Mengurai Kegaduhan Pengadaan Alutsista Rp 1.750 Triliun
Selaras dengan keinginan mayoritas publik, pemerintah berupaya memperkuat alat utama sistem persenjataan. Namun, upaya itu harus tetap mengedepankan efisiensi, efektivitas, trasparansi, serta akuntabilitas.
Oleh
Edna C Pattisina
·5 menit baca
Modernisasi alat utama sistem pertahanan atau alutsista merupakan sebuah keniscayaan. Tak hanya pemerintah, publik pun menginginkan adanya penguatan alutsista. Namun, tetap saja dibutuhkan prosedur yang benar agar prosesnya bisa efektif dan efisien serta menguntungkan dalam jangka panjang.
Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan, 98 persen responden menyatakan, untuk menjaga pertahanan dan kedaulatan wilayah Indonesia, pemerintah perlu secara berkala menambah alutsista dengan kualitas mutakhir atau lebih modern (Kompas, 27 Mei 2021). Publik juga mengharapkan melalui kerja sama dengan negara maju, bangsa Indonesia bisa mandiri dalam memproduksi alat pendukung pertahanan.
Pemerintah memang tengah mengupayakan penguatan alutsista. Melalui Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia 2020-2024 yang masih dalam proses pembahasan, pemerintah menyusun daftar belanja alutsista selama 25 tahun. Disebut pula, kebutuhan anggaran untuk pengadaan alat pertahanan dan keamanan hingga 2044 mencapai 124,995 miliar dollar AS, setara Rp 1.750 triliun jika dihitung dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS. Menurut rencana, kebutuhan anggaran akan dipenuhi dari pinjaman luar negeri.
Rencana pengadaan alutsista dengan anggaran Rp 1.750 triliun untuk 25 tahun itu perlu dilihat dari berbagai sisi. Dalam wawancara dengan mentalis yang juga Youtuber, Deddy Corbuzier, yang diunggah, Minggu (13/6/2021), Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menjelaskan, Presiden Joko Widodo masih meminta masukan dari sejumlah menteri, seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa.
Dari sisi pertahanan, argumennya, sudah 23 tahun anggaran pertahanan tidak pernah melewati 1 persen produk domestik bruto (PDB). Merujuk lembaga riset pertahanan Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) 2021, Indonesia masuk ke dalam 20 persen dari 192 negara yang anggaran pertahanannya rendah. Dengan PDB tahun 2020 sebesar Rp 15.454 triliun dan asumsi angka pertumbuhan ekonomi stabil 5 persen per tahun, total PDB hingga tahun 2044 adalah Rp 738.618 triliun. Utang Rp 1.750 triliun untuk pengadaan alutsista berarti hanya 0,24 persen dari PDB.
Akan tetapi, ekonomi punya sudut pandang berbeda. Ekonom The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rahcbini menggarisbawahi, momentum untuk menambah anggaran pertahanan tidak tepat saat ini karena kondisi APBN sedang tidak stabil. Total utang publik telah mencapai Rp 8. 504 triliun.
Tak hanya itu, pandemi Covid 19 telah berdampak sistemik hingga membuat tingkat kemiskinan naik tinggi. Peningkatan utang akan membawa masalah sistemik yang lebih besar. ”Jika pemerintah dan DPR menyetujui anggaran ini, mereka tidak tahu diri dan kurang mengukur kepentasan dan kondisi prihatin ini,” kata Didik.
Rumitnya pengadaan
Salah satu poin penting yang disampaikan Prabowo adalah jangan mudah percaya pada analisis yang menyatakan tidak akan ada perang 40 tahun lagi. Ia mengaku hendak membangun sistem yang meminimalkan korupsi dengan cara berhubungan langsung dengan produsen alutsista. ”Mark-up bisa sampai 600 persen,” katanya.
Selain mengikis korupsi, pengadaan alutsista sangat rumit. Pertama, politik Indonesia yang bebas aktif membuat Indonesia sulit mendapatkan senjata tercanggih. Padahal, satu senjata strategis tidak dibuat satu negara saja. Belum lagi masalah geopolitik, di mana negara yang kuat bisa memaksakan agendanya dengan berbagai cara.
