Pimpinan KPK Diminta Penuhi Panggilan Komnas HAM
Polemik penggunaan tes wawasan kebangsaan untuk alih status pegawai KPK menjadi ASN masih berlanjut. Komnas HAM terus menyelidiki dugaan pelanggaran HAM dalam tes yang menjadi dasar memberhentikan 51 pegawai KPK.
JAKARTA, KOMPAS — Tes wawasan kebangsaan yang dijadikan salah satu syarat alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara dinilai bermasalah secara hukum. Karena itu, sejumlah Guru Besar Antikorupsi meminta pimpinan KPK memenuhi panggilan kedua dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang tengah mengusut dugaan pelanggaran HAM dalam tes wawasan kebangsaan.
”Selaku pejabat publik yang terikat dengan etika bernegara, Guru Besar Antikorupsi mendesak pimpinan KPK memenuhi panggilan kedua Komnas HAM, esok hari,” kata Azyumardi Azra, Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam audiensi virtual dengan Komnas HAM, Senin (14/6/2021).
Seperti diketahui, pada Selasa (8/6/2021), pimpinan KPK tidak memenuhi panggilan Komnas HAM yang tengah menyelidiki dugaan pelanggaran HAM pada tes wawasan kebangsaan. Karena itu, Komnas HAM kembali melayangkan panggilan kedua, meminta pimpinan KPK hadir pada Selasa (15/6/2021).
Baca juga : Tak Penuhi Panggilan, Komnas HAM Beri Kesempatan Kedua kepada KPK
Para guru besar dari berbagai bidang keilmuan itu pun mempertanyakan perbedaan perlakuan unsur pimpinan KPK kepada Komnas HAM dan Ombudsman RI. Pasalnya, pimpinan KPK bersedia memenuhi panggilan Ombudsman RI, sementara panggilan Komnas HAM diabaikan. Padahal, para guru besar itu berpandangan, Komnas HAM memiliki kewenangan secara hukum untuk menelusuri problematika tes wawasan kebangsaan dari sudut pandang pelanggaran HAM. Atas dasar itulah, Komnas HAM juga dinilai berwenang untuk memanggil pimpinan KPK.
”Perlakuan KPK kita lihat juga berbeda ketika dipanggil Komnas HAM dengan berbagai macam alasan. Ketika dipanggil Ombudsman datang, meski komisioner yang datang. Di Komnas HAM enggak datang. Kenapa enggak mau datang ke Komnas HAM, tapi mau Ombudsman?” ujar Azyumardi saat audiensi bertajuk ”Pemberian Pandangan dan Sikap Para Guru Besar Terkait Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK”.
Pemanggilan pimpinan KPK dinilai penting sebagai bagian dari proses penyelesaian polemik penonaktifan 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Selain Azyumardi, ada tujuh guru besar lainnya yang juga hadir secara daring untuk memberikan sumbangsih pemikiran terkait penyelenggaraaan tes wawasan kebangsaan. Perwakilan Guru Besar Antikorupsi tersebut di antaranya Sigit Riyanto, Supriadi Rustad, Susi Dwi Harijanti, Atip Latipulhayat, Sukron Kamil, Ruswiati Suryasaputra, dan Hariadi Kartodihardjo.
Selain peserta yang hadir secara daring, audiensi juga dihadiri secara luring oleh anggota Komnas HAM, M Choirul Anam; dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti; advokat Saor Siagian, dan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana.
”Saya sendiri akan terus bersuara. Kami ikut Komnas HAM, kami tetap menolak TWK (tes wawasan kebangsaan) sebagai syarat, tetapi dalam kenyataannya sebagai aturan meluluskan atau tidak meluluskan dalam peralihan ASN. Banyak ketidakadilan di situ,” kata Azyumardi.
Sikap Presiden disorot
Azyumardi juga menyoroti sikap Presiden Joko Widodo yang dinilai membiarkan hadirnya kekacauan di dalam sistem birokrasi kepegawaian. ”Saya tidak tahu kenapa? Mungkin KPK ini sudah diniatkan oleh berbagai kalangan oligarki eksekutif dan legislatif yang saya sebut oligarki dinasti untuk melumpuhkan KPK. Dibiarkan, tapi lemah, tidak mengganggu kepentingan politik dinasti yang ada. Agak suram, agak sedih,” ucap Azyumardi.
Sikap diam Presiden Jokowi ini lantas dibandingkan dengan kecepatannya bertindak dalam memberantas pungutan liar. Saat mendapat keluhan dari sopir truk, pekan lalu, Presiden langsung menelepon Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo agar memberantas preman yang melakukan pungutan liar di Tanjung Priok, Jakarta.
Baca juga : Presiden: Hasil TWK Tak Boleh Jadi Dasar Pemberhentian Pegawai KPK
Jika terus dilakukan, lanjut Azyumardi, sikap diam akan menjadi satu dari beberapa negative legacy atau warisan negatif dari Presiden Jokowi. Warisan negatif lainnya antara lain adalah kemunduran demokrasi, termasuk kemunduran penanganan kasus HAM.
Keluarkan perppu
Dalam kesempatan itu, Guru Besar Antikorupsi juga kembali menegaskan keinginan mereka agar KPK tetap menjadi lembaga kuat, dan pemberantasan korupsi terus berjalan. Presiden Jokowi diminta untuk memulihkan kembali KPK. ”Cara memulihkannya bagaimana? Keluarkan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) untuk membatalkan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, kalau mau positive legacy yang ditinggalkan dalam waktu 2,5 tahun. Efektifnya setahun karena 2023 sudah gaduh dengan politik. Waktunya sempit sekali,” kata Azyumardi.
