RKUHP Segera Dibawa ke DPR, Pemerintah Janji Partisipasi Publik Masih Terbuka
Pemerintah berjanji akan tetap membuka ruang bagi publik untuk memberi masukan soal Rancangan KUHP kendati tahapan sosialisasi RKUHP telah tuntas. Masyarakat sipil mendorong pemerintah mengadakan sosialisasi tematis.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah telah menyelesaikan tahapan sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di 12 kota besar di Tanah Air. Usulan Pemerintah akan dibawa ke Badan Legislasi DPR untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Pemerintah menjamin akan tetap membuka partisipasi publik setelah tahapan tersebut.
Sosialisasi terakhir Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) digelar di Jakarta, Senin (14/6/2021). Sosialisasi yang digelar secara hibrida, yaitu luring dan daring, itu dihadiri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional HR Benny Riyanto, Wakil Ketua Komisi III DPR Mulfachri Harahap, serta anggota tim ahli penyusun RKUHP. Selain itu, ada perwakilan sejumlah kampus dan lembaga swadaya masyarakat. Hadir pula perwakilan asosiasi profesi, seperti Ikatan Hakim Indonesia dan Perhimpunan Advokat Indonesia.
Perwakilan masyarakat sipil memberi catatan, komposisi peserta sosialisasi dinilai belum inklusif. Selain itu, waktu sosialisasi juga dianggap terbatas, dengan pembahasan yang luas, sehingga dinilai kurang komprehensif untuk membahas 628 pasal dalam RKUHP.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, setelah sosialisasi terakhir itu, pemerintah akan menyusun usulan RKUHP untuk dibawa ke Badan Legislasi DPR. Di Badan Legislasi, RKUHP akan dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2021. Saat ini, RKHUP masih masuk dalam daftar rancangan undang-undang dengan mekanisme luncuran (carry over) dari periode sebelumnya.
”Kami berharap RKUHP ini akan masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021, kemudian akan dibahas bersama DPR. Soal mekanisme carry over itu, kita memang belum punya preseden. Nanti akan dibahas bersama DPR seperti apa bentuknya,” kata Eddy.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada itu menjelaskan, DPR dan pemerintah belum memiliki pengalaman membahas RUU dengan mekanisme luncuran. Mekanisme tersebut belum diatur rinci dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Jika mau tegas, katanya, mekanisme luncuran itu tidak perlu membahas ulang RUU, tetapi langsung dibawa ke paripurna untuk disahkan. Apalagi, untuk RKUHP, pada tahun 2019, sudah sampai pada tahap persetujuan tingkat I. Karena ada penolakan publik yang meluas, DPR gagal membawa RKUHP sampai pada persetujuan tingkat II.
”Kalau itu murni carry over, seharusnya langsung ketuk palu di paripurna tanpa pembahasan ulang. Tetapi, ini tidak demikian. Tim ahli dan tim internal pemerintah melakukan pembaruan rumusan yang ada, terutama 14 isu krusial yang menjadi perhatian publik,” ujarnya.
Eddy menegaskan, pemerintah memperhatikan concern publik pada isu-isu krusial RKUHP. Masukan publik mengenai persoalan aborsi, tindak pidana pemerkosaan, misalnya, telah diperbarui oleh tim ahli dan tim internal pemerintah sepanjang 2020-2021. Perbaikan dari pemerintah itu, menurut dia, belum final. Publik masih bisa memberikan masukan pada saat RKUHP berproses di DPR.
”Jadi, masih terbuka pintu untuk melakukan pembahasan ulang. Partisipasi publik itu perlu,” kata Eddy.
Mulfachri mengatakan, dalam rapat kerja Komisi III DPR bersama Menteri Hukum dan HAM disebutkan, dengan mekanisme carry over, RUU yang sudah dibahas sampai tahap tertentu tidak dibahas ulang mulai dari awal. Apalagi, untuk RKUHP, DPR periode sebelumnya telah sampai pada pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM). Hasil pembahasan DIM itu masih bisa digunakan. Kemudian, jika masih ada perbaikan isu krusial, bisa didorong revisi terbatas pada isu tersebut.
”Dalam sosialisasi ini juga dijelaskan perubahan apa saja yang dilakukan terhadap isu-isu krusial yang jadi perhatian masyarakat. Karena itu, ujungnya (sosialisasi ini) harus pada pengesahan RKUHP, karena ini sudah melewati proses panjang sejak 2015,” kata Mulfachri.
Mulfachri mengatakan, dirinya menantang pemerintah untuk dapat segera menyelesaikan RKUHP.
Namun, sebelumnya, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, secara terpisah mendukung adanya pembahasan secara parsial isu-isu yang mendapat perhatian masyarakat.
Kurang inklusif
Perwakilan dari LBH Apik, Indun, mengatakan, sosialisasi yang digelar di 12 kota di Tanah Air kurang inklusif dari sasaran peserta. Kelompok rentan, baik kaum disabilitas maupun masyarakat adat, belum banyak dilibatkan. Padahal, RKUHP juga akan mengatur kelompok rentan tersebut.
Indun mengapresiasi upaya pemerintah untuk memperbaiki RKUHP dengan pertimbangan masukan dari publik. Misalnya, dengan memperbaiki rumusan pasal mengenai pemerkosaan di dalam pernikahan (marital rape).
Namun, rumusan itu, menurut dia, masih belum relevan jika dikaitkan dengan kompleksitas permasalahan kekerasan yang ditemui di lapangan. Ada masalah tipu daya, relasi kuasa yang timpang, dan manipulasi dalam tindak pidana pemerkosaan. Adapun rumusan RKUHP versi pemerintah masih menggunakan paradigma lama.
Indun juga menyoroti diskusi yang porsinya lebih besar pada pemaparan rumusan RKUHP dari pemerintah sehingga diskusi tematis yang fokus pada isu tertentu kurang komprehensif. Peserta hanya diberi sedikit kesempatan menyampaikan aspirasinya.
”Saya berharap setelah ini masih ada tahapan partisipasi publik lagi. Sosialisasi dilakukan sesuai tema sehingga lahir diskusi yang lebih komprehensif mengenai isu tertentu,” kata Indun.
Sementara itu, Mahfud mengatakan, hukum adalah sebuah resultan atau kesepakatan dari pemangku kepentingan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, wajar jika dalam pembahasan ada perdebatan yang panjang.
Menurut dia, dalam pembahasan RKUHP ini, pemerintah sudah mencoba menerapkan prinsip resultan demokratis. Artinya, semua pihak didengar pendapatnya. Namun, jika pada akhirnya tidak semua kepentingan terakomodasi, hal itu pun bagian dari dinamika pengambilan keputusan.
”Keputusan RKUHP ini harus dibuat melalui due process of law atau proses hukum yang adil. Perdebatan tak bisa dihindari karena Indonesia adalah negara majemuk. Namun, tetap harus segera diputuskan karena bicara isu hukum yang sudah selama 50 tahun itu terlalu berlebihan,” ujar Mahfud.