Jeli Ambil Keputusan di Saat Genting, Keteladanan Jenderal Eisenhower untuk Atasi Pandemi
Keputusan Jenderal Eisenhower saat memimpin perang melawan Nazi dapat diteladani pemangku kebijakan dalam hadapi pandemi Covid-19 yang pelik. Salah satunya gunakan informasi selengkap mungkin untuk mengambil keputusan.
Cuaca buruk melanda Selat Inggris di hari-hari pertama Juni 1944. Kondisi yang tidak diharapkan ini terjadi justru saat pasukan Sekutu di Portsmouth, Inggris Selatan, bersiap menyeberanginya untuk menuju kontinen Eropa. Penangguhan terlalu lama bukanlah pilihan karena menyangkut banyak persoalan, tak terkecuali aspek logistik dan moral pasukan.
Suasana pelik ini dihadapi Jenderal Dwight David Eisenhower, sang Panglima Tentara Sekutu. Keputusan tepat mesti diambil. Keselamatan ratusan ribu prajurit yang akan diberangkatkan dan keberhasilan serangan melawan Nazi Jerman menjadi taruhan. Taruhan yang tak ternilai harganya karena menyangkut nyawa.
Pada 4 Juni 1944 malam, tiba-tiba prakirawan cuaca dari Komite Meteorologi Supreme Headquarters Allied Expeditionary Forces, Kapten J.M Stagg, membawa laporan prakiraan cuaca terbaru yang memprediksi bahwa topan akan reda. Hujan akan berlangsung sampai subuh dan cuaca akan cerah sekitar 36 jam.
Perkembangan ini didiskusikannya dengan para perwira. Berbekal informasi data meteorologi bahwa akan ada ”celah waktu sempit” ketika cuaca sedikit membaik itulah Eisenhower memberikan komando untuk memberangkatkan pasukan. Para prajurit Sekutu pun menyeberang Selat Inggris menuju medan perang.
Bagaimanapun keputusan Eisenhower memberangkatkan pasukan saat itu juga merupakan taruhan besar. Namun, seperti disampaikan kepala stafnya, Jenderal Walter B Smith, keputusan ini memang taruhan besar, tetapi adalah taruhan dengan kemungkinan terbaik. Demikian sekelumit ringkasan kisah serangan D-Day yang dapat dibaca di buku karya Stephen E Ambrose.
Di meja kerjanya, sehabis membuat keputusan, Eisenhower menulis pernyataan pers di selembar kertas, yang akan digunakan (dibacakan) jika perlu, seandainya serangan D-Day tersebut gagal. Intinya dia menyampaikan bahwa keputusan untuk menyerang pada waktu dan tempat saat itu didasarkan pada informasi terlengkap yang dapat dikumpulkannya. Jika dalam ikhtiar ini ada kekeliruan atau pihak yang disalahkan, dia semata yang bertanggung jawab atas kekeliruan atau kesalahan itu.
Namun, pernyataan pers—yang secara tersirat menggambarkan karakter Eisenhower sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas keputusannya—itu akhirnya tidak perlu digunakan. Sejarah kemudian mencatat, aksi militer besar-besaran Sekutu di Perang Dunia II tersebut menjadi awal kekalahan Nazi Jerman. Serangan dadakan, tetapi sejatinya terencana karena berbasis data, itu tak pelak mengagetkan lawan yang tak sepenuhnya siaga. Serangan yang menentukan hasil akhir perang.
Selain soal teladan kepemimpinan, ada mutiara kearifan berharga lain yang dapat dipetik dari kisah ini. Mengambil keputusan dengan didasari pertimbangan matang dan data akurat bernilai penting dalam mencapai tujuan. Hikmah ini kiranya dapat diterapkan dalam berbagai bidang, tempat, dan waktu, tak terkecuali di tengah cekaman pandemi Covid-19 seperti sekarang ini.
Kita harus bisa lewati kondisi ini bersama-sama. Kita harus bisa akhiri pandemi ini.
Kesadaran bahwa kita tengah berada pada krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 mesti terus ditanamkan. Hal ini dibutuhkan agar kita semua selalu ingat untuk mematuhi protokol kesehatan melalui gerakan 3M, yakni memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, dan menjaga jarak. Semua pihak juga harus mendukung dan bekerja sama menyukseskan upaya 3T (tes, telusur, serta tindak lanjut dan terapi). Upaya terakhir ini dikenal juga dengan tes, lacak, dan isolasi.
Baca juga: Presiden Jokowi Pantau Langsung Penanganan Covid-19 di Jateng
”Dan siap divaksin saat giliran tiba. Kita harus bisa lewati kondisi ini bersama-sama. Kita harus bisa akhiri pandemi ini,” kata juru bicara pemerintah, Reisa Broto Asmoro, saat menyampaikan keterangan pers di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Rabu (16/6/2021) petang.
Maraton
Dari Senin (14/6/2021) hingga Kamis (17/6/2021) pekan ini pun, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin meninjau vaksinasi massal Covid-19 di Bekasi dan Bogor, Provinsi Jawa Barat; Tangerang dan Tangerang Selatan, Provinsi Banten; dan Provinsi DKI Jakarta. Tak berlebihan ketika lawatan Presiden Jokowi di kawasan aglomerasi Jabodetabek sepekan terakhir terhitung sebagai kunjungan maraton karena dilakukan dalam waktu amat berdekatan.
