Komnas HAM Sebut Wakil Ketua KPK Tak Bisa Klarifikasi Seluruh Pertanyaan
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mendatangi kantor Komnas HAM dan memberikan keterangan kepada tim Komnas HAM sekitar lima jam. Namun, Komnas Ham menyebut Ghufron tidak bisa mengklarifikasi seluruh pertanyaan.
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya datang ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk memberikan keterangan mengenai pengusutan aduan dugaan pelanggaran HAM terkait tes wawasan kebangsaan (TWK). Komnas HAM menyebut Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron tak bisa mengklarifikasi seluruh pertanyaan yang diajukan.
Adapun dalam surat panggilan Komnas HAM sebenarnya memanggil seluruh unsur pimpinan KPK. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron tiba di kantor Komnas HAM Jakarta sekitar pukul 10.00. Dia memberikan keterangan kepada tim Komnas HAM sekitar lima jam hingga pukul 15.00.
Seusai pemeriksaan, Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM M Choirul Anam mengatakan, surat pemeriksaan pengusutan dugaan pelanggaran HAM dalam TWK itu dilayangkan kepada lima unsur pimpinan dan Sekretaris Jenderal KPK. Dia menyayangkan yang bisa hadir untuk memberikan keterangan hanya Nurul Ghufron. Akibatnya, tidak semua pertanyaan dari Komnas HAM bisa dijawab, terutama yang menyangkut tiga kluster, yaitu pengambilan keputusan terkait TWK, pemilihan metode TWK yang dijadikan dasar untuk alih status pegawai KPK, dan siapa yang mencetuskan ide tersebut.
Di tiga kluster pertanyaan itu, tim Komnas HAM mendalami apakah pengambilan kebijakan di level yang lebih besar termasuk keputusan kolektif kolegial atau bukan. Tim juga menggali keterangan soal siapa yang mengeluarkan ide TWK dan pemilihan metode wawancara TWK yang digunakan sebagai dasar alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Namun, menurut Anam, Ghufron tidak bisa menjawab tiga kluster pertanyaan itu. Padahal, Ghufron mengklaim mewakili kehadiran pimpinan lain karena struktur organisasi dan pengambilan keputusan di KPK bersifat kolektif kolegial.
”Tiga kluster pertanyaan itu tidak dapat dijawab karena bukan ranah Nurul Ghufron. Ternyata, memang beberapa konstruksi pertanyaan kami bukan wilayah kolektif kolegial, tetapi sifatnya kontribusi para pimpinan per individu. Itu merupakan ranah pimpinan yang lain,” terang Anam.
Oleh karena itu, supaya keterangan yang diberikan KPK lebih komprehensif, Komnas HAM memberikan kesempatan kepada empat unsur pimpinan lain dan Sekjen KPK untuk datang mengklarifikasi pertanyaan itu. Komnas HAM juga sudah menyampaikan kepada Ghufron agar unsur pimpinan lain mau mengklarifikasi kepada Komnas HAM perihal pertanyaan yang tak bisa dia jawab.
Baca juga: Pimpinan KPK Janji Penuhi Panggilan Komnas HAM pada Kamis Ini
”Sekali lagi, ini sifatnya tidak hanya soal kolektif kolegial, tetapi juga kontribusi masing-masing pimpinan terhadap proses TWK ini,” jelas Anam.
Kesempatan mengklarifikasi
Anam menjelaskan, sebelum pemeriksaan berlangsung, Komnas HAM sebenarnya sudah berkomunikasi dengan KPK yang mengatakan bahwa sejumlah pimpinan tidak bisa datang dan akan diwakilkan kehadirannya. Komnas HAM kemudian menjelaskan bahwa kehadiran unsur pimpinan KPK dalam agenda itu tidak bisa diwakilkan. Sebab, saat ini Komnas HAM tengah melakukan pendalaman pemeriksaan.
Sebelumnya, KPK telah mengutus Kepala Biro Hukum Ahmad Burhanudin dan Pelaksana Tugas Kepala Bagian Litigasi Iskandar Marwanto ke Komnas HAM, Senin (14/6/2021). Ada sejumlah pertanyaan yang harus dikonfirmasi langsung oleh seluruh unsur pimpinan dan Sekjen KPK. Komnas HAM juga sudah menegaskan bahwa kehadiran itu tidak bisa diwakilkan.
”Sampai hari ini, berdasarkan dokumen yang kami punya dan konfirmasi, keterangan yang diberikan Pak Ghufron sudah cukup. Namun, tetap diperlukan keterangan lain dari empat (unsur) pimpinan lain dan Sekjen untuk menggambarkan secara jelas konstruksi peristiwa TWK ini. Ini yang masih kami minta,” kata Anam.
Dia menambahkan, dalam pemberian keterangan tambahan itu, empat unsur pimpinan KPK tidak perlu dipanggil ulang. Komnas HAM hanya memberikan kesempatan jika pimpinan KPK mau memberikan keterangan tambahan. Jangan sampai keterangan yang tidak utuh bagi KPK itu merugikan pihak tertentu. Misalnya, apabila ada nama unsur pimpinan KPK yang disebut di konstruksi peristiwa itu, dia akan dirugikan jika tak mengklarifikasi. Sebab, klarifikasi yang dibutuhkan Komnas HAM bersifat klarifikasi langsung, bukan lembaga.
