan agar para pejabat kementerian tidak sembarangan menggantung lukisan. Lukisan akan dilihat oleh tamu negara yang akan menganggapnya sebagai representasi karya bangsa Indonesia. Menurut Srihadi, kualitas lukisan yang dipajang harus berkaitan dengan perkembangan sejarah negara, terutama bagaimana Indonesia lahir dan merdeka.
”Apa yang dipasang di Istana dan sekitarnya jangan asal gantung. Ini masalah serius jangan diabaikan. Jangan sampai nanti justru malah mengurangi nilai dari seni yang sudah tinggi. Karya seni atau budaya itu harus bisa diperlihatkan, tempat yang tepat ya di Istana dan sekitarnya. Kantor pemerintah menjadi cermin. Kita sendiri rugi kalau tidak jeli apa yang digantung di Istana,” ujar Srihadi.
Pentingnya kurator
Ironisnya, meskipun Istana memiliki lebih dari 2.000 lukisan, hingga kini tidak punya kurator seni. Kurator dibutuhkan untuk mengoreksi karya yang digantung di Istana Kepresidenan ataupun lingkungan sekitarnya. Tak heran, Srihadi menambahkan, ada kritik tentang lukisan di Istana Cipanas yang isinya sembarangan dan dinilai kurang bermutu.
Kurator dengan bakat dan pendidikan mendalam tentang seni juga dibutuhkan karena tak semua orang memiliki bakat alami seperti Presiden Soekarno. Wajar jika koleksi lukisan di Istana ditentukan oleh gaya dan rasa presiden selama periodisasinya. Sejauh ini, keterlibatan kurator di Istana masih terbatas pada penyelenggaraan pameran temporer seperti pameran ”17/71: Goresan Juang Kemerdekaan” di Galeri Nasional Indonesia, 2-30 Agustus 2016. Kala itu, 35.000 pengunjung menikmati keindahan 28 lukisan dari 800 lebih lukisan terbaik level A koleksi Istana.
Hampir semua atau 27 lukisan yang dipamerkan, dikoleksi pada masa pemerintahan Soekarno. Lukisan berjudul ”Tara” (1977) karya Srihadi menjadi satu-satunya lukisan pasca-era Soekarno yang dipilih untuk dipamerkan. Srihadi juga sempat menghadiahkan salah satu karya lukisannya kepada Presiden Jokowi. ”Di luar pameran Istana, harus yakin perlu bantuan dari seorang ahli,” tambah Srihadi.
Baca juga : Sisi Lain Bapak Kebudayaan Soekarno
Di zaman Presiden Soekarno, kurator seni rupa Istana dijabat pelukis Dullah, Lee Man Fong, dan Lim Wasim. Problematika terkait kehadiran kurator seni di Istana, Mikke melanjutkan, muncul sejak masa Presiden Soeharto ketika peran dewan kurator diberikan kepada kepala bidang tertentu di dalam Istana. Hanya di zaman Presiden Megawati Soekarnoputri, tampak yang berusaha mengembalikan memorabilia koleksi lukisan Istana dengan sentuhan Bung Karno.
”Harapan saya ada tim atau dewan yang ngurusi (lukisan di Istana) itu atau tim yang punya kebijakan misal ada peneliti pengin dapat foto repro lukisan harus izin ke siapa? Urusan itu saja sampai sekarang bermasalah. Pemakaian repro karya tidak ada sistemnya di Istana, apalagi sistem kurasi,” tambah Mikke.
Di zaman Presiden Soekarno, kurator seni rupa Istana dijabat pelukis Dullah, Lee Man Fong, dan Lim Wasim. Problematika terkait kehadiran kurator seni di Istana, Mikke melanjutkan, muncul sejak masa Presiden Soeharto.
Untuk setiap lukisan yang dipajang di Istana Kepresidenan, presiden bisa berperan sebagai edukator yang menjelaskan sejarah dan nilai penting lukisan kepada tamu negara. Kurator akan membantu presiden untuk mengurasi lukisan yang disesuaikan dengan aksen pergolakan situasi Istana atau dikemas seturut gelaran pertemuan antarpemimpin negara.
”Cara intim yang dilakukan antarpemimpin negara. Soekarno juga melakukan, itu salah satu fungsi lukisan, meredakan ketegangan saat ada rapat kusus yang enggak bisa dipecahkan. Diajak keliling bicarain lukisan telanjang bisa dinego lagi,” tambah Mikke.
Kendala yang dihadapi pemerintah untuk pembelian hingga restorasi produk seni, menurut Sukardi, terletak pada tidak adanya alokasi anggaran dalam APBN. Mikke menambahkan, pemerintah seharusnya menyediakan anggaran di APBN bagi karya seni Istana. Selain lukisan di Istana, hingga kini Kementerian Keuangan juga belum menetapkan penghitungan aset negara terhadap benda budaya yang dimiliki negara.
Akibatnya, ketika lukisan yang dimiliki kementerian semisal Kementerian Luar Negeri di beberapa kedutaan tiba-tiba rusak, maka tidak ada biaya buat perbaikan. Padahal, hampir setiap kementerian memiliki koleksi karya seni. ”Aset negara itu nilainya nol rupiah karena belum dinilai. Enggak ada surat resminya lukisan itu berharga tinggi. APBN tidak mungkin dilaksanakan ke benda koleksi, kecuali pernah dinilai,” tambah Mikke.
Lebih lanjut, pengetahuan soal seni seharusnya masuk ke dalam materi ujian pemilihan calon presiden. ”Bagaimana perspektif seni setiap calon. Kalau enggak, dia kering kayak orang enggak tahu kebudayaan enggak tahu peradabaan karena unsur peradaban paling jujur dari peradaban ya estetika,” ucap Mikke.
Dalam peradaban yang paling jujur itulah, tersimpan kekayaan bangsa berupa lukisan bernilai seni tinggi seperti yang tergantung di Istana dan lingkungan sekitarnya.