Ketika dimintai pandangan, Jumat (17/6/2021), Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, kunjungan lapangan berupa peninjauan vaksinasi massal yang dilakukan Presiden Jokowi dapat dilihat dari dua kacamata. Apabila dilihat dari sisi komunikasi politik, terjun ke lapangan merupakan gaya khas Presiden Jokowi sebagai pemimpin untuk melihat langsung di lapangan dan memastikan anak buahnya tahu sedang dalam pengawasan.
”Sehingga akselerasi kerja bisa lebih tercapai. Itu memang gaya khas Jokowi yang kuat di lapangan. Bahkan, bukan itu saja. Jokowi bahkan juga datang, misalnya, untuk sidak (inspeksi mendadak) pungutan liar. Ini ciri khas Jokowi,” ujar Yunarto.
Itu memang gaya khas Jokowi, yang kuat di lapangan.
Akan tetapi, apabila dilihat secara lebih substantif, menurut Yunarto, kunjungan lapangan berupa peninjauan massal vaksin Covid-19 ini belakangan ini secara tersirat juga menggambarkan sikap Presiden Jokowi dalam memberikan prioritasnya terhadap penanganan pandemi Covid-19. Fokusnya adalah mempercepat atau mengakselerasi vaksinasi Covid-19.
”Kenapa? Kita bisa lihat dari bahasa-bahasanya juga ambisius, dengan target vaksinasi yang sangat besar dalam mengakselerasinya. Tetapi harus diapresiasi juga bahwa (Presiden Jokowi) termasuk gerak cepat di awal-awal untuk berebutan stok barang (vaksin) di level global,” kata Yunarto.
Menurut Yunarto, pesan dari kunjungan lapangan ini juga dapat dimaknai bahwa ketika fokusnya adalah di vaksinasi—tanpa diimbangi oleh pembatasan sosial yang ketat, boro-boro lockdown (kuncitara)—maka tersirat ada keterbatasan ruang gerak dari pemerintah secara ekonomi untuk membuat pilihan yang ekstrem. Karena itu, pembatasan sosial secara ketat menjadi pilihan yang lebih sekunder dibandingkan dengan upaya membangun vaksinasi demi membangun herd imunity atau kekebalan komunal.
”Ketika akselerasi vaksin bisa dilakukan cepat, biasanya akan mengurangi kemungkinan risiko untuk terjadinya pembatasan sosial secara ketat yang efeknya secara ekonomi memang besar. Jadi, menurut saya, dari sini terlihat prioritas seorang Jokowi dalam penanganan Covid-19 yang sepertinya lebih fokus pada upaya vaksinasi massal dibandingkan dengan pembatasan sosial,” kata Yunarto.
Seruan darurat
Seperti diberitakan Kompas.id, 18 Juni 2021, lima organisasi kesehatan di Indonesia menyerukan bahwa kondisi penularan Covid-19 di Indonesia sudah memasuki fase darurat karena terjadi lonjakan kasus dengan sangat cepat. Rumah sakit sudah kewalahan sehingga risiko kematian bakal meningkat tinggi jika tidak ada pembatasan sosial yang ketat.
Baca juga: Lima Organisasi Profesi Kesehatan Serukan Darurat Covid-19
Lima organisasi kesehatan di Indonesia yang menyerukan hal ini adalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), dan Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (Perdatin).
Ada lima rekomendasi yang mereka sampaikan. Pertama, meminta pemerintah pusat memberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat secara menyeluruh dan serentak, terutama di Pulau Jawa. Kedua, meminta pemerintah memastikan implementasi dan penerapan PPKM yang maksimal.
Ketiga, pemerintah agar mempercepat vaksinasi sesuai standar. Keempat, semua pihak lebih waspada terhadap varian baru yang lebih mudah menyebar, lebih mudah memperberat gejala, lebih meningkatkan kematian, dan bisa melemahkan vaksin. Kelima, masyarakat agar selalu memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, tidak bepergian jika tidak mendesak, dan menjalankan protokol kesehatan lain.
Sementara itu ekonom yang juga Co-Founder Narasi Institute Fadhil Hasan dalam rilisnya, Jumat (18/6/2021), menyarankan pemerintah untuk tidak ragu menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di zona merah dan mempercepat vaksinasi demi pemulihan kesehatan publik. Lonjakan kasus Covid-19, termasuk ulah varian Delta, dikhawatirkan akan pula mengancam pemulihan ekonomi.
Apabila kita simak, pemerintah selama berbulan-bulan terakhir mengimbau masyarakat untuk taat protokol kesehatan dan ikut menyukseskan vaksinasi. Dan, kini, untuk kesekian kali, seruan dan rekomendasi dari berbagai kalangan dalam upaya mengatasi pandemi Covid-19 terus disuarakan kepada pemerintah. Semua bertujuan sama, yakni agar pandemi segera berakhir. Apabila itu terjadi, kesehatan publik akan pulih dan ekonomi kembali bangkit.
Baca juga: Pencapaian Masih di Bawah 40 Persen, Jabar Gencarkan Vaksinasi Massal
Perkembangan Covid-19 kini mengkhawatirkan. Data dan pandangan berbagai kalangan dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah membuat keputusan dalam mengatasi pandemi Covid-19 ke depan.
Tak terbantahkan, adalah tantangan tersendiri yang menuntut tanggung jawab tinggi untuk membuat keputusan penting di saat genting. Di titik ini, salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi, menjadi tonggak yang dapat diandalkan sebagai pegangan dalam membuat keputusan. (CAS)