Ketika Koruptor Ramai-ramai Ajukan Peninjauan Kembali
Upaya peninjauan kembali ke Mahkamah Agung seolah bukan lagi upaya hukum luar biasa. Efek jera pun tak lagi terasa menyusul banyaknya putusan yang meringankan hukuman koruptor.
Keringanan hukuman bagi koruptor yang kerap diberikan dalam putusan peninjauan kembali oleh majelis hakim di Mahkamah Agung, memancing narapidana kasus korupsi lain mengajukan peninjauan kembali kasusnya. Efek jera dalam hukuman kemudian terasa seperti hilang dalam upaya pemberantasan korupsi.
Bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq termasuk di antara napi korupsi yang mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK). Pertengahan Desember 2020, Luthfi, yang sedang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, hadir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk mengikuti sidang perdana PK tersebut. Hingga kini, pengajuan PK-nya masih berproses di MA.
Adapun Luthfi divonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan dalam kasus korupsi impor daging sapi pada 2013. Putusan banding majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, pertengahan April 2014, lantas menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama tersebut.
Lima bulan kemudian, persisnya pertengahan September 2014, majelis kasasi MA memperberat hukumannya menjadi 18 tahun penjara. Tak hanya itu, MA mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik.
Sekalipun putusan kasasi terpidana Luthfi telah dijatuhkan tahun 2014, ia baru memutuskan untuk mengajukan PK pada 2020. Dalam persidangan, kuasa hukum Luthfi menyebut ada kekeliruan hakim dalam putusan kliennya. Dia juga membandingkan hal itu dengan putusan hakim dalam perkara lain yang dianggap serupa. Mereka yang mendapat keringanan tersebut, kasusnya dinilai mirip dengan yang menjerat Luthfi.
Baca juga: Hakim Dinilai Keliru, Mantan Presiden PKS Ajukan PK
Salah satunya, kasus suap impor gula dengan terpidana bekas Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman. Melalui putusan PK, hukuman Irman Gusman diringankan dari semula 4,5 tahun penjara menjadi 3 tahun penjara. Setelah putusan itu, Irman bebas dari Lapas Sukamiskin, pada September 2019.
Kemudian kasus korupsi fee proyek pembangunan PLTU MT-1 Riau dengan terpidana bekas elite Partai Golkar, Idrus Marham. Melalui putusan kasasi pada Februari 2019, hukuman Idrus dikurangi dari 3 tahun penjara menjadi 2 tahun penjara. Setelah putusan itu, Idrus bebas lepas pada September 2020 karena telah menjalani masa tahanan sesuai vonis pengadilan.
”Ketiga terpidana sama-sama didakwa menerima uang dari pihak swasta, tetapi subyek hukum tak memiliki kewenangan yang berhubungan langsung dengan kasus korupsinya. Sehingga pemohon merasa diperlakukan tidak adil,” kata Sugiono, kuasa hukum Luthfi, Desember 2020.
Luthfi hanya satu dari sekian banyak koruptor yang mengajukan PK ke MA, terutama setelah cukup banyak PK koruptor yang dikabulkan MA. Dalam Laporan Akhir Tahun MA 2020 disebutkan, MA menangani 232 perkara PK kasus korupsi sepanjang tahun itu.
Jumlah itu disebut turun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sementara itu, menurut data Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) yang diolah dari Laporan Tahunan MA, jumlah perkara PK selama kurun waktu 2017-2019 relatif terus meningkat. Pada 2017, ada 188 perkara, 2018 total ada 208 perkara, dan pada 2019 sebanyak 235 perkara.
Faktor pendorong
Menurut peneliti LeIP Arsil, PK merupakan upaya hukum luar biasa dan menjadi hak dari terpidana untuk memperjuangkan keadilan, terutama jika mengalami praktik peradilan sesat di pengadilan sebelumnya. Dalam perkara tindak pidana khusus, yaitu korupsi, terpidana juga memiliki hak mencari keadilan apabila mereka memiliki bukti bahwa putusan sebelumnya dianggap salah.
Namun, jika melihat tren dari upaya hukum luar biasa yang terus meningkat setiap tahun, Arsil berpandangan ada berbagai faktor yang memengaruhi. Pertama, persyaratan PK dinilai terlalu mudah sehingga PK kehilangan sifatnya sebagai upaya hukum yang luar biasa.