Guru Besar Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto juga menyinggung bahwa pemerintah telah melakukan selective justice, tebang pilih dalam penegakan hukum. Ia juga mencontohkan bahwa Presiden Jokowi begitu responsif terkait permasalahan preman pungli, tetapi tidak ada langkah berkelanjutan terkait tes wawasan kebangsaan. Padahal, Presiden Jokowi merupakan pembina tertinggi dari ASN di Indonesia. ”Artinya, Presiden punya otoritas, kesempatan, kepedulian, berani mengambil keputusan sama seperti apa yang dia katakan di dalam pidato itu, ada inkonsistensi dan selective justice,” ujar Sigit.
Penyelenggaraan dan penggunakan tes wawasan kebangsaan dinilai menunjukkan pola pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Tanpa transparansi, tes wawasan kebangsaan bisa digunakan untuk mempersekusi orang yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan tertentu. Sigit menyebut pernyataaan Alexander Marwata yang mengatakan bahwa pegawai KPK tak lolos tes wawasan kebangsaan memiliki catatan merah dan sudah tak bisa dibina merupakan sebuah stigma negatif.
Penyelenggaraan tes wawasan kebangsaan dinilai bermasalah secara hukum karena hanya mendasarkan pada regulasi internal KPK. UU KPK maupun Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN sama sekali tidak menyinggung tes atau asesmen. Selain itu, substansi pertanyaan yang diberikan kepada seluruh pegawai KPK juga dinilai melanggar HAM. Karena itu, Guru Besar Antikorupsi memberikan masukan dan dukungan bagi Komnas HAM yang sedang mengusut perkara ini.
”Model TWK (tes wawasan kebangsaan) ini sangat berbahaya kalau dilestarikan, keputusan tergantung selera yang mengetes. Saya pun kalau ikut tes TWK ini mungkin enggak lulus. Tidak obyektif, norma tidak jelas. Model TWK sangat berbahaya. Apalagi 75 orang ini tidak melakukan pelanggaran norma dan hukum. Tiba-tiba ada tes hafalan yang dikenakan. Ini menurut saya: pelanggaran HAM,” ucap Guru Besar Universitas Dian Nuswantoro, Supriadi Rustad.
Kepastian hukum
Menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti, tes wawasan kebangsaan seharusnya tidak boleh digunakan untuk memberhentikan pegawai yang sudah bertahun-tahun bekerja di KPK. ”Tidak masuk dalam logika hukum bahwa satu lembaga yang tidak mengalami perubahan fungsi tapi terhadap pegawai yang sudah bertahun tahun bekerja kemudian dilakukan tes,” katanya.
Susi juga meminta Komnas HAM tidak hanya memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak yang bersifat substantif, tetapi juga hak-hak prosedural. ”Procedural right bisa dikatakan sebagai gate away. Ada teori pintu gerbang. Kalau secara prosedur tidak diatur dengan baik, maka hak substansif seperti hak mendapat pekerjaan, hak mendapat kepastian hukum, tidak dapat dipenuhi oleh negara,” kata Susi.
Komnas HAM, menurut Anam, sudah dan akan terus melakukan pendalaman pemeriksaan kepada berbagai pihak seperti pegawai KPK yang lolos dan tak lolos tes wawasan kebangsaan, dan Badan Kepegawaian Negara. ”Dukungan dari para guru besar, akademisi, wujud dukungan dari orang-orang yang mengerti betul bagaimana proses dan perjalanan bangsa kita dalam konteks ruang demokrasi, negara hukum, dan ruang HAM. Jadi itu adalah dukungan yang sangat-sangat bermakna bagi Komnas HAM,” kata Anam dalam jumpa pers seusai audiensi.
Dalam jumpa pers tersebut, Bivitri menambahkan tentang pentingnya penelusuran terhadap apa yang sesungguhnya terjadi dengan tes wawasan kebangsaan ini. ”Beyond soal 75 orang, tapi soal hak-hak asasi manusia setiap orang yang seharusnya tidak boleh dilanggar oleh negara, itu ditelusuri oleh Komnas HAM sehingga ke depannya tidak akan terjadi lagi,” ujarnya.
Belum ambil sikap
Sementara hingga Senin (14/6/2021) petang, KPK belum juga mengambil sikap terkait pemanggilan kedua yang dilakukan oleh Komnas HAM. Keputusan untuk memenuhi panggilan atau kembali tidak datang akan diputuskan pada Selasa (15/6/2021).
”Kita telah menerima surat itu (pemanggilan) dan kita sedang mempelajari (surat penjelasan) untuk memastikan bahwa apakah KPK juga menyampaikan untuk mendapat informasi apa yang diduga dilanggar oleh KPK berdasarkan laporan ke Komnas HAM,” kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat konferensi pers di Jakarta.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menambahkan, KPK masih melakukan telaah lebih lanjut terkait jawaban dari Komnas HAM. Sebelum mengambil sikap untuk hadir atau tidak hadir, KPK ingin memastikan penjelasan seperti apa yang dibutuhkan Komnas HAM dalam dugaan pelanggaran HAM dalam proses tes wawasan kebangsaan sehingga informasinya jelas.
”Prinsipnya kami menghargai tugas Komnas HAM, tetapi penjelasan Komnas HAM penting agar sesuai dengan kebutuhan yang diminta mengenai pelaksanaan TWK yg dilakukan Badan Kepegawaian Negara,” kata Ali.