Gaya Akronim dalam Penyampaian Pesan
Akronim kerap digunakan pemerintah untuk menyampaikan pesan atau kebijakan tertentu kepada publik. Namun, penggunaan akronim belum tentu bisa efektif. Harus ada sejumlah syarat terpenuhi. Apa saja itu?
Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam beberapa kesempatan mengenalkan istilah santri ”Gus Iwan”, yakni santri yang bagus, pintar mengaji, dan usahawan. Akronim ini pun disampaikannya saat memberikan sambutan pada acara Rembuk Nasional Vokasi dan Kewirausahaan serta Peresmian Balai Latihan Kerja Komunitas Tahun 2020 dan Bank Wakaf Mikro, di Pondok Pesantren Cipasung, Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (8/6/2021).
Melalui penyebutan ”Gus Iwan”, Wapres Amin menitipkan harapan agar pesantren jangan hanya menjadi pusat pendidikan dan pusat dakwah. Pesantren juga mesti menjadi pusat pemberdayaan masyarakat dengan melahirkan santri-santri yang bagus, pintar mengaji, dan usahawan.
Selain gampang diingat, akronim ”Gus Iwan” juga memiliki tingkat kedekatan tinggi ketika disampaikan di komunitas pesantren yang akrab mengenal sebutan ”gus” tersebut. Bahkan, kata gus telah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai kata benda yang mengandung arti nama julukan atau nama panggilan kepada laki-laki.
Arahan Wapres Amin agar pesantren melahirkan ”Gus Iwan” tersebut tidak lepas dari upaya besar mengatasi permasalahan ketenagakerjaan yang kompleks. Angka pengangguran di Indonesia masih relatif tinggi, sementara daya saing atau produktivitas tenaga kerja masih rendah.
Baca juga : Jawab Problem Ketenagakerjaan, Wapres Dorong Pesantren Lahirkan "Gus Iwan"
Kondisi ini disebabkan, antara lain, ketidaksiapan untuk beradaptasi terhadap perubahan dan disrupsi yang mengikutinya. ”Untuk itu diperlukan konsep dan langkah-langkah perbaikan yang cepat, tepat, dan efisien sebagai fondasi yang penting untuk bisa bersaing dengan negara lain di era teknologi digital saat ini,” ujar Wapres Amin.
Guna mewujudkan tenaga kerja yang andal, pemerintah tidak bisa bekerja sendirian. Diperlukan keterlibatan segenap elemen, termasuk pondok pesantren yang tersebar di banyak daerah.
Merunut ke belakang, penggunaan akronim kerap digunakan dalam penyampaian pesan. Pada debat sesi keempat calon presiden (capres) pada 30 Maret 2019, misalnya, capres nomor urut 01, Joko Widodo, menyebutkan istilah ”Dilan” yang merupakan akronim dari Digital Melayani.
Bagi jutaan orang di negeri ini, terutama penggemar novel karya Pidi Baiq, akronim ”Dilan” ini berpotensi menarik perhatian karena mengingatkan pada sosok anak muda, pacarnya Milea. Popularitas nama Dilan di novel yang kemudian juga difilmkan itu menjadikan akronim “Dilan” terasa akrab, sering didengar, dan terasa tak muncul tiba-tiba.
Bung Karno, sang proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia, pernah berpidato dengan substansi jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Pidato yang kemudian dikenal dengan Jas Merah. Melalui akronim Jas Merah itu, frasa jangan sekali-kali meninggalkan sejarah terawetkan, lestari, dan lekat di ingatan publik sampai sekarang.
Tak pelak, menanamkan pesan agar selalu teringat membutuhkan kiat tersendiri. Apalagi setiap orang memiliki keragaman. Ada yang mudah mengingat dan ada pula yang gampang melupakan.
Demikian pula ada yang sulit mengingat dan sukar pula melupakan hal yang telanjur tersimpan di ingatan. Hal ini seperti dituturkan Presiden ke-16 Amerika Serikat Abraham Lincoln yang pernah menyampaikan, ingatannya ibarat sepotong baja; sangat sulit menggoreskan sesuatu di atasnya dan nyaris mustahil menghapusnya jika sesuatu tersebut telah tergores di atasnya.
