Pemanfaatan Teknologi bagi Advokat Sebuah Keniscayaan
Kebutuhan akan konsultasi hukum dalam beberapa hal dapat dilakukan dengan kecerdasan buatan (artificial intelegence), kecuali untuk area dimana infrastruktur teknologi belum memadai.
JAKARTA, KOMPAS -- Pemanfaatan teknologi informasi oleh para advokat dan firma hukum merupakan sebuah keniscayaan, menjadi hal yang esensial dalam praktik beracara sehari-hari. Sinergi antara para advokat dengan teknologi akan membuat kerja-kerja pelayanan hukum kian efektif dan efisien.
Meskipun demikian, sejumlah persoalan muncul terkait dengan penggunaan teknologi di bidang hukum tersebut. Selain masalah etika, pertanyaan-pertanyaan seperti apakah nantinya peran advokat tergantikan oleh kecerdasan buatan atau artificial intelegence (AI) yang dapat melakukan pekerjaan advokat seperti mereview dokumen hukum secara lebih cepat dan akurat, serta juga mampu memprediksi putusan hakim.
Hal tersebut dibahas di dalam seminar internasional bertema: New Opportunities and Challenges in International Practice: Globalisation & Professional Ethics” yang diselenggarakan atas kerja sama Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dengan International Bar Associaton(IBA) dan European Lawyers Foundation (ELF), Senin (14/6/2021) di Jakarta. Salah satu sesi dalam seminar ini membahas tentang Advokat dan Teknologi dengan menghadirkan pembicara Steven M Richman, advokat senior dari Amerika Serikat dan Rahmat Soemadipraja, advokat senior di Indonesia.
Baca Juga: Advokat Diharapkan Bersuara Kritis
Selain Steven, advokat internasional yang tampil secara dalam jaringan (daring) dalam seminar itu, adalah Juan Javier Negri dari Argentina, Kimitoshi Yabuki (Jepang), Jonathan Goldsmith (Belgia), dan Alison Hook (Inggris). Dari Indonesia, tampil pula advokat Maria Sagrado, Adardam Achyar, Johanes C Sahetapy-Engel, dan Riza Buditomo. Seminar yang diikuti secara langsung dengan memperhatikan protokol kesehatan dan daring itu diikuti peserta dari seluruh Indonesia, dan sejumlah negara, serta diantarkan oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi Otto Hasibuan.
Rahmat Soemadipradja mengungkapkan, saat ini penggunakan teknologi informasi merupakan aspek yang tak terpisahkan dari praktik hukum termasuk di Indonesia. Apalagi di masa pandemi dimana pembatasan-pembatasan yang diberlakukan untuk mencegah penyebaran Covid-19, banyak orang “dipaksa” bekerja dari rumah atau tempat lain selain kantor. Saat ini, tempat kerja bukan lagi sebuah ruangan fisik tetapi ruang virtual dengan menggunakan perangkat seperti telepon genggam dan laptop. Aplikasi-aplikasi pendukung seperti WhatsApp, Microsoft Team, Webex, dan lainnya menjadi hal biasa yang digunakan bahkan dalam rapat internal kantor advokat atau ketika berhubungan dengan klien.
Para advokat menyadari bahwa mereka tidak perlu berada di ruangan secara bersama-sama untuk menyelesaikan suatu dokumen hukum. Pekerjaan tersebut bisa diselesaikan secara virtual secara bersama-sama, dengan komunikasi yang dilakukan secara real time.
Di kota-kota besar, advokat memiliki akses yang lebih baik dalam memanfaatkan teknologi untuk mendukung kerja mereka karena memiliki infrastruktur dasar yang memadai. Listrik tersedia secara konstan dan stabil, layanan telekomunikasi dan internet pun relatif cepat. Menurut Rahmat, hal tersebut didukung pula dengan para klien, instansi-instansi pemerintah, dan pembuat regulasi yang kini juga sudah bertransisi menuju pelayanan digital. Pengadilan pun telah memiliki layanan digital untuk mendaftarkan perkara seperti layanan e-Court. Selain itu, pengajuan-pengajuan izin ke pemerintah pun saat ini dilayani secara digital melalui Online Single Submission system (OSS).
Di kota-kota besar, advokat memiliki akses yang lebih baik dalam memanfaatkan teknologi untuk mendukung kerja mereka karena memiliki infrastruktur dasar yang memadai.
Yang menjadi persoalan, tambahnya, advokat-advokat senior kesulitan mengikuti perkembangan ini. Untuk itu, mereka perlu mendapatkan bantuan agar segera menjadi digital savvy atau cerdas secara digital. Menurut Rahmat, organisasi advokat dapat berperan dalam hal ini dengan menyelenggarakan kursus-kursus online.
