Putusan yang Meringankan Hukuman Pinangki Lukai Rasa Keadilan
Sejumlah guru besar fakultas hukum menilai putusan majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang memotong separuh lebih vonis hukuman Pinangki memperlihatkan tidak adanya semangat pemberantasan korupsi dari hakim.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemotongan hukuman terhadap Pinangki Sirna Malasari, dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperlihatkan komitmen hakim di lembaga peradilan terhadap pemberantasan korupsi rendah. Tidak hanya mengenyampingkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga menutup mata terhadap pelaku tindak pidana korupsi dari kalangan aparat penegak hukum.
Seperti diketahui, Pinangki adalah salah seorang terdakwa kasus pengurusan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra. Saat terlibat dalam perkara itu, Pinangki adalah jaksa yang menjabat sebagai Kepala Subbagian Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung.
Di pengadilan tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan vonis hukuman 10 tahun penjara dan denda Rp 600 juta kepada Pinangki. Kemudian Pinangki mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis hakim mengabulkan permohonan banding dan memangkas hukuman Pinangki selama 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara.
Di dalam putusan, majelis hakim tingkat banding menimbang bahwa pidana penjara yang dijatuhkan terhadap terdakwa terlalu berat. Sementara, terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya, serta telah mengikhlaskan dipecat dari profesinya sebagai jaksa.
Selain itu, majelis hakim tingkat banding juga menimbang bahwa Pinangki adalah seorang ibu dari seorang anak balita. Dan sebagai wanita, terdakwa harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho, Selasa (15/6/2021), mengatakan, putusan majelis hakim terhadap vonis Pinangki memperlihatkan tidak adanya semangat pemberantasan korupsi dari hakim. Padahal, pelaku korupsi adalah seorang jaksa yang adalah teladan dan pilar penegakan hukum.
Di sisi lain, sebagaimana di pengadilan negeri, di pengadilan tinggi berlaku judex facti, yakni berwenang memeriksa fakta dan bukti dari suatu perkara. Dengan demikian, mestinya putusan pengadilan tinggi tidak jauh berbeda dari putusan pengadilan negeri.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho, Selasa (15/6/2021), mengatakan, putusan majelis hakim terhadap vonis Pinangki memperlihatkan tidak adanya semangat pemberantasan korupsi dari hakim.
”Semangat hakim di pengadilan negeri itu bagus, yakni menjatuhkan pidana melebihi tuntutan jaksa, yakni dari 4 tahun menjadi 10 tahun. Namun, putusan pengadilan tinggi justru sebaliknya. Putusan ini memperlihatkan korupsi bukan kejahatan luar biasa,” kata Hibnu.
Hibnu mengatakan, pidana yang dijatuhkan hakim berfungsi untuk memberi efek jera dan sekaligus memberi contoh bagi yang lain. Dengan demikian, putusan pengurangan tersebut menunjukkan gambaran bagaimana korupsi diperlakukan, yakni seolah sama dengan kejahatan biasa.
Terkait pertimbangan majelis hakim di tingkat banding yang menyatakan terdakwa mengaku bersalah dan mengikhlaskan dipecat dari profesinya, menurut Hibnu, hal itu adalah konsekuensi sebagai pelaku tindak kejahatan. Dengan semangat membangun negara yang bersih dari korupsi, seorang aparatur sipil negara yang melakukan korupsi harus dipecat.
Demikian pula terkait dengan pertimbangan bahwa terdakwa sebagai perempuan yang harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil dinilainya terlalu mengada-ada. Sebab di dalam hukum yang berlaku adalah persamaan di hadapan hukum (equality before the law), bukan jender. Di hadapan hukum yang dilihat adalah perbuatannya.
”Saya melihatnya mengada-ada. Seharusnya yang dilihat adalah obyeknya, yakni adanya perilaku yang menyimpang. Asasnya adalah kemampuan untuk bertanggung jawab,” tutur Hibnu.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, putusan pengadilan tinggi tersebut menambah ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, putusan pengadilan tinggi tersebut menambah ketidakpercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Putusan hakim yang semestinya menjadi jembatan dan terobosan antara hukum yang berkembang lambat dengan dinamika masyarakat yang bergerak cepat sama sekali tidak tecermin dalam putusan tersebut.
”Jadi, pelaku korupsi yang adalah seorang jaksa, dengan segala tipu muslihatnya dianggap sama dengan pengguna narkoba. Ini anomali. Maka ke mana rakyat harus mencari keadilan ketika pilar keadilan yang dijaga para hakim itu tidak bisa diharapkan,” katanya.
Sulistyowati mengingatkan, korupsi berdampak pada masyarakat luas. Dalam kerangka bernegara, kebocoran anggaran karena korupsi akan mengurangi kemampuan negara untuk menyediakan layanan dasar bagi masyarakat, terutama pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, seharusnya pelaku korupsi dihukum berat, bukan malah diringankan. Putusan tersebut tentu melukai perasaan publik.
Secara terpisah, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Riono Budisantoso ketika dikonfirmasi mengatakan, jaksa penuntut umum belum dapat mengambil sikap karena harus mempelajari putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Hingga Selasa pagi, Riono mengaku belum menerima salinan putusannya.
”Jaksa penuntut umum harus pelajari putusannya terlebih dahulu, khususnya pertimbangannya. Setelah itu, baru bisa bersikap,” kata Riono.
Riono mengatakan, jaksa penuntut umum masih memiliki waktu 14 hari setelah putusan diterima untuk bersikap, yakni antara mengajukan permohonan kasasi atau tidak.
Menurut Hibnu, terkait kemungkinan permohonan upaya hukum kasasi oleh jaksa penuntut umum, hal itu cukup dilematis. Sebab, di pengadilan tingkat pertama, jaksa penuntut umum menuntut Pinangki pidana 4 tahun penjara yang kemudian diputus 10 tahun. Sementara putusan di tingkat banding telah sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum. Jika jaksa penuntut umum mengajukan kasasi, hal itu akan menyulitkan dalam menyusun logika hukumnya.
Berangkat dari kasus Pinangki, Barita berharap agar para jaksa tetap menjaga kehormatan institusi dan dirinya sendiri dengan mempedomani Tri Krama Adhyaksa. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap institusi kejaksaan dapat dipertahankan.
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak berpandangan, pihaknya menghargai putusan di tingkat pengadilan tinggi tersebut. Dalam dinamika lembaga peradilan, penambahan hukuman atau pengurangan hukuman di tingkat selanjutnya merupakan hal yang biasa.
Berangkat dari kasus Pinangki, Barita berharap agar para jaksa tetap menjaga kehormatan institusi dan dirinya sendiri dengan mempedomani Tri Krama Adhyaksa. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap institusi kejaksaan dapat dipertahankan.
”Sekarang ini, kan, di semua kewenangan ada prosedur standar operasi (SOP). Maka itu, dilakukan untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Sebab tantangan ke depan semakin berat dan ekspektasi masyarakat semakin tinggi,” kata Barita.