Kementerian Pertahanan Perlu Selesaikan Masalah Serapan Anggaran
Pemerintah konsisten mengalokasikan anggaran pertahanan berkisar 0,7 persen-0,8 persen dari produk domestik bruto untuk satu tahun anggaran. Namun, realisasi anggaran, terutama belanja alutsista, masih di bawah target.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alokasi anggaran untuk belanja pertahanan sebenarnya tidak pernah berubah, masih berkisar 0,7 persen-0,8 persen dari produk domestik bruto. Hanya saja, serapan anggaran, terutama pengadaan alat utama sistem persenjataan atau alutsista, masih relatif rendah. Karena itu, penyerapan anggaran menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Kementerian Pertahanan sebelum merancang ulang rencana strategis pembangunan pertahanan untuk jangka panjang.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Bobby Rizaldi, dalam diskusi daring bertema ”Investasi Alutsista demi Proteksi Kedaulatan Nasional di Masa Depan”, Senin (7/6/2021), mengungkapkan, alokasi anggaran Kementerian Pertahanan masih berkisar 0,7 persen-0,8 persen dari PDB. Penambahan alokasi anggaran diperlukan untuk mengejar pemenuhan kebutuhan alutsista yang direncanakan sepanjang tahun 1998-2008.
Bobby melanjutkan, sebenarnya sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2009 sudah dirancang program percepatan pengadaan alutsista secara bertahap untuk mencapai kekuatan pokok minimum (minimum essential forces/MEF) pertahanan. ”Ini adalah strategi yang digunakan untuk mengatasi ketertinggalan kita dari sisi kekuatan pertahanan,” tuturnya.
Dalam rapat kerja dengan Wakil Menteri Pertahanan Herindra, pekan lalu, terungkap, kebutuhan anggaran untuk percepatan belanja alutsista sebesar Rp 1.016 triliun, bukan Rp 1.750 triliun seperti yang beredar di media massa. Selain itu, anggaran belanja alutsista yang diusulkan Kementerian Pertahanan pada APBN 2022 juga hanya Rp 40,64 triliun.
Sebelumnya, dalam draf Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan yang masih dalam pembahasan tertera kebutuhan anggaran untuk alat pertahanan dan keamanan hingga 2044 mencapai 124,995 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 1.750 triliun. Dana itu diproyeksi berasal dari pinjaman luar negeri. Adapun pengadaan alat pertahanan dan keamanan itu direncanakan dilaksanakan pada 2020 sampai 2024 (Kompas, 30/5/2021).
Terkait hal itu, peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, menyampaikan, rencana pengadaan alat pertahanan dan keamanan harus dilihat secara komprehensif melalui kebijakan modernisasi alutsista berbasis MEF tahun 2009-2044. Saat ini, kebijakan pembangunan pertahanan untuk memenuhi MEF sudah memasuki tahap ketiga yang akan berlangsung hingga 2024.
Namun, menurut Beni, pelaksanaan modernisasi alutsista pada MEF tahap pertama dan kedua tidak berjalan mulus. Target serapan anggaran minimal 75 persen pun tak tercapai. Kementerian Pertahanan hanya mampu menyerap sekitar 62 persen anggaran yang dialokasikan.
”Di MEF tahap kedua tahun 2014-2019 itu terjadi perlambatan dan hambatan terkait dengan penandatanganan kontrak dan proses pengadaan alutsista. Dengan demikian, banyak dana tidak terserap di tahun itu. Buktinya, bisa dilihat kebanyakan alutsista yang datang pada tahun itu adalah proses dari MEF I sebelumnya,” terang Beni.
Beni mencontohkan, kapal fregat yang dibeli dari Inggris yang datang pada 2014-2019 sebenarnya adalah proses pembelian pada MEF sebelumnya. Selain itu, juga pesawat tempur F16 yang baru datang pada 2014-2017 merupakan pengadaan tahun 2012. Kemudian, pada 2019, tidak banyak kontrak pembelian alutsista.
