Menanti Akhir Pelarian Si Raja Kayu
Adelin Lis, terpidana kasus pembalakan liar dan korupsi, bakal dideportasi dari Singapura karena tersandung masalah keimigrasian. Nasib pengusaha kayu asal Sumatera Utara itu kini berada di tangan Kejaksaan Agung.
Lama tak terdengar, nama Adelin Lis kembali muncul dan menjadi pembicaraan publik. Setelah satu dasawarsa lewat tak diketahui rimbanya, terpidana kasus pembalakan liar itu dilaporkan bakal dideportasi Pemerintah Singapura karena tersandung masalah keimigrasian.
Adelin Lis ditangkap pihak imigrasi Singapura pada 2018. Saat itu, ia masuk Singapura menggunakan paspor dengan nama Hendro Leonardi. Otoritas imigrasi Singapura curiga karena menemukan kesamaan data paspor Hendro Leonardi dan Adelin Lis.
Pihak imigrasi Singapura lalu mengirimkan surat kepada Atase Imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Singapura untuk mengonfirmasi temuannya. Berdasarkan informasi yang didapat Kompas, sejak tahun 2018, sudah empat kali otoritas imigrasi Singapura berkirim surat ke KBRI, yakni 12 Juni 2018, 19 November 2018, 19 Juli 2019, dan 4 Maret 2021.
Melalui surat itu, otoritas imigrasi Singapura juga menanyakan keabsahan Surat Keterangan Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi tanggal 25 Juli 2018 yang menyatakan paspor atas nama Hendro Leonardi benar dikeluarkan oleh Kantor Imigrasi Jakarta Selatan pada 19 Juli 2017. Surat keterangan itulah yang digunakan pengacara Adelin dalam persidangan di Singapura.
Namun, dari keempat surat itu, baru surat terakhir yang dibalas. Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM kemudian memastikan bahwa Adelin Lis dan Hendro Leonardi merupakan orang yang sama. Bukan hanya itu, Ditjen Imigrasi juga menyampaikan tidak pernah mengeluarkan paspor untuk orang bernama Hendro Leonardi.
Dalam persidangan, Adelin Lis pun mengaku bersalah. Atas dasar itu, pada 9 Juni 2021, pengadilan Singapura menjatuhkan hukuman denda 14.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 140 juta yang dibayarkan dua kali dalam periode satu pekan. Pengadilan juga mengembalikan paspor atas nama Hendro Leonardi kepada Pemerintah Indonesia dan mendeportasi Adelin Lis.
Kejaksaan Agung (Kejagung) pun bergerak cepat mendengar Adelin yang sudah 13 tahun buron akan dideportasi. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, melalui KBRI Singapura, meminta izin untuk menjemput terpidana kasus pembalakan liar tersebut.
Baca juga : Ditangkap di Singapura, Adelin Lis Segera Dibawa ke Indonesia
Namun ternyata, pemulangan tidak sesederhana yang dibayangkan. Hingga Rabu (16/6/2021) malam, Kementerian Luar Negeri Singapura belum juga memberikan izin bagi aparat penegak hukum dari Indonesia untuk menjemput Adelin Lis. Sesuai dengan aturan hukum Singapura, Adelin Lis hanya diperbolehkan untuk dideportasi dengan menggunakan pesawat komersial.
Sementara Adelin Lis disebutkan telah memesan tiket ke Medan untuk penerbangan pada 18 Juni 2021. ”Jaksa Agung menolak keinginan Adelin Lis dan memerintahkan KBRI di Singapura untuk hanya mengizinkan Adelin Lis dideportasi ke Jakarta,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak.
Raja Kayu
Mencuatnya nama Adelin Lis yang tersangkut masalah keimigrasian tentu menyisakan tanya. Bisa jadi, banyak orang yang sudah lupa atau bahkan tidak tahu siapa sebenarnya Adelin Lis.
Adelin merupakan generasi kedua dari Acak Lis, pemilik perusahaan pengolahan kayu PT Mujur Timber di Sumatera Utara (Sumut). Sepeninggal Acak, Mujur Timber dikelola anak-anaknya, salah satunya Adelin Lis.
Di tangan generasi kedua, perusahaan pengolahan kayu itu bertambah besar. Mereka mendirikan sejumlah perusahaan baru dan menjadi pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) terbesar di Sumut. Perusahaan baru itu antara lain PT Gruti yang memiliki HPH seluas 100.000 hektar, PT Mitra Wana Lestari (69.590 hektar), PT Inanta Timber (40.610 hektar), dan PT Keang Nam Development Indonesia atau KNDI (58.590 hektar).
