Usulan Rumusan Revisi UU ITE Belum Memenuhi Harapan Masyarakat
Rumusan pasal yang dibuat pemerintah masih membuka ruang tafsir yang luas sehingga sifat ”karet” pada pasal tersebut masih ada. Selain itu, belum terlihat adanya penguatan terhadap pendekatan keadilan restoratif.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Usulan rumusan revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang dibuat pemerintah dinilai belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat. Bahkan, beberapa usulan tersebut dinilai semakin mengancam kebebasan berpendapat yang mendorong kemunduran demokrasi.
Menurut anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, secara umum usulan rumusan norma dalam pasal-pasal UU ITE yang ingin direvisi tersebut belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat luas.
”Harapan tersebut menyangkut bukan saja soal rumusan norma yang lebih baik, tetapi juga soal rasa keadilan yang terkait proses penegakan hukum oleh penegak hukum yang mudah menggunakan upaya paksa, seperti penangkapan dan penahanan,” kata Arsul ketika dihubungi di Jakarta, Sabtu (12/6/2021).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD telah menyampaikan kepada publik usulan rumusan baru dari sejumlah pasal karet dalam UU ITE (Kompas, 12/6/2021).
Arsul mengungkapkan beberapa hal yang menjelaskan mengapa usulan revisi tersebut belum sepenuhnya memenuhi harapan masyarakat luas ketika dikaitkan dengan rasa keadilan. Pertama, meskipun rumusan norma tersebut sudah lebih baik dengan yang ada saat ini, masih membuka ruang tafsir yang luas sehingga sifat ”karet” pada pasal tersebut masih ada.
Ia menjelaskan, seharusnya rumusan normanya dipertegas atau paling tidak dalam penjelasan pasal itu perlu dipagari tafsir pasal tersebut sehingga ruang tafsir penegak hukum dan ahli yang diminta pendapat oleh penegak hukum tidak ”elastis” dan ”terbuka” menurut apa yang menjadi pikiran atau pendapat mereka.
Sebagai contoh, pada tambahan pasal baru, yakni Pasal 45C, terdapat unsur menimbulkan keonaran di masyarakat. Seharusnya dipertegas dan dibatasi bahwa yang dimaksud dengan keonaran adalah keonaran bersifat fisik, menimbulkan kerusakan fisik, dan bukan keonaran di ruang media sosial. Setidaknya penegasan tersebut harus ada dalam penjelasan pasalnya.
Kedua, ancaman pidana penjara masih tetap, yakni banyak yang tetap di atas lima tahun. Alhasil, dengan merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini berlaku, maka jika ada kejadian yang diduga sebagai tindak pidana yang dapat dikenakan pasal-pasal dalam UU ITE tersebut, penegak hukum bisa langsung menggunakan kewenangan upaya paksa yang diberikan kepada mereka, yakni penangkapan dan penahanan.
Padahal, salah satu sumber persoalan yang dirasakan oleh masyarakat sebagai ketidakadilan dalam penegakan hukum adalah karena dipergunakan upaya paksa pada kasus-kasus tertentu, sedangkan pada kasus-kasus lainnya tidak digunakan. Kecuali pada kasus-kasus pelanggaran UU ITE yang menyebabkan keonaran atau kerusuhan fisik di tengah masyarakat, maka menurut Arsul, ancaman hukumannya cukup di bawah lima tahun.
Hal tersebut bertujuan agar persoalan penggunaan upaya paksa yang dirasakan diskriminatif tersebut tidak terjadi, kecuali ketika dalam proses hukum yang bersangkutan tidak kooperatif seperti mangkir.
Ketiga, belum terlihat adanya penguatan terhadap pendekatan keadilan restoratif dalam usulan revisi UU ITE tersebut. Padahal, Polri sejak masih dipimpin Jenderal (Pol) Badrodin Haiti lewat surat edaran Kapolri berusaha untuk memasukkan pada tahap awal penanganan kasus ada pendekatan keadilan restoratif dan preventif. Hal itu tecermin dalam Surat Edaran Kapolri Nomor 6 Tahun 2015.
”Seyogianya pemerintah sebagai inisiator revisi UU ITE juga memberikan penguatan hukum bagi ruang penyelesaian kasus dengan pendekatan restoratif. Tidak semuanya mengarah pada proses hukum untuk memenjarakan orang,” kata Arsul.
Adapun Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto menilai, usulan rumusan revisi UU ITE tersebut belum mendukung kebebasan berpendapat dan demokrasi.
Menurut Wijayanto, usulan tersebut justru mengancam kebebasan berpendapat yang mendorong kemunduran demokrasi. ”Usulan rumusan di pasal-pasal ini tidak menghilangkan rasa takut orang untuk berpendapat. Yang perlu dilakukan saat ini perlindungan negara untuk kebebasan politik warga untuk mengekspresikan dirinya,” kata Wijayanto.
Ia menegaskan, jika pemerintah ingin dikritik, seharusnya peraturan atau perundangan tersebut mendukung orang untuk mau mengkritik. Wijayanto menyebutkan, pada usulan rumusan Pasal 28 Ayat (2) dan Pasal 45A Ayat (2) dimasukkan kata ”menghasut”. Jika kata tersebut ada, mengkritik pemerintah bisa diinterpretasikan sebagai menghasut.
Wijayanto mengatakan, usulan pada kedua pasal tersebut bisa digunakan untuk menyerang atau mengkriminalisasi orang yang berpendapat. Hal tersebut sama dengan Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 45 Ayat (3) saat ini yang memasukkan kata ”penghinaan”. Akibatnya, mereka yang mengkritik pemerintah dengan gambar meme kerap dianggap telah menghina pemerintah.
Menurut Wijayanto, usulan rumusan tersebut belum signifikan melindungi warga negara. Justru sebaliknya, pasal-pasal tersebut digunakan untuk melakukan tindakan represif terhadap warga.
Ketua Forum Keamanan Siber Indonesia (Indonesia Cyber Security Forum) Ardi Sutedja pun berharap pasal yang diubah memenuhi tuntutan masyarakat, terutama Pasal 27 Ayat (3) tentang pencemaran nama baik yang banyak menimbulkan persoalan. Ia ingin pasal ini dipertajam oleh pemerintah agar jangan sampai masyarakat menjadi korban.
Adapun terkait dengan dimasukkannya kata ”menghasut” pada Pasal 45A Ayat (2) dan Pasal 28 Ayat (2), menurut Ardi, hal tersebut sudah tepat. Kata menghasut bisa merepresentasikan sebagai hoaks atau informasi bohong yang merupakan perbuatan menghasut. Hal tersebut membuat masyarakat bisa terlindungi dari hoaks.