Wapres: Waspadai Ancaman Intoleransi, Radikalisme, dan Ekstremisme
Wapres hadiri Peluncuran Pelaksanaan Perpres No 7/2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan. Ia mengingatkan ancaman intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengingatkan semua pihak untuk mewaspadai, mencegah, dan menanggulangi ancaman intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme yang berakibat munculnya berbagai kejadian berbasis kekerasan. Ke depan, ekstremisme dan radikal terorisme selalu bermetamorfosis dalam banyak pola dengan mengusung isu-isu yang tidak sejalan dengan ideologi Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme berbasis kekerasan merupakan gangguan keamanan dalam kehidupan masyarakat serta dapat mengancam ideologi dan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. ”Kita harus selalu waspada dan tetap berusaha mencegah dan menanggulangi sikap-sikap intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme ini meski potensi radikalisme kini sudah mengalami penurunan yang signifikan,” kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang juga Ketua Dewan Pengarah Tim Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat di Jakarta, Rabu (16/6/2021).
Kita harus selalu waspada dan tetap berusaha mencegah dan menanggulangi sikap-sikap intoleransi, radikalisme, dan ekstremisme ini meski potensi radikalisme kini sudah mengalami penurunan yang signifikan. (Wakil Presiden Ma’ruf Amin)
Wapres mengatakan hal ini saat memberi pidato kunci pada acara Peluncuran Pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN-PE) Tahun 2020-2024. Hadir pada acara yang digelar secara hibrida, luring dan daring, tersebut antara lain Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Boy Rafli Amar, serta pimpinan lembaga pemerintah.
Survei BNPT menyebutkan, indeks potensi radikalisme pada 2020 mencapai 14,0 (pada skala 0 sampai dengan 100) atau menurun dibandingkan 2019 yang mencapai 38,4. ”Capaian ini tentu saja menggembirakan bagi kita semua. Untuk itu, saya sampaikan apresiasi kepada semua pihak terkait yang telah melakukan kerja keras mendukung kebijakan deradikalisasi dan kontraradikalisme sehingga mengalami kemajuan yang signifikan,” ujar Wapres.
Wapres menuturkan, Indonesia pun dihadapkan pada tantangan globalisasi dan perkembangan teknologi komunikasi serta informasi yang sangat dinamis. Implikasinya, arus informasi menyebar secara cepat melintas batas antarnegara, termasuk nilai-nilai radikalisme dan ekstremisme. Proses perekrutan juga terjadi melalui pemanfaatan media yang baru dengan segala derivasinya.
Isu terorisme meningkatkan ketidakpastian dan berkelindan dengan kompleksitas masalah-masalah internasional, regional, dan domestik. Dalam konteks pandemi Covid-19 saat ini, pemerintah perlu fokus pada pemulihan ekonomi nasional, peningkatan investasi, dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Pembangunan dapat berjalan optimal dengan dukungan stabilitas keamanan yang kondusif.
Memperhatikan kondisi tersebut, kata Wapres, pemerintah pada awal 2021 telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024 atau kita kenal sebagai RAN-PE.
RAN-PE bertujuan meningkatkan perlindungan hak atas rasa aman warga negara dari ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Hal ini sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945.
”Dalam kaitan ini, saya minta agar RAN-PE ini dilaksanakan dengan strategi yang komprehensif untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, terukur, dan terpadu. Diperlukan kerja kolaboratif dan inklusif dari semua pihak,” ujar Wapres.
Tiga pilar HAM
Kepala BNPT Boy Rafli Amar menuturkan, sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD RI 1945, strategi dan program utama RAN-PE dalam mencapai sasaran dituangkan dalam tiga pilar.
Pertama, pilar pencegahan yang terdiri dari kesiapsiagaan, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi. Kedua, pilar penegakan hukum, perlindungan saksi dan korban, serta penguatan kerangka legislasi nasional. Ketiga, pilar kemitraan dan kerja sama internasional.
”Sebanyak 130 rencana aksi yang terkandung dalam perpres ini merupakan serangkaian program yang terkoordinasi dan akan dilaksanakan oleh berbagai kementerian/lembaga terkait dengan melibatkan peran serta masyarakat dalam rangka pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme,” kata Boy tanpa merinci contoh dari 130 rencana aksi tersebut.
Sebagai salah satu catatan positif, Boy menuturkan, Perpres No 7/2021 mendapat apresiasi publik secara luas karena dinilai memberikan ruang bagi keterlibatan seluruh masyarakat dalam pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Hal ini karena faktor pemicu timbulnya ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme tidak pernah tunggal dan tidak semua ruang di masyarakat bisa dimasuki oleh aktor negara.
”Perpres ini memfasilitasi adanya sinergitas dan kolaborasi antara unsur kementerian/lembaga dan masyarakat. Pelaksanaan rencana aksi menekankan kepada prinsip transparansi dan akuntabilitas, di mana prinsip ini memberikan jaminan bahwa masyarakat sipil dapat berpartisipasi dalam pemantauan, pengawasan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut,” ujar Boy.
