Rencana Alokasi Belanja Alutsista Rp 1.750 Triliun Bisa Bebani Keuangan Negara
Rencana pengajuan belanja alutsista Rp 1.750 triliun dinilai perlu dipertimbangkan kembali. Saat pandemi Covid-19, pengelolaan keuangan negara harus diprioritaskan untuk memulihkan kehidupan masyarakat.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu/Rini Kustiasih
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Rencana mengalokasikan Rp 1.750 triliun untuk membeli alat utama sistem persenjataan dari pinjaman luar negeri dinilai akan memberatkan keuangan negara. Pemerintah masih perlu memprioritaskan anggaran untuk memulihkan dampak pandemi Covid-19.
Rancangan Peraturan Presiden terkait Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan TNI 2020-2024 yang masih dalam pembahasan menyebutkan kebutuhan anggaran pengadaan alat pertahanan serta keamanan hingga tahun 2044. Nilainya mencapai 124,995 miliar dollar AS atau setara Rp 1.750 triliun.
Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance, Didik J Rachbini, dihubungi dari Jakarta, Kamis (3/6/2021), mengatakan, rencana pengajuan belanja alat utama sistem persenjataan (alutsista) Rp 1.750 triliun perlu dipertimbangkan kembali. Saat pandemi Covid-19, pengelolaan keuangan negara harus diprioritaskan untuk memulihkan kehidupan masyarakat.
Anggaran Rp 1.750 triliun yang akan berasal dari pinjaman luar negeri ini bakal menambah beban utang pemerintah. Padahal, selama pandemi, jumlah utang pemerintah telah meningkat.
Pembayaran utang
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, posisi utang pemerintah hingga akhir Maret 2021 sebesar Rp 6.445,08 triliun atau 41,64 persen produk domestik bruto (PDB).
Menurut Didik, kewajiban pembayaran utang pokok dan bunga cicilan utang luar negeri pemerintah sudah amat tinggi, mencapai Rp 772 triliun di tahun 2020. Jika utang terus bertambah, alokasi pembayaran utang di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa mencapai Rp 1.000 triliun setahun.
Didik mengingatkan, pengelolaan APBN yang buruk menjadi pintu terjadinya krisis beberapa tahun mendatang. Pemerintahan setelah era Presiden Jokowi akan menanggung utang lebih besar. Selain itu, pengelolaan keuangan yang tak baik bisa menyebabkan citra buruk Indonesia bagi investor asing.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, rencana modernisasi alutsista dengan anggaran Rp 1.750 triliun tak tepat dalam masa pandemi. Pemerintah mesti memprioritaskan anggaran untuk sektor kesehatan dan lainnya yang terdampak pandemi.
Al Araf, anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, mengatakan, meski tak bisa dipungkiri bahwa modernisasi alutsista merupakan hal penting, upaya itu harus dilakukan bertahap. ”Mulai dari jangka pendek, menengah, dan panjang,” tuturnya.
Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari mengatakan, pertanyaan soal rancangan perpres dan perkiraan anggaran Rp 1.750 triliun mengemuka di rapat Komisi I bersama Menhan Prabowo Subianto, Rabu (2/6). Namun, ketentuan soal raperpres ini merupakan domain eksekutif atau presiden.
Karena itu, Komisi I DPR tak detail membahasnya. ”Masih rencana. Iya kalau disetujui presiden, kalau tidak bagaimana? Kira-kira begini, orang lagi buat proposal ketahuan sama orang lain, padahal belum tentu disetujui Presiden. Kami di DPR tak mau membahas sesuatu yang masih sumir begitu,” ucapnya.
Sekalipun masih rencana, anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon mengharapkan rencana itu dijabarkan detail disertai skema pembayaran yang jelas. ”Beliau selalu berkata, ini, kan, enggak mengganggu APBN. Siapa bilang tak membebani, wong namanya utang. Kamu utang, terus rakyat Indonesia sampai 2044 harus bayar, masa enggak membebani?” ujarnya.
Menurut dia, DPR pada dasarnya sepakat ada modernisasi alutsista. Kondisi alutsista perlu mendapat perhatian karena umumnya sudah tua. Namun, perencanaan pengadaan, skema pembayaran, dan penganggarannya harus jelas. Pelibatan semua pihak, terutama tiga matra TNI, harus menjadi pertimbangan dalam penyusunan skenario modernisasi alutsista.
Usai rapat kerja di Komisi I DPR, Menhan Prabowo menyatakan rencana itu masih dibahas bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Keuangan, serta pemangku kepentingan lain. Ia menuturkan, banyak alutsista yang sudah tua dan saatnya diganti (Kompas, 3/6/2021).
Terbuka
Peneliti senior bidang pertahanan pada Centre for International Studies (CSIS) Jakarta, Evan A Laksmana, mengatakan, pembahasan raperpres alutsista sepatutnya dilakukan terbuka.
”Item yang dibeli, perusahaan apa yang menjadi penyedia, dan mekanisme pembayarannya harus terbuka. Itu, kan, uang negara yang dipakai. Harus ada pertanggungjawabannya,” ujarnya.
Ketua Komisi Informasi Publik Gede Narayana mengatakan, dokumen yang masih berupa rancangan belum termasuk informasi publik. Isi dokumen masih bisa berubah.
“Namun, dalam prosesnya, badan publik harus memberi ruang bagi partisipasi masyarakat. Partisipasi dapat dilakukan lewat komponen masyarakat terkait,” kata Gede.