Dalam pemilihan presiden, koalisi parpol menjadi keniscayaan. Kini sejumlah parpol mulai menunjukkan sinyal pembentukan koalisi. Elite diingatkan, kerja penanganan pandemi bisa jadi panggung menaikkan elektabilitas.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
Pada Pemilihan Presiden 2019, sebanyak 10 parpol membentuk dua poros koalisi dengan mengusung pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Begitu pula pada Pilpres 2014 ada dua poros koalisi, Pilpres 2009 memunculkan tiga poros koalisi, dan pada Pilpres 2004, pada putaran pertama ada lima pasangan calon, lalu di putaran kedua ada dua pasangan calon.
Untuk Pilpres 2024, sejumlah parpol dan pengamat politik memperkirakan akan ada tiga poros koalisi. Meskipun secara hitungan, bisa ada empat koalisi jika mempertimbangkan persyaratan pencalonan presiden, yakni 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau 25 persen suara sah hasil pemilihan legislatif terakhir, yakni Pemilu 2019.
Ini dengan catatan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tak mencalonkan kandidatnya sendiri dan memilih membangun koalisi. Dari hasil Pemilu 2019, hanya PDI-P yang dari sisi perolehan kursi memenuhi syarat mengusulkan kandidat sendirian. PDI-P memiliki 128 kursi dari 575 kursi DPR (22,2 persen).
Meskipun pilpres masih cukup lama atau ungkapannya ”Belanda masih jauh”, sejumlah parpol ternyata telah menunjukkan sinyal-sinyal membentuk koalisi. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto telah bertemu dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri saat peresmian Patung Bung Karno menunggang kuda di areal Kementerian Pertahanan.
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto juga bertemu dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, salah satu gubernur yang masuk 10 besar survei elektabilitas kandidat dari berbagai lembaga survei. Pertemuan-pertemuan tersebut memang tidak secara tersirat membahas Pilpres 2024, tetapi publik sulit untuk tidak mengaitkannya dengan kontestasi 2024.
Politisi PDI-P, Effendi Simbolon, mengakui, pertemuan antara Megawati dan Prabowo menyiratkan kedekatan keduanya. Namun, politik jelang pilpres masih sangat dinamis. Megawati sebagai pemegang hak prerogatif nantinya akan menentukan partai mana yang akan diajak membentuk koalisi. Para kader akan selalu patuh terhadap keputusan tersebut.
”Keputusan diambil sesuai Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga PDI-P. Nanti secara resmi akan disampaikan meski PDI-P menjadi satu-satunya parpol yang bisa mencalonkan tanpa koalisi,” katanya dalam Satu Meja The Forum bertajuk ”Pilpres 2024 dan Kasak-kusuk Koalisi” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (9/6/2021) malam.
Dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, hadir sebagai narasumber melalui telekonferensi, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Willy Aditya, Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar Maman Abdurrahman, serta Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi.
Menurut Effendi, PDI-P tak punya pilihan lain selain mencalonkan kader sendiri di Pilpres 2024. Pencalonan kader sendiri diyakini memunculkan ”efek ekor jas” yang bisa mendongkrak perolehan suara di pemilu legislatif. Kader yang akan diajukan diharapkan merupakan kader genuine yang lahir dari PDI-P, dalam hal ini ia menyebut Ketua DPR Puan Maharani.
Maman menuturkan, hingga saat ini kader Partai Golkar tetap mendorong agar Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menjadi capres karena memenuhi unsur obyektivitas dan subyektivitas.
Dari segi obyektivitas, katanya, Airlangga merupakan panglima terdepan dalam penanganan pandemi Covid-19 karena menjadi Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Dari segi subyektivitas, pencalonannya bisa memunculkan ”efek ekor jas”.
Meski dalam sejumlah survei elektabilitas Airlangga belum signifikan, ia meyakini sisa waktu dua tahun bisa mengubah peta politik dengan terus menyosialisasikan nama Airlangga ke publik. Partai Golkar juga sama sekali belum berpikiran untuk mencalonkan kadernya sebagai calon wakil presiden karena fokus mendorong capres.
”Dalam melihat calon harus melihat rekam jejak, apa saja yang sudah diperbuat agar bisa membangun demokrasi yang berkualitas, bukan demokrasi semu dan hanya terjebak pada elektabilitas,” ujar Maman.
Ia mengakui kerja-kerja politik untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas Airlangga belum maksimal. Sebab, mereka mengikuti arahan Airlangga agar fokus lebih dahulu memulihkan perekonomian negara dan mengatasi dampak pandemi Covid-19. Meski demikian, komunikasi politik dengan parpol lain terus dilakukan untuk menggalang koalisi.
Berbeda dari PDI-P dan Partai Golkar, Nasdem, menurut Willy, menyadari posisi politiknya yang tak memiliki kader cukup menonjol sehingga berencana melakukan konvensi dalam proses kandidasi capres. Pemilik suara sah 9,05 persen pada Pemilu Legislatif 2019 itu terus melakukan komunikasi politik dengan parpol lain yang mau diajak menggelar konvensi agar bisa memenuhi persyaratan pencalonan presiden.
Menurut dia, ruang kandidasi pencapresan sangat terbatas, sebagian besar dikuasai pimpinan parpol, kepala daerah, dan menteri. Padahal, banyak kader bangsa yang potensial menjadi presiden.
Atasi pandemi
Menurut Burhanuddin, terlalu dini jika ingin memotret Pilpres 2024 dengan survei-survei yang beredar saat ini. Sebab, nama-nama itu, terutama yang selalu berada di posisi lima besar, belum bisa mengunci kemenangan. Belum ada satu pun yang secara statistik perolehan suaranya signifikan.
Berkaca pada pemilu di negara lain, lanjut Burhanuddin, salah satu hal yang bisa memengaruhi elektabilitas di masa pandemi Covid-19 adalah kepiawaian mengatasi pandemi. Ia mencontohkan, kekalahan petahana Donald Trump di pilpres Amerika Serikat salah satunya disebabkan kegagalannya mengatasi pandemi Covid-19.
Lain halnya dengan Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern yang memenangi kembali pemilu karena kinerjanya dalam mengatasi pandemi dinilai baik oleh publik. Fenomena ini juga terjadi di Singapura dan Korea Selatan.
Karena itu, kerja-kerja politik yang dilakukan tokoh-tokoh yang ingin menjadi capres akan berimplikasi pada elektabilitasnya. Mereka bisa memaksimalkan upaya penanganan pandemi sebagai salah satu panggung meningkatkan elektabilitas menuju Pilpres 2024. ”Kerja-kerja teknokratik dan kerja politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan,” kata Burhanuddin.