Perpres ini memfasilitasi adanya sinergitas dan kolaborasi antara unsur kementerian/lembaga dan masyarakat. Pelaksanaan rencana aksi menekankan kepada prinsip transparansi dan akuntabilitas, di mana prinsip ini memberikan jaminan bahwa masyarakat sipil dapat berpartisipasi dalam pemantauan, pengawasan, dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan tersebut.
Pada kesempatan tersebut, Boy mengajak semua pihak untuk bersama-sama mendukung sepenuhnya, melaksanakan, mengawal, serta memberikan masukan konstruktif terhadap implementasi Perpres No 7/2021 tersebut di masa mendatang. ”Selamat bekerja bagi sekretariat bersama dan pokja (kelompok kerja) RAN-PE. Semoga kita semua dapat meneruskan kerja-kerja baik ini dan dapat terus mendorong inisiatif dalam penanggulangan terorisme,” katanya.
Boy mengatakan, terorisme tersebut tidak saja dalam lingkup nasional, tetapi juga regional dan multilateral. Sifat dari kejahatan terorisme adalah merupakan kejahatan luar biasa dan transnasional sehingga kerja sama internasional adalah bagian dari penguatan kita bersama untuk mengeliminasi segala potensi ancaman aksi kekerasan yang ada dalam masyarakat.
Pengamat terorisme dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, ketika dihubungi, menuturkan, dirinya selama bertahun-tahun menolak penggunaan istilah radikalisme untuk menggambarkan persoalan terorisme secara akademis. Dunia internasional pun sudah sekian lama menggunakan konsep violent extremism untuk menunjuk praktik-praktik terorisme.
”Kita menyambut baik munculnya Perpres RAN-PE. Asumsi kita, awalnya, bahwa (melalui Perpres RAN-PE) ini ada pergeseran cara pandang pemerintah terhadap terorisme. Terorisme bukan lagi dilihat sebagai persoalan radikalisme. Sebab, sebenarnya antara ekstremisme dan radikalisme berbeda secara definisi dan normatif. Dengan demikian, kalau berbeda definisinya, maka aksinya pun berbeda,” katanya.
Campur aduk
Terkait hal tersebut, Khairul menilai bahwa dicampuraduknya soal radikalisme dan indeks potensi radikalisme pada acara peluncuran pelaksanaan Perpres RAN-PE menunjukkan bahwa dari sisi konsep masih ada masalah. ”Penurunan indeks potensi radikalisme tidak berarti apa-apa bagi, mungkin, indeks ekstremisme. (Hal ini) Karena (keduanya) sebenarnya berbeda,” katanya.
Campur aduk konsep radikalisme dan ekstremisme seperti ini, menurut Khairul, menjadi salah satu kelemahan penanggulangan terorisme secara umum di Indonesia. Radikalisme per definisi menyangkut soal sesuatu hal atau pemikiran yang mendalam. Sementara ekstremisme merupakan fenomena luaran, semisal menyangkut peminggiran atau marjinalisasi, alienasi, diskriminasi, dan hal-hal seperti itu.
Campur aduk konsep radikalisme dan ekstremisme menjadi salah satu kelemahan penanggulangan terorisme secara umum di Indonesia.(Khairul Fahmi)
Secara teori akademis, terorisme sebagai suatu kejahatan atau kekerasan ekstrem sebagai suatu bentuk kejahatan tidak pernah dalam. Kejahatan itu bersifat dangkal, banal, dan bisa juga ekstrem. Pemahaman keagamaan yang dangkal tidak bisa disebut sebagai radikal, tetapi bisa disebut sebagai ekstrem. Kekerasan bisa terjadi karena pemahaman ekstrem.
”Ini yang kemudian, menurut saya, menjadi tidak pas ketika indeks potensi radikalisme disampaikan hasilnya dalam sebuah kegiatan yang terkait dengan penanggulangan ekstremisme. Jadi, sebenarnya tidak ada yang bisa disimpulkan dari pernyataan itu selain menunjukkan bahwa penanggulangan terorisme kita masih campur aduk dan belum menemukan formula yang tepat,” ujar Khairul.
Terkait partisipasi masyarakat, Khairul menuturkan, salah satu rencana aksi adalah membangun sebuah sistem deteksi dini dan respons cepat masyarakat dalam hal keamanan lingkungan. ”Hal yang menonjol kemudian adalah soal pemolisian masyarakat dan bagaimana mendorong masyarakat agar mau dan sigap melapor jika di wilayahnya terdapat situasi dan kondisi yang mengarah pada ekstremisme berbasis kekerasan,” katanya.
Khairul berpendapat, kalau rambu-rambunya tidak disiapkan dan disosialisasikan dengan baik, ada kekhawatiran hal ini bisa meningkatkan potensi konflik horizontal, pelanggaran hak asasi manusia, praktik intoleransi baru, persekusi, dan kekerasan berbasis penistaan di tengah masyarakat. ”Apalagi kita tahu, di sisi lain, kepolisian sudah mengakomodasi berbagai bentuk sistem pengamanan lingkungan swakarsa,” katanya.
Hal yang juga dikhawatirkan, kata Khairul, adalah berkembangnya rasa saling curiga di tengah masyarakat. Pelibatan media dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme pun mesti dilakukan dengan hati-hati dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip demokrasi serta kebebasan pers.