Kaji Ulang Pasal yang Mengancam Demokrasi dan Diskriminatif
Ketentuan pidana bagi orang yang melakukan unjuk rasa atau demonstrasi kembali muncul dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang telah disempurnakan pemerintah. Aturan itu dinilai bisa mengancam demokrasi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, RINI KUSTIASIH
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat sipil mendorong dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap pasal-pasal yang dipandang mengancam demokrasi di dalam Rancangan Undang-undang Kitab Hukum Pidana. Selain pasal penghinaan presiden-wakil presiden, pemerintah, dan lembaga negara, ketentuan mengenai kewajiban pemberitahuan unjuk rasa dinilai perlu dikaji ulang.
Ketentuan tentang unjuk rasa tertuang dalam Pasal 273 rumusan RKUHP yang diusulkan pemerintah. Pasal itu mengatur ancaman pidana paling lama satu tahun penjara atau pidana denda kategori II bagi setiap orang yang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan atau tempat umum tanpa pemberitahuan terlebih dahulu pada pihak yang berwenang. Pidana penjara akan dijatuhkan terutama jika pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi itu mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, munculnya pasal ini tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat. UU itu tidak lagi mengatur keharusan izin bagi pengadaan unjuk rasa dan penyampaian pendapat di muka umum. Artinya, Pasal 273 dalam RKUHP itu sebenarnya telah kehilangan obyek lantaran sudah ada UU yang secara khusus mengatur unjuk rasa.
”Pasal ini tentu harus dikaji ulang karena tidak sesuai dengan semangat demokrasi dan kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Konstruksi pengaturan pasal ini juga selaras dengan pasal penghinaan kepada presiden dan wakil presiden yang sebenarnya telah dicabut oleh putusan MK,” ujarnya, saat dihubungi Jumat (18/6/2021) di Jakarta.
Keberadaan pasal-pasal ini dikhawatirkan akan membuka resistensi publik. Lembaga masyarakat sipil, mahasiswa, dan kelompok kritis akan terbatasi dalam menyampaikan pendapatnya di hadapan umum. ”Dulu, kan, itu ada di Pasal 510 KUHP dan itu pasal kolonial yang sudah kehilangan obyek setelah ada UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat. Dulu, pelanggaran atas pasal itu dihukum dua minggu, tetapi dalam draf RKUHP yang disusun pemerintah pada September 2019, ancaman hukumannya di dalam Pasal 273 ialah 1 tahun,” katanya.
Erasmus mempertanyakan semangat penyusunan RKUHP untuk menghilangkan watak kolonial pada KUHP. Ini karena dalam RKUHP ancaman hukuman dalam pasal unjuk rasa lebih tinggi daripada ketentuan sebelumnya (KUHP). Tak hanya itu, munculnya ketentuan pemberitahuan unjuk rasa juga menunjukkan tidak adanya evaluasi terhadap KUHP.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat, Didik Mukrianto, mengatakan, sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 yang telah disempurnakan menjadi UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, setiap pembahasan UU harus melibatkan partisipasi publik. Menurut dia, pelibatan publik menjadi kunci penting.
Karena itu, lanjut Didik, pasal-pasal yang dinilai mengancam demokrasi seharusnya didalami dan dikaji lebih lanjut sesuai dengan masukan masyarakat. Sebagai negara demokratis dan negara hukum, kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab mesti dihormati dan dijamin sebagaimana diamanatkan konstitusi.
”Sebagai bagian penting partisipasi publik dalam ikut mengawal jalannya pemerintahan adalah ikut serta melakukan pengawasan termasuk memberikan masukan dan kritik yang konstruktif dan bertanggung jawab,” ujarnya.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) Achmad Baidowi mengatakan, sebagai RUU carry over (luncuran), pembahasan RUU KUHP memang tidak harus dari awal. Ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 71 A UU No 15/2019 yang menyatakan, pembahasan RUU yang telah memasuki pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) dapat dilanjutkan oleh DPR periode berikutnya. Syaratnya RUU itu dimasukkan kembali ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah dan/atau prolegnas prioritas tahunan berdasarkan kesepakatan DPR, presiden, dan/atau DPD.
Karena itu, menurut Baidowi, bagaimana pembahasan RKUHP di DPR akan sangat tergantung pada keputusan politik fraksi-fraksi di parlemen.
Stigmatisasi penyandang disabilitas
Sosialisasi RKUHP juga dinilai kurang inklusif dan kurang melibatkan kelompok rentan seperti kelompok disabilitas. Akibatnya, sejumlah rumusan pasal RKUHP justru memperkuat stigma bagi penyandang disabilitas. Selain itu, Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Pemantau RKUHP juga menemukan pasal pertanggungjawaban pidana penyandang disabilitas mental yang tidak menerapkan asas perlakuan yang sama di mata hukum.
Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi dalam diskusi daring ”Penyandang Disabilitas Bicara RKUHP: Membangun Pidana Materiil yang Sensitif Disabilitas”, Jumat (18/6/2021), mengatakan, organisasi penyandang disabilitas tidak pernah diundang atau dilibatkan dalam sosialisasi RKUHP yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Padahal, sejumlah pasal di RKUHP menyasar penyandang disabilitas sebagai obyek pengaturan hukum.