Untuk dapat mengajukan PK, terpidana perlu memenuhi syarat bukti baru (novum). Selain itu, memenuhi syarat adanya putusan yang saling bertentangan dalam perkara yang hampir sama, dan kekhilafan yang nyata dalam putusan majelis hakim.
”Ini yang pada akhirnya membuat PK menjadi seolah tong sampah terakhir dalam upaya hukum terpidana. Saking mudahnya syarat PK, sekarang ada jokes (candaan) bahwa PK adalah pengadilan keempat setelah kasasi. Jadi benar-benar sudah tidak ada sifat upaya hukum luar biasanya lagi,” kata Arsil.
Terlebih, menurut dia, sampai saat ini belum ada parameter hukum yang jelas tentang kekhilafan hakim yang nyata. Untuk mengatasi problem tersebut, Arsil menekankan pentingnya pembenahan syarat pengajuan PK. Harus ada parameter yang jelas, terutama untuk PK yang mendalilkan alasan kekhilafan yang nyata dalam putusan hakim.
”Syarat PK juga harus dikembalikan lagi dengan menitikberatkan pada bukti baru atau novum,” tambahnya.
Di luar persyaratan PK yang dinilai terlalu ringan, Arsil berpandangan, banyaknya koruptor mengajukan PK bisa jadi karena kemampuan finansial mereka yang berlimpah. Pasalnya, koruptor rata-rata bekas pejabat publik, politikus, hingga pengusaha yang punya kemampuan menyewa jasa advokat.
Efek jera hilang
Tak hanya dari sisi kuantitas permohonan PK yang terus meningkat, Indonesia Corruption Watch (ICW) melihat kian banyaknya permohonan PK yang dikabulkan. Pada 2020, misalnya, ada 14 koruptor yang dikurangi hukumannya melalui putusan PK. Senada di 2021, koruptor seolah bergantian mendapatkan potongan hukuman sejak awal tahun.
MA mengurangi hukuman bekas Bupati Talaud, Sri Wahyumi Manalip, dari 4,5 tahun menjadi 2 tahun di tingkat PK. Alasannya, barang yang akan dijadikan suap belum sampai ke Sri. Selain alasannya yang dinilai janggal, ICW menjelaskan, Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya membenarkan hakim menjatuhkan vonis suap, di antara rentang 4 sampai 20 tahun, hingga seumur hidup.
Kasus yang terbaru di 2021, putusan PK MA melepas bekas Wali Kota Medan Rahudman Harahap dalam kasus korupsi alih fungsi lahan PT Kereta Api Indonesia (KAI) senilai Rp 185 miliar. Dalam putusan PK itu, majelis hakim MA menilai perbuatan Rahudman termasuk ranah perdata, bukan pidana. MA melepaskan terpidana dari segala tuntutan hukum. Rahudman akhirnya bebas lepas dari pidana penjara di tingkat kasasi yang harus dijalaninya 10 tahun.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, mengatakan, putusan PK yang mendiskon atau bahkan melepaskan terpidana korupsi terus berjalan. Seolah tidak ada komitmen serius dari MA untuk memberikan hukuman yang memberikan efek jera kepada koruptor.
Apalagi, dalam pertimbangan hukumnya, hakim dinilai kerap mengingkari akal sehat dan nurani. Selain dalam kasus Sri, Kurnia mencontohkan, pertimbangan putusan PK perkara korupsi suap Fahmi Darmawansyah. MA menilai terpidana yang menyuap dengan mobil, tas mewah Louis Vuitton kepada bekas Kepala Lapas Sukamiskin Wahid Husen, adalah bentuk kedermawanan.
MA mengabulkan PK yang diajukan suami artis Inneke Koesherawati itu, sehingga hukumannya dipotong dari 3,5 tahun penjara menjadi 1,5 penjara. Putusan PK itu dijatuhkan pada Juli 2020, tetapi baru diketahui publik pada Desember 2020.
Menurut Kurnia, seharusnya, Ketua MA dapat memberikan seruan agar praktik korupsi yang merupakan tindak pidana luar biasa tidak diganjar dengan hukuman yang ringan. Tentunya, dengan pertimbangan dan fakta-fakta hukum yang diperiksa di persidangan.
Dia juga mengingatkan, korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang membutuhkan kerja keras dan komitmen dari aparat penegak hukum, termasuk pengadilan. Ketika ada tren putusan PK yang cenderung meringankan koruptor, wajar jika memicu amarah publik.