Jika ditotal, keluarga Lis menguasai HPH seluas 268.700 hektar. Separuh lebih dari total HPH di Sumut pada akhir tahun 2007 seluas 566.451 hektar. Itulah yang membuat keluarga Lis sering disebut sebagai ”Raja Kayu”.
PT KNDI yang memiliki HPH selama 55 tahun kemudian dituding melakukan pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal. Adelin ditetapkan sebagai tersangka kasus pembalakan liar oleh Kepolisian Daerah (Polda) Sumut pada Maret 2006 karena membabat hutan tanpa tebang pilih. Pria yang resmi dicekal sejak 29 Juni 2006 itu juga disangka melakukan tindak pidana korupsi.
Sejak saat itu, Adelin menghilang dan menjadi buronan Polda Sumut. Hingga pada September 2006, Adelin tertangkap di Beijing, China, saat akan memperpanjang paspor di KBRI Beijing.
Ronny F Sompie, yang kala itu menjabat Direktur Reserse Kriminal Polda Sumut, menerangkan, Adelin tiba di Medan pada Sabtu, 9 September 2006, setelah dibawa terbang dari Beijing ke Jakarta. Dengan pengawalan 10 anggota Brimob dan lima anggota Reskrim Polda Sumut, Adelin diberangkatkan ke Medan dengan pesawat Garuda dan tiba sekitar pukul 22.30 (Kompas, 11/9/2006).
Kasus itu kemudian berlanjut hingga ke meja hijau. Setelah melalui proses persidangan, pada 5 November 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang diketuai Arwan Bryn memutus Adelin bebas dari semua dakwaan. Padahal, jaksa menuntut Adelin dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan. Jaksa juga menuntut terdakwa wajib membayar ganti rugi dana provisi sumber daya alam senilai Rp 119,8 miliar serta dana reboisasi 2,9 juta dollar AS. Sejak sidang terakhir di Pengadilan Negeri Medan itu, keberadaan Adelin tak diketahui lagi (Kompas, 2/8/2008).
Sementara jaksa penuntut umum yang tak puas dengan putusan PN Medan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Pada tahun 2008, MA mengabulkan permohonan jaksa dan memidana Adelin Lis dengan 10 tahun penjara serta membayar uang pengganti Rp 119,8 miliar dan dana reboisasi 2,938 juta dollar AS.
Vonis terhadap Adelin dibacakan dalam sidang Kamis, 31 Juli 2008, oleh majelis hakim agung yang terdiri dari Bagir Manan sebagai ketua majelis serta Djoko Sarwoko, Artidjo Alkostar, Harifin A Tumpa, dan Mansyur Kartayasa.
MA juga menghukum Adelin dengan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Bila dalam waktu satu bulan Adelin tidak dapat mengembalikan kerugian negara, harta bendanya disita. Namun, jaksa tidak bisa melakukan eksekusi karena keberadaan Adelin Lis tidak diketahui.
Sebelum MA mengeluarkan putusan, Adelin sudah lebih dulu ditetapkan sebagai buronan dan masuk daftar red notice Interpol pada 19 November 2007. Raja kayu dari Medan itu disebut telah melakukan kejahatan lingkungan, pembalakan liar, dan pencucian uang.
Jadi sorotan
Vonis bebas Adelin Lis mendapat sorotan berbagai pihak, tak terkecuali Presiden (kala itu) Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam pertemuan dengan Jaksa Agung (saat itu) Hendarman Supandji di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis, 8 November 2007, Yudhoyono mendukung jaksa mengajukan kasasi ke MA (Kompas, 9/11/2017).
Komisi Yudisial (KY) juga menyelidiki para hakim Pengadilan Negeri Medan yang menyidangkan kasus Adelin Lis. Pada 5 Desember 2007, KY merekomendasikan lima hakim diberhentikan sementara dari jabatannya selama 6-12 bulan (Kompas, 6/12/2007).
Tiga jaksa yang menangani perkara pembalakan liar dan korupsi Adelin Lis dijatuhi hukuman disiplin, dari penurunan jabatan hingga pengurangan gaji (Kompas, 3/1/2008).
Sementara hingga Kamis (17/6/2021), Kejaksaan Agung masih berkomunikasi dengan otoritas Singapura terkait pemulangan Adelin Lis. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin bersikeras ingin menjemput langsung Adelin Lis yang sudah 13 tahun buron. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengungkapkan, Jaksa Agung khawatir Adelin Lis akan kembali kabur jika dideportasi menggunakan pesawat komersial.
Kini, mata publik tertuju pada Kejaksaan Agung sembari menanti akhir pelarian Raja Kayu dari Sumatera Utara.