Kontroversi soal besaran anggaran pengadaan alutsista di Kementerian Pertahanan melupakan pembahasan isu strategis tentang perbandingan alokasi anggaran dan strategi pertahanan di kawasan Asia–Australia.
Oleh
Iwan Santosa
·6 menit baca
Kontroversi soal besaran anggaran pengadaan alat utama sistem persenjataan atau ”jumbo” sekitar 125 miliar dollar AS di Kementerian Pertahanan melupakan pembahasan isu strategis tentang perbandingan alokasi anggaran dan strategi pertahanan di kawasan Asia–Australia dalam 20 hingga 30 tahun ke depan.
Mantan Wakil Kepala Staf TNI AL (Wakasal) Laksamana Madya (Purn) Fred Lonan menjelaskan, Indonesia dengan wilayah membentang dari Sabang- Merauke dan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 200 mil dari kawasan Laut Natuna Utara-Laut Arafura dengan wilayah setara jarak London-Kuwait, memiliki kompleksitas tinggi, dengan puluhan ribu kapal-kapal berbendera asing berlayar melintasi wilayah Indonesia.
Menurut Lonan yang semasa berpangkat kolonel pernah memimpin Satuan Eskorta sebanyak 29 kapal perang dari korvet hingga frigat, besaran anggaran pertahanan Republik Indonesia adalah sekitar 0,8 persen dari GDP setara 9.396 juta dollar AS per tahun.
Sebagai pembanding, Fred Lonan menerangkan, Singapura mematok anggaran pertahanan 3,2 persen dari GDP dengan nilai 10.856 juta dollar AS. Sementara untuk negara adidaya Amerika Serikat tidak terbayangkan, yakni 3,7 persen dari GDP yang senilai 778 miliar dollar AS. Adapun negara tetangga di selatan Indonesia, yakni Australia anggarannya sebesar 2,1 persen GDP senilai 27.336 juta dollar AS. Australia sebagai sekutu Amerika Serikat membangun kekuatan menghadapi potensi ancaman dari ”utara”.
Pada saat sama, Indonesia yang memegang teguh politik bebas dan aktif serta menjaga blok ASEAN agar tetap stabil dan memiliki pertumbuhan ekonomi. Keberadaan mekanisme kerja sama RCEP antara ASEAN, Asia Timur, dan Australia setara dengan 30 persen GDP dunia.
Lonan menjelaskan, Australia dalam perencanaan pertahanan sampai tahun 2045 sangat memperhatikan keamanan dan jalur laut di Selat Sunda, Selat Lombok, Selat Ombai, dan Christmas Island.
Demi menjaga pertahanan lautan di kawasan Asia-Oseania, disebutkan Fred Lonan, Australia menganggarkan 89,7 miliar dollar Australia atau setara 59,5 miliar dollar AS untuk pengadaan 12 kapal selam Scorpene AIP nonnuklir. Armada kapal selam tersebut akan operasional sepenuhnya pada tahun 2045.
Sementara negara kecil di kawasan, tetapi power house ekonomi, yaitu Singapura telah memesan dan sedang dalam proses produksi empat unit kapal selam U-218 ST dari Jerman senilai 3,6 miliar dollar AS. Singapura juga sudah memasang sistem pertahanan udara Iron Dome dari Israel sehingga dapat menghadang serangan udara dari wilayah sekitar senilai 700 juta dollar AS. Dari dua jenis alutsista tersebut sudah senilai 4,3 miliar dollar AS.
Contoh lain adalah biaya operasional frigat-Offshore Patrol Vessel Singapura sangat besar. Singapura juga memesan ke Lockheed Martin, sejumlah pesawat tempur siluman F-35 buatan Amerika Serikat yang sangat canggih dan mahal. Hanya negara tertentu saja yang dipilih Amerika Serikat bisa membeli F-35, salah satunya adalah Singapura.
Dari perbandingan tersebut, menurut Fred Lonan, Republik Indonesia, dengan 0,8 persen GDP untuk 25 tahun ke depan atau 125 miliar dollar AS menjadi angka yang kecil jika dibagi dalam 25 tahun. Sebagai mantan pengguna alutsista di laut, ujar Fred Lonan, anggaran pertahanan Indonesia yang hanya 0,8 persen dari GDP tidak bernilai besar kecuali jika penggunaannya dipadatkan dalam pengadaan saat ini.