Kedua, kemampuan ekonomi Indonesia yang relatif rendah membuat sulit mencari utang. Sementara, ada syarat transfer teknologi, imbal dagang, dan dipakainya komponen dalam negeri. Ibaratnya, beli sedikit tapi minta bonus pabrik. Alman Helvas Ali, konsultan PT Semar Sentinel, memperkirakan, walaupun mengajukan 124,995 miliar dollar AS pinjaman luar negeri yang bisa diakses Kementerian Pertahanan saat ini adalah maksimal 35 miliar dollar AS.
Dalam pengadaan persenjataan, dikenal hukum segitiga besi yang terdiri dari biaya, waktu, dan kinerja alat. Perubahan dramatis tidak bisa dilakukan serentak di ketiganya karena bisa meningkatkan risiko. Intinya adalah skala prioritas.
Hal yang pertama menjadi pertimbangan pembelian alutsista adalah hakikat ancaman. Definisi ancaman ditentukan oleh orkestrasi berbagai kementerian. Kementerian Pertahanan lalu mengeluarkan publikasi strategis, seperti Buku Putih Pertahanan yang bersifat terbuka dan dokumen lain yang rahasia.
Sangat disayangkan, Buku Putih Pertahanan yang terakhir dikeluarkan tahun 2015, menimbulkan berbagai pertanyaan, terutama tentang kelanjutan program kekuatan pokok minimal atau Minimum Essential Force (MEF). Diandra Mengko, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan, Kementerian Pertahanan perlu menjelaskan, mengapa harus ada program baru dalam modernisasi alutsista mengingat saat ini Indonesia tengah menjalankan program MEF tahap ketiga. ”Kalau memang ada perubahan, perlu ada penjelasan berupa hasil evaluasi MEF, apakah memang tidak berjalan efektif,” kata Diandra.
Tidak saja masyarakat, tetapi juga TNI terlihat tidak sinkron dengan rencana kebutuhan yang disampaikan Prabowo. Tidak heran, dalam rapat antara Wakil Menteri Pertahanan Herindra dan DPR pada 1 Juni lalu dipertanyakan, kenapa proses perencanaan tidak banyak melibatkan mabes angkatan. Padahal, dalam berbagai negara, komunikasi antara Kementerian Pertahanan dan angkatan perangnya sangat penting karena keterbatasan anggaran dan kebutuhan operasi dan spesifikasi teknis harus menemukan titik sepakat.
Masalah lain, Rancangan Perpres tersebut mengisyaratkan kontrak untuk anggaran 25 tahun akan dilaksanakan hingga 2024, alias hanya dalam 2,5 tahun. Hal ini diperumit dengan masalah kehadiran PT Teknologi Militer Indonesia (PT TMI) di mana para pejabatnya berasal dari Partai Gerindra, tempat Prabowo menjadi ketua umum sekaligus dewan pembina.
Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, 2 Juni lalu, Prabowo menyebut hal ini sebagai kebetulan. Selain itu, posisi PT TMI adalah konsultan. Namun, kehadiran PT TMI itu tetap saja menimbulkan banyak kecurigaan akan adanya keterkaitan dengan persiapan kontestasi politik tahun 2024.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menjelaskan, merujuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari KKN serta UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tidak boleh ada konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. ”Di sini ada indikasi konflik kepentingan,” kata Adnan.
Sehingga seyogianya kehebohan masyarakat membahas anggaran Rp 1.750 untuk alutsista dilihat sebagai bentuk bela negara. Tak hanya Menhan Prabowo, Presiden Jokowi juga tentu menjadi sorotan dalam pengambilan kebijakan pengadaan alutsista. Kini, keputusan berada di tangan keduanya, apakah Jokowi dan Prabowo akan menorehkan tinta emas atau malah noktah hitam yang akan diingat seluruh generasi penerus bangsa.