Selain itu, dalam perkembangan pemeriksaan itu, Komnas HAM juga menemukan ada perbedaan keterangan antara KPK dan BKN, terutama soal hal substansi dan teknis yang memengaruhi mengapa 75 pegawai KPK tidak lolos dalam TWK. Namun, Anam enggan menjelaskan secara detail karena itu masuk dalam materi pendalaman Komnas HAM.
Taat hukum
Nurul Ghufron mengatakan, kehadiran KPK di Komnas HAM menunjukkan bahwa KPK selama ini tidak mangkir. KPK hanya mencari waktu yang pas untuk bisa hadir ke Komnas HAM. Sesuai Pasal 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Komnas HAM, diatur bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat dan tak terpisahkan dari manusia.
HAM harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, kecerdasan, dan keadilan. Di Pasal 3 Ayat (2) UU Komnas HAM juga disebut bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Aspek kepastian hukum itulah yang dilaksanakan oleh KPK untuk memberikan kejelasan tentang keterangan yang dibutuhkan Komnas HAM.
”Hari ini saya mewakili KPK untuk menjelaskan mulai dari landasan hukum, kedudukan hukum KPK dalam menyusun kebijakan pengalihan pegawai KPK ke ASN,” kata Ghufron.
Gufron menjelaskan, TWK adalah tindak lanjut dari Pasal 6 UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, Pasal 5 Ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN. Kemudian, KPK melahirkan regulasi teknis berupa Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengalihan Pegawai KPK ke ASN.
Dalam pelaksanaan TWK, KPK bekerja sama dengan BKN. Hal itu diatur dalam Pasal 5 Ayat (4) Perkom No 1/2021 sebagai dasar pelaksanaan TWK pada Maret 2021. Pegawai KPK yang lolos TWK akhirnya diangkat menjadi ASN pada 1 Juni 2021.
”Kami jelaskan kepada Komnas HAM berkaitan dengan legal standing, dasar hukum kewenangan, kebijakan regulasi, dan pelaksanaan alih pegawai KPK ke ASN yang telah dilaksanakan pada 1 Juni 2021,” terang Ghufron.
Apa pun hasil rekomendasi dari Komnas HAM nantinya, Ghufron menyatakan, sebagai aparat penegak hukum, KPK akan taat pada keputusan apa pun yang berlaku di Indonesia. Dia juga menghargai proses hukum yang saat ini ditempuh oleh 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK.
Selain mengadu ke Komnas HAM soal dugaan pelanggaran HAM TWK, pegawai yang tak lolos juga menguji materi Perkom Nomor 1 Tahun 2021 ke Mahkamah Agung. Bahkan, UU No 19/2019 tentang KPK, juga diuji materi lagi oleh beberapa pihak di MK. KPK juga dilaporkan ke Ombudsman RI terkait dugaan pelanggaran administratif.
”KPK secara prosedur posisinya akan taat dan menghormati semua lembaga negara yang sedang melakukan proses hukum dari pihak mana pun,” kata Ghufron.
Meminta transparansi
Juru bicara Tim 75 atau wadah 75 pegawai KPK yang tak lolos TWK, Budi Agung Nugroho, meminta juru bicara KPK sebagai perwakilan resmi lembaga untuk berhenti mengeluarkan pernyataan yang blunder kepada media. Sebab, perwakilan tim 75 telah bersurat resmi kepada Pejabat Pengelola Informasi dan Data (PPID) KPK untuk meminta transparansi hasil tes TWK.
Ada delapan poin yang diminta pegawai KPK dalam surat permohonan itu, di antaranya hasil asesmen TWK yang meliputi tes Indeks Moderasi Bernegara (IMB), tes tertulis, dan tes wawancara; kertas kerja penilaian lengkap atas hasil asesmen semua tahapan dari BKN yang memuat metodologi, kriteria penilaian, rekaman hasil wawancara, analisa asesor, saran dari asesor, dan dasar penentuan unsur yang diukur dalam asesmen TWK.
Selain itu, juga dasar atau acuan penentuan unsur yang diukur dalam asesmen TWK; dasar penentuan kriteria memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS) dalam asesmen TWK itu, dasar penentuan dan penunjukan asesor, data yang diberikan oleh KPK kepada asesor atau pewawancara dan dasar hukumnya; kertas kerja asesor; hingga berita acara penentuan lulus atau tidak lulus oleh asesor.
”Karakteristik data yang diminta seharusnya tak butuh waktu lama untuk berkoordinasi dengan BKN sebagai pihak penyelenggara TWK. Seharusnya data itu sudah tersedia bahkan sejak sebelum TWK berlangsung,” kata Budi.
Menurut Budi, seharusnya, KPK berhak memanfaatkan seluruh hasil asesmen TWK pegawai, laporan pelaksanaan kegiatan, serta seluruh data dan dokumen yang dihasilkan dalam pelaksanaan TWK tanpa perlu meminta persetujuan dari BKN. ”Kecuali, landasan hukum dan sertifikat asesor yang seharusnya ada sebelum TWK, dibuat backdate seperti nota kesepahaman antara BKN dan KPK dalam pelaksanaan TWK,” imbuh Budi.