Para pegawai KPK berjumlah 75 orang yang tidak memenuhi syarat TWK, dalam waktu dekat belum berencana mengajukan gugatan penonaktifan mereka ke PTUN. Mereka masih menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Sebanyak 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) belum berencana menggugat Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 terkait pembebastugasan mereka ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dalam waktu dekat. Gugatan ke PTUN menjadi pilihan terakhir seandainya Mahkamah Konstitusi menolak uji materi terkait alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Mantan Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lolos TWK, Giri Suprapdiono, di Gedung KPK, Jumat (4/6/2021) mengatakan, gugatan ke PTUN terkait Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 652 Tahun 2021 itu akan menjadi langkah terakhir seandainya seluruh upaya hukum gagal.
Diharapkan hakim MK mengabulkan permohonan 75 pegawai KPK. Sebab putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga harus dilaksanakan oleh KPK.
Menurutnya, 75 pegawai KPK masih menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materiil Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945. Pasal yang diuji adalah Pasal 69 B Ayat (1) dan 69 C UU No 19/2019 terkait batas waktu pegawai KPK diangkat menjadi aparatur sipil negara, terhadap Pasal 1 dan Pasal 28 D Ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945.
Diharapkan hakim MK mengabulkan permohonan 75 pegawai KPK. Sebab putusan MK bersifat final dan mengikat sehingga harus dilaksanakan oleh KPK. “Kami pernah ke PTUN menang dan tidak dieksekusi. Jadi kami pilih ke MK yang sudah jelas mengikat internal dan eksternal,” ujarnya.
Apalagi, lanjut Giri, putusan uji formil dan materil UU 19 Tahun 2019 untuk perkara nomor Nomor 70/PUU-XVII/2019 menyebutkan pegawai KPK tidak boleh dirugikan dalam alih status ini. Dalam putusannya, MK menegaskan, pengalihan status kepegawaian tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat sebagai ASN dengan alasan apa pun di luar desain yang ditentukan dalam UU tersebut. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan korupsi tidak diragukan lagi.
“Karena orang-orang seperti kami sudah banyak berjasa, bukan hanya 75, tetapi 1.600 di dalamnya berjasa banyak. Jangan sampai perubahan undang-undang membuat kami disingkirkan dan tidak bisa memberantas korupsi,” tutur Giri.
Selain itu, Presiden Joko Widodo pun telah meminta agar TWK tidak dijadikan satu-satunya alasan untuk menyingkirkan pegawai KPK. “Semoga apa yang diperintahkan Presiden bisa dilaksanakan,” katanya.
Karena orang-orang seperti kami sudah banyak berjasa, bukan hanya 75, tetapi 1.600 di dalamnya berjasa banyak. Jangan sampai perubahan undang-undang membuat kami disingkirkan dan tidak bisa memberantas korupsi. (Mantan Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK)
Serapan rendah
Direktur Eksekutif Narasi Institute Achmad Nur Hidayat menilai, konflik internal akibat polemik TWK memberikan dampak negatif bagi kelembagaan KPK. Dampak itu di antaranya terhambatnya penyiapan prasarana bagi dua deputi baru yaitu Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat serta Deputi Koordinasi dan Supervisi. Dampak lain yakni terhambatnya pengungkapan kasus korupsi besar seperti korupsi bantuan sosial, benur, Jiwasraya, Asabri dan korupsi di level daerah.
Bahkan akibat polemik itu, penyerapan anggaran KPK tergolong rendah. Hingga Mei 2021, penyerapan anggarannya hanya 38,09 persen dari total anggaran Rp 1,15 triliun. Idealnya, penyerapan hingga bulan kelima semestinya mencapai 45 persen atau sekitar Rp 517 miliar.
“KPK harus segera move on dan hentikan konflik internal. Rendahnya daya serap tidak boleh terjadi lagi apalagi di masa Indonesia butuh pemulihan ekonomi yang cepat,” tutur Achmad.
Sementara itu Acara debat terbuka terkait TWK di Gedung KPK yang rencananya menghadirkan Giri dan Ketua KPK Firli Bahuri, batal digelar. Acara yang berlangsung pada pukul 14.00 hingga 14.40 di ruang pers KPK itu tidak dihadiri Firli.
“Kami sudah kirim surat secara resmi ke KPK untuk mengundang Ketua KPK Pak Firli Bahuri untuk bisa datang pada siang hari ini. Namun, tampaknya belum terlihat sosok Pak Firli di ruangan ini," kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana yang menjadi pembawa acara tersebut.
Giri mengatakan, kedatangannya dalam debat bukan untuk mencari siapa yang menang dan kalah, namun untuk mencerdaskan publik terkait TWK. “Saya bertanya dan bercanda di sana (media sosial), kalau kalah siap mundur atau tidak, gitu,” katanya.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, KPK telah menerima undangan debat terbuka wawasan kebangsaan dari Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi pada 3 Juni 2021. Pihaknya telah merespon surat itu dan menyatakan Ketua KPK tidak bisa memenuhi undangan tersebut karena ingin mengakhiri polemik di ruang publik terkait alih status pegawai KPK menjadi ASN.
“Kami berharap dukungan publik untuk menciptakan situasi yang kondusif demi kelancaran tugas-tugas pemberantasan korupsi oleh KPK,” ujarnya.
Namun saat kembali dikonfirmasi terkait rendahnya serapan anggaran KPK melalui pesan singkat, Fikri tidak merespons.