Selain itu, forum sosialisasi RKUHP juga tidak pernah melibatkan juru isyarat sehingga sulit dipahami oleh penyandang disabilitas dengan hambatan pendengaran. ”Padahal, sejumlah pasal di RKUHP menyebut kata disabilitas secara langsung. Namun, karena tidak pernah melibatkan organisasi penyandang disabilitas, maka rumusannya berpotensi menstigmatisasi dan menghadirkan ketidakadilan dalam hukum pidana di Indonesia. Draf RKUHP kontraproduktif dengan upaya pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas saat ini,” kata Fajri.
Selain Fajri, narasumber yang hadir dalam diskusi itu adalah Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Yeni Rosa Damayanti, Manajer Program dan Advokasi Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel/SIGAB) Purwanto, anggota Komisi III Fraksi Nasdem Taufik Basari, dan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Topo Santoso.
Pasal yang berpontensi menebalkan stigma bagi penyandang disabilitas itu salah satunya adalah Pasal 38 yang menyebut bahwa setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menderita disabilitas mental dan/ atau disabilitas intelektual, pidananya dapat dikurangi dan dikenai tindakan. Pasal itu berpotensi menstigma penyandang disabilitas mental dan intelektual karena tidak setiap saat penyandang disabilitas mental dan intelektual dalam kondisi tidak cakap hukum.
Gangguan mental dan intelektual pada sejumlah orang juga sifatnya periodik. Mereka bisa berada dalam kondisi normal ketika mendapatkan perawatan dan konsumsi obat dengan rutin. Misalnya adalah penderita skizofrenia, bipolar, dan gangguan mental lainnya. Karena itu, menurut Fajri, pada saat kondisi mereka stabil, mereka dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
”Anggapan bahwa penyandang disabilitas mental dan intelektual selalu tidak cakap hukum berdampak besar kepada hilangnya hak-hak lain,” terang Fajri.
Penyamarataan berdasarkan identitas disabilitas ini hanya berpotensi menebalkan stigma dan menghilangkan hak penyandang disabilitas. Sebab, masing-masing orang, juga kasur per kasus tidak bisa disamaratakan. Idealnya, penerapan hukum pada penyandang disabilitas mental adalah melalui penilaian psikologi secara personal. Apabila dalam penilaian seseorang itu dinyatakan normal, seharusnya dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Namun, jika memang dia mengalami disabilitas mental, bisa lepas dari tuntutan, bukan pengurangan pidana seperti diatur dalam Pasal 38.
Selain itu, di Pasal 103 Ayat (2) huruf a juga disebutkan bahwa tindakan yang dapat dikenakan kepada setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 berupa rehabilitasi. Menurut Fajri, hal itu kontradiktif dengan Pasal 21 UU 18 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang tak hanya mengatur rehabilitasi, tetapi juga habilitasi.
Layanan itu tujuannya sebenarnya hampir sama, tetapi berbeda sasaran. Rehabilitasi ditujukan kepada seseorang yang sebelumnya merupakan non-penyandang disabilitas. Rehabilitasi dilakukan untuk mengembalikan kemampuan dalam kondisi yang berbeda. Adapun habilitasi ditujukan kepada seseorang yang sedari awal atau lahir adalah penyandang disabilitas sehingga perlu dilatih untuk dapat hidup mandiri.
Topo Santoso menambahkan, hal-hal yang menjadi perhatian koalisi adalah hal-hal yang kontradiktif dengan UU Penyandang Disabilitas. Sebelum RKUHP berproses di DPR, seharusnya masukan publik diserap untuk memperbaiki draf yang ada. Sebab, jika hal itu tidak diperbaiki akan berdampak serius dan substantif terhadap RKUHP.
”Saya sudah sampaikan kepada tim ahli pemerintah soal perhatian dari teman-teman. Masukan dari masyarakat sipil penting untuk didengarkan supaya naskah yang ada ini bisa direvisi dan diperbaiki,” kata Topo.
Sementara itu, Taufik Basari mengatakan, advokasi dari koalisi bisa disampaikan kepada pemerintah untuk memperbaiki draf RKUHP. Sebab, saat ini bola dan kuncinya ada di pemerintah. Dia meminta kepada kalangan masyarakat sipil agar mau mendesak dan mendorong pemerintah untuk memperbaiki rumusan RKUHP.
”Kalau ditanya prosesnya seperti apa nanti di DPR, karena ini UU carry over, sangat bergantung pada dinamika politik di DPR. Kalau saya sendiri mendorong supaya RKUHP bisa dibahas tidak hanya 14 isu krusial, tetapi juga isu krusial lain yang masih bermasalah,” kata Taufik.
Taufik juga berjanji, isu mengenai advokasi penyandang disabilitas ini akan menjadi bahan diskusi ketika terjadi pembahasan RKUHP di DPR. Dia tidak mau mengulang kesalahan saat pembahasan UU Cipta Kerja, penyandang disabilitas tidak dilibatkan dalam pembahasan sehingga omnibus law itu dinilai tidak ramah penyandang disabilitas.