Jika tren itu berlanjut, dikhawatirkan meruntuhkan citra MA di tengah masyarakat. Putusan ringan itu juga tidak memberikan efek jera dalam perang melawan korupsi. PK seolah dijadikan jalan pintas untuk mendapatkan hukuman lebih ringan.
Selain berharap pada Ketua MA, Kurnia meminta tiga lembaga untuk lebih mencermati dan mengawasi proses putusan PK di MA. Tiga lembaga itu, Badan Pengawas (Bawas) MA, Komisi Yudisial, dan aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Mereka bisa memanfaatkan kewenangannya untuk mencegah putusan PK berulang kali menyunat hukuman para koruptor. KPK, misalnya, bisa membuat sebuah tim untuk mencermati putusan PK kasus korupsi. Putusan PK bisa dieksaminasi dan dievaluasi mendalam agar JPU tidak mudah kalah di tahap PK.
Kewenangan terbatas
Juru Bicara KY Miko Ginting mengatakan, dalam konteks sosiologis, KY memahami kemarahan publik mengenai isu tren pengurangan hukuman koruptor melalui PK MA.
Namun, KY memiliki kewenangan terbatas untuk menilai benar atau tidaknya suatu putusan. KY disebutkannya, hanya bisa bertindak apabila ada temuan pelanggaran perilaku hakim. Adapun terkait benar atau tidaknya substansi putusan, KY tak memiliki kewenangan karena bisa melanggar prinsip kemandirian hakim dalam memutus suatu perkara.
”Itu bukan bagian dari kewenangan KY. UUD 1945 dan UU KY hanya memberikan amanat yang terbatas bagi KY untuk bekerja di ranah perilaku,” kata Miko.
Ia menambahkan, di UU KY memang diatur kewenangan untuk menganalisis suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, konteksnya, sebatas untuk merekomendasikan mutasi bagi hakim di tingkat pertama dan kedua yang melakukan kekeliruan, dan bahan untuk KY dalam melakukan seleksi calon hakim agung. Adapun untuk putusan PK yang diperiksa dan diputus oleh hakim agung, KY tidak lagi berwenang karena hakim agung tidak bisa dimutasi.
Mengenai akuntabilitas putusan, lanjut Miko, hal itu sebenarnya bisa diuji melalui mekanisme eksaminasi publik oleh akademisi. Eksaminasi bisa menghasilkan studi mendalam dan rekomendasi yang lebih terstruktur. Bagaimana MA, misalnya, menentukan komposisi majelis hakim dalam menangani tindak pidana korupsi. Selain itu, eksaminasi bisa menghasilkan rekomendasi yang mengarah pada perubahan regulasi, misalnya syarat mengajukan PK.
Hanya delapan persen
Menjawab kian banyaknya permohonan PK dari koruptor, Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan, PK merupakan upaya hukum terakhir yang bisa ditempuh terpidana. Karena itu, wajar jika terpidana berupaya memanfaatkannya untuk memperoleh putusan hakim yang dinilai lebih adil bagi mereka.
”MA tidak bisa melarang mereka mengajukan PK,” kata Andi.
Selain itu, banyaknya PK bisa pula dipengaruhi oleh faktor adanya disparitas yang mencolok dalam pemidanaan antara satu perkara korupsi dan perkara lain yang hampir mirip.
Namun, ia menekankan, para hakim, termasuk yang menyidangkan perkara PK, selalu mengambil putusan berdasarkan fakta-fakta yang muncul di persidangan. Berdasarkan fakta-fakta itu, hakim bisa saja mengabulkan permohonan PK karena menilai ada yang tidak tepat dari putusan sebelumnya. Sebaliknya, hakim bisa pula menolak permohonan PK.
Baca juga: Pintu Masuk Koruptor Peroleh Hukuman Ringan
Menurut dia, hanya sekitar 8 persen dari total permohonan PK yang dikabulkan. Sisanya, ditolak. Selain itu, ada beberapa perkara PK yang dikabulkan bukan menyangkut pengurangan hukuman terpidana, tetapi hanya memperbaiki atau meniadakan pidana uang pengganti karena ada lebih dari satu terpidana. Adapun, uang pengganti itu telah dibebankan atau sudah dibayar oleh terpidana dalam kasus yang sama.
”Selain itu, ada perkara PK yang diajukan oleh terpidana hanya menyangkut penentuan status barang bukti. Jadi, tidak benar itu anggapan kalau MA selalu meringankan hukuman koruptor,” terang Andi.