Di titik ini, penggunaan akronim kiranya menjadi salah satu cara menanamkan suatu ide atau gagasan agar tersimpan dalam memori publik. Sebuah upaya yang terlihat pula dalam penggunaan singkatan 3M dan 5M yang digencarkan pemerintah untuk mengajak masyarakat menerapkan protokol kesehatan demi mengatasi pandemi Covid-19.
Baca juga : Jokowi Janji Mewujudkan "Dilan"
Melalui gerakan 3M, masyarakat diminta selalu memakai masker, rajin mencuci tangan dengan sabun di air mengalir, dan menjaga jarak. Ditambah dengan pesan untuk menghindari kerumunan dan mengurangi mobilitas, maka jadilah gerakan yang disingkat 5M.
Pesan ringkas
Pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, ketika dimintai pandangan, Sabtu (12/6/2021), menuturkan, tujuan penggunaan akronim dalam komunikasi politik adalah agar pesan yang disampaikan lebih catchy; lebih menarik untuk didengar dan lebih mudah diingat. ”Syarat-syaratnya, yang pertama, akronim enggak boleh panjang-panjang. Pendek saja. Singkat,” katanya.
Menurut Hendri, syarat kedua akronim adalah memiliki arti yang universal. Artinya, pemahaman masyarakat terhadap akronim tersebut sudah cukup. ”Syarat ketiga adalah mengikuti tren yang ada saat itu sehingga bisa cepat viral,” ujarnya.
Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Ibnu Wahyudi, saat dihubungi, menuturkan, terlepas dari sejumlah pihak yang alergi terhadap maraknya penggunaan akronim di masyarakat, pemakaian akronim tidak mungkin dilawan. Hal ini karena di dalam komunikasi terkadang orang memerlukan suatu bentuk ringkas untuk sebuah makna yang panjang.
Akan tetapi, persoalannya, lanjut Ibnu, akronim sebagai bentuk ringkas tersebut belum tentu lebih efektif atau lebih diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan penjelasan langsung begitu sebuah akronim diucapkan agar publik lekas memahaminya. ”Akronim ’Gus Iwan’, misalnya, memang begitu diucapkan harus segera dijelaskan keterangannya (sebagai bagus, rajin mengaji, dan usahawan) agar orang tidak mengiranya sebagai nama orang,” katanya.
Hal ini beda dengan keratabasa, di mana sudah lebih dulu ada kata dan baru kemudian kata tersebut diberi kepanjangan dengan nuansa yang biasanya agak humor atau sinis. Keratabasa ini banyak dijumpai di Jawa. Misalnya, kathok (celana) itu dipanjangkan oleh orang Jawa sebagai diangkat mbaka sithok (diangkat satu per satu). ”Karena kalau kita pakai celana itu sekaligus, dua kaki langsung masuk, pasti jatuh. Ini ada logikanya,” kata Ibnu.
Di dalam KBBI, keratabasa dijelaskan sebagai perihal menerangkan arti kata dengan memperlakukannya sebagai singkatan, biasanya untuk lelucon. Misalnya, kata benci ditafsirkan sebagai ”benar-benar cinta”. Aihhhhh....
Terkait pemakaian akronim, menurut Ibnu, hal itu merupakan suatu cara menciptakan istilah dengan gabungan potongan huruf, mungkin huruf pertama, suku kata, dan sebagainya. ”(Akronim) Ini syaratnya harus mampu langsung memberikan pemahaman kepada yang membaca atau yang mendengar. Ini enggak gampang,” katanya.
Penciptaan akronim yang tepat atau efisien dalam menyampaikan pesan tidaklah mudah. ”Ketika berbicara di lingkungan pesantren, penggunaan ’gus’ itu masih nyambung, ’gus’-nya itu dapet, karena istilah ’gus’ memang dikenal. Cuma Iwan-nya itu yang tidak memberikan makna apa-apa jika tidak dijelaskan kepanjangannya. Jadi, penjelasan dan sosialisasi perlu terus dilakukan,” ujar Ibnu.
