Penunjukan sejumlah anggota Partai Gerindra menjadi direksi dan komisaris di PT Teknologi Militer Indonesia, dinilai bisa dilihat sebagai bentuk konflik kepentingan. Berpotensi pula melanggar sejumlah undang-undang.
Oleh
Edna C Pattisina
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Penunjukan sejumlah anggota Partai Gerindra menjadi direksi dan komisaris di PT Teknologi Militer Indonesia atau TMI, perusahaan swasta nasional yang dibentuk oleh yayasan di bawah Kementerian Pertahanan, bisa dilihat sebagai bentuk konflik kepentingan.
Hal ini disampaikan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo dalam webinar ”Kalutnya Rencana Pembelian Alutsista Rp 1,7 Kuadriliun”, Rabu (9/6/2021). Adnan merujuk pemberitaan berbagai media yang menyebutkan nama Komisaris Utama Glenny Kairupan dan tiga komisaris PT TMI, yaitu Yudi Magio Yusuf, Prasetyo Hadi, dan Angga Raka Prabowo yang juga merupakan anggota Partai Gerindra, partai di mana Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menjadi Ketua Umum dan Ketua Dewan Pembina.
Dalam webinar yang diadakan oleh Institute For Development of Economics and Finance (Indef) ini, Adnan merujuk pada Undang-Undang Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Pada Pasal 1 disebutkan tentang definisi KKN di mana perbuatan yang menguntungkan kepentingan keluarga atau kroni di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara adalah melawan hukum.
Dalam UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan juga dijelaskan tentang larangan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.
Sebelumnya, dalam rapat dengan Komisi I DPR, 2 Juni lalu, Prabowo sempat dikonfirmasi oleh anggota DPR terkait adanya kepentingan partai tertentu atau kedekatan terkait penunjukkan para pejabat PT TMI.
Hal ini dijawab Prabowo bahwa orang-orang yang duduk di PT TMI adalah pakar dan pensiunan militer. Kebetulan mereka juga anggota Partai Gerindra. Prabowo juga menjelaskan kalau PT TMI menjadi konsultan, bukan broker.
Adnan mengatakan, dari sisi aspek tata kelola, Menteri Pertahanan terindikasi terlibat dalam konflik kepentingan dalam mendirikan, menunjuk, dan terkait tujuan PT TMI didirikan. ”Kebijakan ini dapat masuk dalam ranah tindak pidana korupsi,” kata Adnan.
Ketua Centra Initiative Al Araf mengatakan, permasalahan dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan tidak hanya terkait pada kecilnya anggaran.
Walaupun anggaran yang nilainya tidak lebih besar dari 1 persen PDB ini juga menjadi salah satu faktor masalah, Al Araf menyoroti transparansi dan akuntabilitas yang bermasalah dalam pembelanjaan alutsista. Masalah lain adalah perencanaan yang pelaksanaannya tidak konsisten, maraknya broker dan korupsi alutsista.
Ia menggarisbawahi beberapa hal yang, menurut dia, bermasalah terkait pertahanan sejak 2019. Selain adanya indikasi transaksi politik, Kementerian Pertahanan juga belum mengeluarkan dokumen strategis kebijakan pertahanan negara yang terdiri dari buku putih, kebijakan postur, kebijakan strategis, dan strategic defence review.
”Tiba-tiba ada ada anggaran Rp 1.700 triliun,” kata Al Araf.
Direktur Riset Indef Berly Martawardaya mengingatkan, pemadatan anggaran 25 tahun ke depan untuk dibelanjakan pada 2,5 tahun ini harus tetap memberikan ruang fleksibilitas. Pasalnya, ada perkembangan teknologi dalam 25 tahun ke depan yang tentunya bisa menimbulkan perubahan-perubahan dalam pelaksanaan pembelanjaan anggaran tersebut.
Ia mengakui belanja alutsista Indonesia memang relatif masih rendah. Namun, hal ini terjadi karena rendahnya pemasukan. Kalau pemasukan ditingkatkan, baru pengeluaran termasuk pembelanjaan alutsista bisa ditingkatkan.
Ia juga mengingatkan, walau tidak semua utang itu buruk, tetapi utang harus tetap dibayar. Rasio utang pemerintah terus meningkat. Utang pemerintah saja pada April 2021 telah mencapai 41,64 persen PDB. Ini belum termasuk utang BUMN.
Direktur Eksekutif Institute for Development on Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengingatkan, ada kebutuhan-kebutuhan mendesak yang harus dihadapi Indonesia saat ini.