Anggaran penataan regulasi ditengarai sebagai salah satu penyebab rendahnya kinerja legislasi. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat mengusulkan peningkatan anggaran penataan regulasi untuk menggenjot kinerja legislasi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alokasi anggaran untuk penataan regulasi pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dinilai belum memadai. Kondisi itu dikhawatirkan akan menghambat kinerja legislasi sehingga Dewan Perwakilan Rakyat meminta Kemenkumham menambah alokasi anggaran penataan regulasi.
Saat mengusulkan tambahan anggaran sebesar Rp 2,7 triliun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, Kemenkumham tidak mengalokasikan anggaran untuk penataan regulasi. Sebagian besar tambahan anggaran dialokasikan untuk program dukungan manajemen (Rp 2,3 triliun), program penegakan dan pelayanan hukum (Rp 403 miliar), serta program pemajuan dan penegakan HAM (Rp 9 miliar).
Selain itu, besaran anggaran program penataan regulasi dengan prioritas pembaruan substansi hukum di bawah Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan untuk tahun anggaran 2022 diusulkan sama dengan 2021, yakni Rp 53 miliar. Hanya ada pergeseran anggaran dengan menambah alokasi anggaran pembentukan regulasi sebesar Rp 1,1 miliar dari pos anggaran dukungan manajemen. Dengan demikian, anggaran pembentukan regulasi pada 2022 diusulkan menjadi Rp 23,8 miliar.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, menilai, rendahnya anggaran penataan regulasi dikhawatirkan berimplikasi pada perlambatan kinerja legislasi Kemenkumham. Padahal, saat ini, sejumlah rancangan undang-undang (RUU) prioritas, seperti RUU KUHP, RUU KUHAP, dan RUU Permasyarakatan, sudah mendesak untuk diselesaikan.
Oleh karena itu, Asrul mengusulkan agar alokasi anggaran legislasi ditambah. ”Ini menjadi prioritas yang perlu didukung anggarannya,” katanya dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Menkumham, Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri), dan Jaksa Agung di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (7/6/2021). Raker itu dihadiri Wakil Menkumham Eddy Omar Sharif Hiariej, Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono, dan Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi.
Dorongan agar pemerintah memaksimalkan pembangunan hukum juga disampaikan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Habiburokhman. Ini karena ada sejumlah regulasi yang saat ini sudah dinantikan masyarakat, seperti RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan. Selain itu, semangat pembangunan hukum juga dinilai kurang tecermin pada postur anggaran yang diusulkan untuk tahun depan.
”Saya melihat penataan regulasi menjadi salah satu prioritas, tetapi anggarannya tidak signifikan,” katanya.
Fraksi Nasdem, lanjutnya, mendukung agar Kemenkumham menambah anggaran untuk penataan regulasi pada tahun anggaran 2022. Hal ini diperlukan agar undang-undang yang sudah ditunggu publik, seperti RUU KUHP dan RUU KUHAP, bisa segera kembali dibahas dan diselesaikan.
Menanggapi pernyataan anggota Komisi III, Wakil Menkumham Eddy Omar Sharif mengatakan, persoalan perlambatan legislasi menjadi perhatian bersama. Namun, dalam mengalokasikan anggaran terkait penataan regulasi, pihaknya mempertimbangkan RUU yang akan masuk dalam Program Legislasi Nasional.
Program penataan regulasi 2022 diprioritaskan untuk pembaruan substansi hukum dengan target penyelesaian pembahasan empat RUU. Keempat RUU itu ialah RUU KUHAP/KUHP dan RUU KUH Acara Perdata dengan anggaran masing-masing Rp 1,7 miliar serta RUU Kepailitan dan RUU Jaminan Benda Bergerak dengan anggaran masing-masing Rp 300 juta.
Target diperjelas
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai, dengan anggaran penataan regulasi yang relatif rendah, Kemenkumham harus fokus dalam membahas suatu regulasi. Target yang ingin dicapai harus jelas agar mampu memenuhi ekspektasi masyarakat dalam pembuatan undang-undang. Substansi dari pelibatan masyarakat harus dipastikan sehingga penggunaan anggaran tidak sekadar untuk memenuhi prosedur.
”Rendahnya anggaran penataan regulasi cenderung membuat Kemenkumham lambat dalam merespons perubahan undang-undang,” katanya.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, juga berpandangan, ketiadaan penambahan anggaran pembentukan regulasi mengindikasikan Kemenkumham memang tidak menjadikan pembentukan regulasi sebagai fokus kegiatan tahun 2022. Dengan demikian, harapan selanjutnya bergantung pada DPR yang mestinya membicarakan soal program prioritas yang ingin dicapai bersama lembaga legislatif dan eksekutif.
Usulan Kemenkumham yang tidak menunjukkan fokus pada pembentukan regulasi seharusnya dikoreksi oleh DPR. Melalui pembahasan anggaran, Komisi III harus bisa menunjukkan kepada pemerintah mengenai apa yang semestinya menjadi prioritas bersama.
Jika DPR tidak memperjuangkan rencana penyusunan legislasi prioritas sebagai salah satu hal yang diberikan porsi anggaran yang lebih, itu bisa berarti DPR juga tidak punya semangat untuk menggenjot kinerja legislasi. Padahal, selama ini DPR selalu menyalahkan pemerintah atas kinerja legislasi mereka yang buruk.
”Jangan sampai DPR selalu menempatkan pemerintah untuk dijadikan kambing hitam atas ketakseriusan mereka sendiri mendorong peningkatan kinerja legislasi dari sisi pemerintah melalui dukungan anggaran,” ujar Lucius.