Sebagai contoh, banyak warga saat ini mengenal bahwa Benhil di Jakarta adalah akronim dari kawasan Bendungan Hilir di Jakarta Pusat. Begitu pula Otista sebagai akronim dari Otto Iskandardinata. Namun, diperlukan waktu bertahun-tahun menyosialisasikan istilah-istilah itu. ”Jadi, kalau mau mengenalkan akronim, seperti ’Gus Iwan’, harus ada sosialisasi terus-menerus,” katanya.
Eksotis
Ibnu menuturkan, zaman dulu yang jago membikin akronim adalah Bung Karno. Berdikari, misalnya, akronim ciptaan dari proklamator kemerdekaan Indonesia tersebut, yang bermakna berdiri di atas kaki sendiri. Di dalam perkembangan bahasa, lama-lama orang terlupa bahwa berdikari itu adalah sebuah akronim.
Terkait Jas Merah yang diciptakan Bung Karno sebagai akronim dari jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, Ibnu menuturkan memang tidak ada hubungan antara jas dan sejarah. ”Tetapi, istilah (Jas Merah) itu eksotis. Bung Karno itu pandai merangkai dan pandai menciptakan kata. Demikian pula Dwikora, Trikora, dan lainnya,” kata Ibnu.
Baca juga : Pandemi Mengubah Komunikasi Politik
Akronim bukan benda baru. Akronim itu sesuatu yang sudah lama ada dalam konteks bahasa Indonesia. Namun, tak semua akronim laku, bertahan, atau dipakai. ”Ini tergantung, pertama, ketepatannya. Kedua, sosialisasinya. Nah, terkait sosialisasi ini, ketika Bung Karno ngomong, kan, semua orang dengar,” tuturnya.
Dalam dunia jurnalistik, lanjut Ibnu, ada faktor prominent, faktor siapa yang ngomong itu penting. Di sini, peran figur berguna untuk memperkenalkan akronim. ”Tetapi, ada beberapa wartawan yang tidak suka dengan akronim karena orang enggak paham-paham. Tapi (bagaimana) kalau itu suatu kebutuhan? Covid, misalnya, itu, kan, sebenarnya akronim dari Coronavirus disease,” katanya.
Ibnu menuturkan, dirinya pun menciptakan akronim kuncitara sebagai pengindonesiaan istilah lockdown. Dia berpikir bahwa tidak gampang bagi orang Indonesia mengucapkan kata asing seperti lockdown sehingga yang keluar adalah kata lokdon, laukdaun, dan sebagainya.
”Kuncitara itu saya ciptakan Maret 2020, setahun lalu, waktu pandemi muncul. Kita harus terkunci atau locked, tetapi sementara. ’Sementara’-nya saya potong menjadi tara. (Kuncitara) Itu, kan, akronim. Kuncitara itu dari kunci sementara,” kata Ibnu.
Di masa pandemi pun, lanjut Ibnu, dirinya mengenalkan istilah teleturahmi. Hal ini tidak lepas dari kondisi saat Lebaran di masa pandemi Covid-19 yang memaksa orang bersilaturahmi secara jarak jauh menggunakan aplikasi, misalnya lewat Zoom.
”Akronim sulit dibendung karena orang memerlukan komunikasi yang ringkas. Bahkan, dalam dunia bahasa populer, otw (on the way), btw (by the way) itu, kan, sebenarnya singkatan atau akronim. Demikian pula mager atau malas gerak. Gabut atau gaji buta. Orang tidak peduli kepanjangannya apa karena sudah menjadi entitas baru,” ujar Ibnu.
Akronim atau singkatan bisa menjadi kata baru, bahkan makna baru. Anak-anak muda, misalnya, biasa menggunakan istilah bokin yang diartikan sebagai pacar. ”Padahal, bokin, dalam konteks tahun 70-an, dalam konteks bahasa prokem Ali Topan, itu kan (artinya) bini atau istri. Bokin adalah sebuah bahasa prokem, bini disisipkan ok jadi bokin. Seperti sepatu (menjadi) sepokat, rumah (menjadi) rokum. Itu bahasa prokem yang ada unsur ok-nya,” kata Ibnu.
Seiring perjalanan sejarah bangsa, bahasa pun berkembang. Tugas kita semua untuk menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia sebagai penyampai pesan di berbagai bidang, untuk masa sekarang dan mendatang.