Dia mengingatkan, anggaran yang dibelanjakan sebagian-sebagian dalam jumlah kecil bisa mengakibatkan, sebagai contoh, pembelian kapal perang tanpa dipersenjatai atau senjatanya menyusul. ”Semisal Sensor Weapon and Command (Sewaco). Fitted for but not with (FFBNW). Platform senjata tetapi tanpa senjata. Jadi, beli kapal hanya kapal tanpa senjata. Beli sebagian-sebagian,” kata Fred Lonan.
Indonesia pada satu masa pernah memiliki pengalaman membeli senjata yang dicicil kelengkapannya, seperti bom dan peluru kendali, dibeli menyusul setelah alutsista datang pada tahun anggaran berikut. Itu menjadi pelajaran berharga dalam pengadaan alutsista.
Menurut dia, alokasi anggaran pertahanan Indonesia sebesar 125 miliar dollar AS untuk 25 tahun masih dibagi untuk Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Menurut dia, itu jumlah kecil untuk menjaga wilayah seluas jarak Inggris ke Kuwait.
Terkait aneka persenjataan yang dimiliki TNI di tiap matra, mantan Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim mengingatkan, hendaknya sistem persenjataan yang dibangun adalah sistem persenjataan angkatan perang yang memadukan kekuatan matra darat, matra laut, dan matra udara yang saling melengkapi. ”Jangan sampai alutsista yang dibeli hanya membangun sistem senjata masing-masing matra saja,” kata Chappy Hakim berpesan.
Modernisasi alutsista menurut Fred Lonan terkait dengan adanya penggantian teknologi semisal teknologi baru di bidang sensor udara, sensor permukaan, sensor bawah air untuk kapal perang permukaan dan kapal selam.
Demikian pula radar-radar yang dipakai kapal perang Jerman dan Belanda tahun 1990-an sampai sekarang. Menurut dia, ada masa pakai hingga dua puluh tahunan yang sekarang sedang diperbarui. Sekaranglah saatnya menggunakan persenjataan teknologi baru. Seiring modernisasi angkatan perang di negara tetangga dan kawasan Asia Tenggara dan Pasifik.
Yang terpenting dalam modernisasi dan pembelian alutsista adalah pengawasan dan transparansi dalam penggunaan anggaran pertahanan tersebut. Itu harus diawasi dan dikontrol ketat.
Harga jual dan spesifikasi teknis dari sebuah alutsista dari negara produsen ke Indonesia dan negara mana pun bisa diakes oleh publik karena tersedia dalam berbagai publikasi ilmiah dan media khusus militer. Semisal majalah dan jurnal militer Jane’s dan beragam media sejenis di mancanegara.
Saat ini, sejumlah media massa di Eropa telah memunculkan berita soal rencana pengadaan kapal perang jenis frigat dari Italia dan jet tempur Rafale dari Perancis untuk memperkuat TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara.
Fred Lonan berharap, kekuatan militer Indonesia akan menjadi Responsive Essential Forces sehingga bisa beraksi dan tidak bersikap pasif karena hanya memiliki kemampuan minimum. Sebagai negeri maritim tentu keberadaan Blue Water Navy atau angkalan laut penjelajah samudra akan menjadi kebanggaan Indonesia. Melampaui keberadaan Brown Water Navy atau angkatan laut yang terbatas operasionalnya dengan kekuatan minimal.
Sebelumnya, diskursus soal anggaran pertahanan Indonesia, muncul diawali kritik yang disampaikan oleh pengamat Connie Rahakundini Bakrie terhadap keberadaan perusahaan swasta di dalam Kementerian Pertahanan yang terlibat dalam rencana pengadaan alutsista dan besaran anggaran pertahanan menarik perhatian publik dalam beberapa pekan terakhir. Hal itu menjadi sorotan berbagai media massa di Indonesia.
Connie Rahakundini Bakrie, yang dihubungi, Minggu (13/6/2021), seusai bertemu Menhan Prabowo Subianto pada Jumat (11/6), mengatakan, dirinya diterima dengan baik oleh Menhan dan mereka bertemu selama dua setengah jam.
Kepada media, Menhan Prabowo Subianto mengatakan, anggaran tersebut masih sedang dalam pembahasan dengan instansi terkait sehingga belum ada keputusan akhir.
Adapun Connie Bakrie tidak memberi tahu isi pembicaraan, tetapi keterbukaan Menhan dalam berdiskusi dan menerima Connie Bakrie sebagai akademisi bidang pertahanan merupakan sinyal positif bagi upaya membangun kekuatan pertahanan Republik Indonesia secara transparan.