Tak hanya cara kerja, Rahmat pun mengungkapkan, teknologi digital pun berdampak pada manajemen sebuah kantor advokat atau firma hukum. Bagi kantor advokat, mengadaptasi teknologi digital dalam cara kerja mereka tidaklah murah. Perlu perangkat keras, perangkat lunak (software), penyediaan akses internet dan basis data pendukung, serta pelatihan bagi sumber daya manusia di dalam kantor tersebut.
Peran kecerdasan buatan
Saat ini, ada artificial intelegent (AI) yang dapat mereview dokumen dan menemukan titik-titik kelemahan dengan cepat, bahkan jauh lebih cepat dibandingkan mata manusia. AI pun mendukung penyelenggaraan chat bots untuk memberikan layanan publik secara lebih baik dan lebih cepat. AI pada suatu ketika dapat menjadi competitor bagi advokat.
Baca Juga: Layani Pencari Keadilan, Dapat Rekor MURI
Selain itu, dalam paparannya, Steven mengungkapkan bahwa AI juga dapat membantu menganalisa kasus dan memprediksi putusan. Ia mengutip hasil penelitian berjudul “Predicting Judicial Decisions of the European Court of Human Right: A Natural Language Processing Perspective (2016). Penelitian itu dilakukan terhadap 584 kasus yang dihubungan dengan tiga pasal dalam Konvensi HAM secara terpisah yang menghasilkan tingkat akurasi 79 persen.
Selain itu, ada pula hasil penelitian “Predicting the Outcome of Construction Litigation Using an Integrated Artificial Intelegence Model” tahun 2009, dengan menggunakan 132 kasus di pengadilan Illinois antara tahun 1992-2000. Hasilnya, diperoleh tingkat prediksi 91,15 persen.
Pertanyaannya, apakah nanti AI akan menggantikan peran advokat? Baik Rahmat maupun Steven tidak sependapat. Sebab, AI belum dapat melakukan pendekatan yang humanis dan belum memahami perilaku manusia. Namun, Rahman mengakui bahwa kehadiran AI dapat membuat jumlah advokat nantinya menurun. Sebab, kebutuhan akan konsultasi hukum dalam beberapa hal dapat dilakukan dengan AI kecuali untuk area dimana infrastruktur teknologi belum memadai.
Salah satu kelemahan yang perlu dijawab saat ini adalah belum ada pengaturan kode etik yang jelas ketika layanan hukum digital diberikan.
Khusus untuk Indonesia, Rahmat menyoroti belum adanya AI yang dapat mereview dokumen dalam Bahasa Indonesia. AI yang ada saat ini baru menggunakan Bahasa Inggris sebagai Bahasa pengantar. “Apabila nantinya ada AI dengan Bahasa Indonesia, hal itu akan mengurangi biaya secara signifikan di mana nantinya advokat dan notaris akan memiliki peran yang lebih terbatas dalam prosesnya misalnya mereview perjanjian yang sebelumnya sudah didraft dengan menggunakan AI,” katanya.
Salah satu kelemahan yang perlu dijawab saat ini adalah belum ada pengaturan kode etik yang jelas ketika layanan hukum digital diberikan. Selain itu, menurut Rahmat, ada pekerjaan rumah yang tak boleh diabaikan oleh kantor advokat yaitu memperkuat system pengamanan siber-nya. Sebab, bukan tidak mungkin kantor advokat yang memiliki informasi yang sensitif mengenai klien menjadi target para hacker.
Baca juga: Konsultasi Hukum: Perbuatan Melawan Hukum
Steven juga menyoroti tentang masalah kode etik advokat di era digital. Menurut dia, meskipun cara kerja berubah karena dukungan teknologi dan kecerdasan buatan, advokat masih diikat oleh aturan atau prinsip-prinsip kunci yang sama. Misalnya, advokat tetap harus menjaga kerahasiaan kliennya dan yakin akan apa yang sedang dikerjakan.
Ia kemudian mengisahkan salah seorang advokat yang membuat postingan di media sosial tentang suatu kasus tanpa menyebutkan nama pihak-pihak yang terlibat. Namun, klien dari advokat tersebut memahami bahwa konten yang diposting itu adalah mengenai dirinya dan merasa bahwa kerahasiaannya dilanggar. Hal-hal semacam itu perlu dipikirkan lebih jauh.
Advokat tetap harus menjaga kerahasiaan kliennya dan yakin akan apa yang sedang dikerjakan.
Sementara saat mengantarkan seminat internasional itu, Otto Hasibuan menegaskan posisi Peradi sebagai satu-satunya organisasi advokat yang mewakili Indonesia di IBA. Dua pimpinan IBA, Akira Kawamura dan Jack N pun pernah berkunjung ke Peradi. Kawamura juga menjadi ahli untuk membela prinsip wadah tunggal (single bar) yang diperjuangkan Peradi hingga saat ini.
Ketua Umum Peradi juga berharap pandemi Covid-19 segera teratasi, sehingga kegiatan advokat secara internasional bisa diselenggarakan seperti semula kembali. Advokat pun didorong untuk berpartisipasi aktif dalam mengatasi penyebaran virus korona baru.