Presiden Jokowi masih diharapkan bisa mengambil sikap tegas untuk menyelesaikan problematika 75 pegawai KPK. Jika persoalan ini terus berlarut-larut, bukan tak mungkin agenda pemberantasan korupsi terganggu.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
Hampir sebulan polemik tes wawasan kebangsaan atau TWK di Komisi Pemberantasan Korupsi tak kunjung selesai. Pernyataan Presiden Joko Widodo, Mahkamah Konstitusi, dan dorongan dari akademisi serta masyarakat sipil agar tidak ada pemecatan terhadap pegawai KPK dalam proses alih status menjadi aparatur sipil negara seolah tak dihiraukan.
Dari 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat dari hasil TWK, 51 orang tetap akan diberhentikan, sedangkan 24 pegawai akan dibina, tetapi bila kembali tidak memenuhi syarat, mereka akan diberhentikan. Padahal, ketika menindaklanjuti pernyataan Presiden Jokowi, Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan, KPK tidak pernah memberhentikan, memecat, dan tak pernah berpikir memberhentikan dengan hormat ataupun tidak hormat terhadap 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos TWK.
Berbagai dorongan agar KPK tak buru-buru melantik pegawai yang memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan untuk menjadi ASN juga tak didengarkan. Mereka tetap dilantik menjadi ASN pada 1 Juni.
Sebanyak 75 pegawai itu terus berupaya memperjuangkan nasibnya. Mereka melaporkan hal ini di antaranya ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Ombudsman RI. Keduanya merupakan lembaga negara independen yang dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden.
Harapan agar 75 orang itu tetap bisa menjadi pegawai KPK ada di tangan Presiden Jokowi. Nama baik mereka harus dipulihkan dan kembali diberi kesempatan melaksanakan amanah reformasi dalam memberantas korupsi.
Hal itu terungkap dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Bersama Selamatkan KPK” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (2/6/2021) malam. Diskusi dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Hadir sebagai narasumber melalui telekonferensi video, yakni jurnalis dan sutradara Dandhy Laksono, Anang Saptoto (Jaringan Masyarakat Sipil Yogyakarta), Sulistyowati Irianto (Koalisi Guru Besar Antikorupsi), Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo, komisioner Komnas HAM Choirul Anam, Guru Besar Ilmu Politik LIPI Mochtar Pabottingi, dan politisi PDI-P Masinton Pasaribu.
Mochtar Pabottingi mengungkapkan, Presiden Jokowi merupakan orang yang bisa mengambil peranan untuk segera menyelesaikan persoalan TWK KPK. Menurut Mochtar, Presiden menyadari bahwa TWK tak bisa diterapkan untuk menyingkirkan pegawai-pegawai kredibel.
Apalagi, pertanyaannya dalam tes itu tak ada hubungannya dengan pemberantasan korupsi. Ia berharap, materi pertanyaan dalam tes itu dibuka seluas-luasnya agar masyarakat bisa melihat. Menurut Mochtar, dalam proses TWK ini telah terjadi persekutuan oligarki politik, ekonomi, dan birokrasi.
Dia menilai, solusi yang paling mendesak saat ini adalah merehabilitasi 75 pegawai KPK. Mereka adalah orang yang melaksanakan amanah reformasi.
Hal senada diungkapkan Adnan Topan Husodo. Menurut Adnan, pernyataan Presiden masih menimbulkan multitafsir. Pernyataan ”tidak serta- merta” menimbulkan tafsir apakah itu ada yang boleh tak lolos karena alasan tertentu. Jika presiden turun tangan dengan tegas mengambil sikap dengan meminta agar seluruh pegawai KPK dijadikan ASN, persoalan ini selesai.
Sebagai pejabat paling tinggi di Indonesia dan agar agenda pemberantasan korupsi sesuai jalur, maka Presiden harus mempunyai kemauan politik dengan mengambil tindakan yang serius supaya persoalan ini tidak berlarut-larut.
”Energi kita sudah terlalu banyak untuk hanya merespons, menanggapi, lalu mengadvokasi kebijakan melenceng seperti ini. Sementara pada saat yang sama, korupsi terus berjalan,” katanya.
Menurut Sulistyowati Irianto, 75 pegawai KPK yang dianggap tidak lolos TWK harus mendapatkan kompensasi. Tak hanya secara keuangan, tetapi juga secara sosial. Mereka harus dipulihkan karena sudah dituduh segala macam.
Ia menegaskan, KPK sudah menjadi bagian dari eksekutif sehingga Presiden harus mengatakan apa yang dipikirkannya untuk memulihkan 75 pegawai tersebut. Mereka tak bisa dipecat begitu saja. Pemecatan itu melanggar HAM untuk bekerja, tumbuh, serta menyumbangkan segala kepakaran dan keahliannya untuk bangsa.
Penanganan Komnas HAM
Choirul Anam menuturkan, Komnas HAM sudah memeriksa sekitar 20 orang terkait kasus ini. Komnas HAM juga telah memperoleh ratusan halaman dokumen. Informasi yang diperoleh Komnas HAM tak hanya diperoleh dari pegawai yang tak lolos ujian, tetapi juga dari yang lolos ujian.
Ia menegaskan, Komnas HAM juga sudah mendapat informasi terkait dengan mulai kapan ide TWK muncul, bagaimana prosedurnya, siapa yang terlibat, dalam konteks apa terlibat, dan apa ada hubungan tes ini dengan pekerjaan. Selain itu, apakah ada tindakan lain di luar tes tersebut.
”Kalau minggu depan semua pihak di level pimpinan nantinya mau datang kooperatif, saya kira tak sampai akhir bulan ini selesai. Semoga Presiden mendapatkan informasi jauh lebih komprehensif dan bisa melaksanakan rekomendasi dari Komnas HAM,” kata Anam.
Jika nanti disimpulkan ada pelanggaran HAM, katanya, peristiwa serupa tak boleh berulang lagi. Karena itu, Komnas HAM harus melihat peristiwa ini secara terang.
Sementara itu, Masinton Pasaribu ingin KPK melakukan langkah-langkah institusinya sendiri tanpa harus ditekan dari luar. Ia percaya agenda pemberantasan korupsi di Indonesia dapat terus dikawal. Sebab, bukan hanya KPK yang melaksanakan penegakan hukumnya, masih ada kejaksaan yang membongkar kasus-kasus korupsi besar, seperti di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri (Persero).
Dukungan
Berbagai dukungan kepada 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak memenuhi syarat terus diberikan oleh kelompok masyarakat. Salah satunya Dandhy Laksono melalui film dokumenter The End Game. Dandhy melakukannya karena khawatir atas rusaknya demokrasi akibat produksi informasi yang menyesatkan soal KPK.
Melalui film ini, ia menampilkan kesaksian orang-orang yang selama ini tak muncul di media karena punya tugas dan tanggung jawab dalam penyidikan serta investigasi sehingga tak bisa muncul ke publik.
Dalam film ini, mereka terpaksa muncul untuk menjelaskan kepada masyarakat, informasi yang sudah didistorsi. Film ini tak hanya berbicara kepada pemerintah dan negara, tetapi juga kepada rakyat yang menjadi pemilik republik.
Anang Saptoto bersama beberapa organisasi melakukan amplifikasi melalui pameran poster dan diskusi di Yogyakarta bertajuk ”Berani Jujur Pecat”. Total ada 55 poster yang dipamerkan. Melalui pameran ini, mereka menyuarakan pelemahan KPK dalam konteks pemberantasan korupsi menjadi penyakit bersama. Mereka ingin pemerintah tahu bahwa publik menyatakan hal seperti itu.