Karena itulah, menurut Beni, realisasi atau serapan anggaran semestinya dijadikan pertimbangan Kemenhan dalam menetapkan rencana anggaran, termasuk untuk modernisasi alutsista. Pemenuhan kebutuhan alat pertahanan dengan dana sekitar Rp 1.750 triliun dalam jangka waktu tiga tahun, seperti tertuang dalam draf raperpres, dinilai bakal sulit terealisasi.
”Kalau bicara perencanaan anggaran untuk 25 tahun ke depan bisa saja dana (Rp 1.750 triliun) itu wajar. Tetapi, harus dievaluasi juga capaian pada MEF sebelumnya yang tidak sesuai target rencana strategis. Apakah dengan anggaran yang besar itu bisa terserap dengan optimal?” kata Beni.
Analis Utama Politik Keamanan Andi Widjajanto sependapat, anggaran Rp 1.750 triliun wajar jika dialokasikan untuk pemenuhan kebutuhan alutsista dalam kurun waktu 25 tahun. Namun, sebelumnya, Kemenhan harus menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah. Salah satunya melaksanakan MEF tahap ketiga agar memenuhi target serapan anggaran minimal 75 persen.
Setelah itu, barulah Menhan merancang ulang rencana strategis jangka panjang pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia. Jika saat ini Indonesia sudah memiliki renstra selama 25 tahun, ke depan Indonesia membutuhkan renstra untuk 50 tahun berikutnya. Renstra jangka panjang perlu disusun agar Indonesia memiliki arah dan strategi pembangunan kekuatan pertahanan yang terencana dan sistematis.
Instruksi Presiden
Dalam diskusi itu, Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kemenhan Mayor Jenderal Rodon Pedrason mengungkapkan, rencana pembelian alutsista merupakan instruksi Presiden Joko Widodo karena melihat kondisi alutsista. Saat ini sudah banyak alutsista yang berusia tua. Padahal, keberadaan alutsista penting untuk menjaga pertahanan nasional, kedaulatan bangsa, dan kepentingan nasional.
Menurut dia, Presiden memerintahkan kepada Menhan menghitung kebutuhan anggaran alutsista untuk 20 tahun mendatang. ”Presiden melihat ada fakta bahwa tahun 2020 wilayah laut Indonesia dimasuki kapal dan benda asing. Kemudian, 2021 juga terjadi insiden kecelakaan kapal selam Nanggala-402. Ini menunjukkan bahwa memang kondisi alutsista tidak layak,” kata Rodon.
Rodon juga menegaskan bahwa anggaran pembelian alutsista itu tidak boleh membebani ruang fiskal negara. Artinya, harus ada persetujuan dari Kementerian Keuangan mengenai skema anggaran yang diajukan. Menurut dia, selama ini anggaran pertahanan hanya berkisar 0,7 persen-0,8 persen dari PDB. Padahal, idealnya kebutuhan minimal untuk membangun kekuatan pertahanan mencapai 1,5 persen-2 persen dari PDB.
Dengan keterbatasan ruang fiskal saat ini, Kemenhan juga menyadari bahwa kebijakan keuangan tidak bisa sepenuhnya pada sektor pertahanan. Oleh karena itu, dengan alokasi 0,7 persen-0,8 persen atau sekitar 4,9 persen dari APBN, Kemenhan berusaha untuk menyiasati anggaran tersebut. Salah satunya dengan skema pinjaman luar negeri.
”Itu sudah dihitung secara teliti dan berhati-hati agar tidak membebani keuangan negara. Kami juga memikirkan agar pengadaan alutsista itu tidak masuk dalam temuan BPK dan inspektorat Kemenhan,” terang Rodon.
Selain itu, dalam rencana pembelian alutsista ini, Kemenhan juga merujuk pada UU Industri Pertahanan. Indonesia tidak hanya ingin menjadi konsumen, tetapi juga ada transfer teknologi yang dilakukan agar ke depan industri pertahanan dalam negeri lebih maju.