Mengejar Ketertinggalan di Papua, Ahli Usulkan Kartu Dana Otonomi Khusus
Untuk mengejar ketertinggalan di Papua, diusulkan kartu Dana Otsus Papua untuk orang asli Papua. Diharapkan warga asli dapat memperoleh manfaat dana otsus itu secara langsung.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Terobosan luar biasa harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan yang dialami Papua dan Papua Barat terhadap daerah lainnya. Optimalisasi Undang-undang Otonomi Khusus Papua diharapkan dapat dilakukan dengan menjamin dana Otsus Papua itu dinikmati langsung oleh orang asli papua. Ahli pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada antara lain mengusulkan agar ada kartu dana Otsus Papua yang diterima oleh masyarakat Papua guna memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Ahli dari UGM itu merupakan satu dari dua ahli politik dan pemerintahan yang dihadirkan Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua DPR dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU), Kamis (3/6/2021) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Kedua ahli itu adalah Bambang Purwoko, Ketua Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (UGM); dan peneliti dari Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Murdiyanto Wahyu Tryatmoko.
Selama 20 tahun otsus Papua berjalan, tidak banyak perubahan berarti yang dirasakan oleh masyarakat. (Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Bambang Purwoko)
RDPU ini digelar oleh pansus untuk mengakomodir masukan dari publik terkait penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) oleh DPR dalam pembahasan revisi UU Otsus Papua yang diajukan oleh pemerintah.
Dalam rekomendasinya, Bambang mengatakan, selama 20 tahun otsus Papua berjalan, tidak banyak perubahan berarti yang dirasakan oleh masyarakat. Selain problem tata kelola dan manajemen pemerintahan, serta impelemntasi UU Otsus yang tidak konsisten, baik oleh pusat maupun daerah, pengelolaan dana otsus juga menjadi pertanyaan besar. Oleh karena itu, pengelolaan dana otsus itu harus menjadi salah satu fokus, yakni dengan memastikan sebagian dari dana otsus itu sampai secara langsung ke tangan orang asli Papua (OAP).
“Pengelolaan dana otsus selama ini dapat dikatakan belum ada bekasnya. Dana pendidikan digelontorkan triliunan rupiah. Tetapi kualitas pendidikan rata-rata di Papua tetap masih hancur. Kesehatan tetap buruk, begitu pula perekonomian. Kenapa ekonomi tidak berkembang di sana. Kondisi tahun 2019 serta 2020, anak-anak usia SMA yang belum bisa membaca itu sangat banyak. Untuk apa dana pendidikan itu, dan ke mana larinya,” kata Bambang.
Terkait dengan usulan pemerintah di dalam revisi UU Otsus Papua yang ingin menaikkan jumlah dana otsus, Gugus Tugas Papua UGM pun merekomendasikan adanya satu ayat tertentu di dalam Pasal 34 yang mengatur soal kartu atau semacam voucher dana Otsus Papua. Bambang mengatakan, usulan itu sudah sempat didiskusikan dengan Majelis Rakyat Papua (MRP), dan telah mendapatkan “lampu hijau”.
“Bagaimana nanti dirancang, apakah dari dana otsus itu ada 1,25 persen yang dijadikan belanja langsung yang bisa diterima oleh masyarakat, entah itu berupa voucher atau kartu. Ini usulan,kira-kira bagaimana dalam revisi Pasal 34 Ayat (3) huruf e, nanti diatur mengenai hal ini,” katanya.
Pengelolaan dana otsus selama ini dapat dikatakan belum ada bekasnya. Dana pendidikan digelontorkan triliunan rupiah. Tetapi kualitas pendidikan rata-rata di Papua tetap masih hancur.
Pasal 34 yang dimaksud Bambang mengatur tentang dana otsus dan distribusinya. Dengan penambahan ayat di dalam pasal itu, ahli berharap akan ada kartu dana otsus yang bisa digunakan OAP untuk belanja pendidikan, kesehatan, kebutuhan pangan, dan kebutuhan bahan bangunan perumahan. Penyaluran dana langsung ini diharapkan bisa mengungkit kesejahteraan warga secara langsung, dan dirasakan langsung oleh mereka.
“Ini penting supaya alokasinya jelas. Bagaimana nanti teknis mekanismenya diatur bersama. Besaran kartu dana otsus ini juga harus disesuaikan dengan tingkat kemahalan di masing-masing daerah, dan itu harus dituangkan di dalam peraturan daerah khusus (perdasus),” ucapnya.
Untuk memfasilitasi hal itu, pemerintah pusat dan daerah mesti menyiapkan daya dukungnya. Misalnya dengan memastikan pusat grosir dan pelayanan publik yang bisa dibayar dengan voucher atau kartu tersebut. Lebih jauh, Bambang mengatakan, kartu itu juga sekaligus menjadi cara identifikasi dan pendataan OAP, karena selama ini jumlah OAP kerap tidak terdokumentasi dengan baik.
Selain penggunaan kartu dana otsus, Gugus Tugas Papua UGM juga mengusulkan ada lembaga khusus yang mengelola dan mengoordinir jalannya otsus Papua dan pembangunan Papua. Lembaga ini memiliki fungsi koordinasi, baik antara pusat dengan daerah, maupun antardaerah di Papua.
Kejar ketertinggalan
Usulan penggunaan kartu dana otsus ini mendapatkan respons positif dari anggota pansus. Anggota pansus dari Fraksi Nasdem Rico Sia mengatakan, usulan kartu dana otsus itu penting untuk direalisasikan. “Kita harus sepakat benar-benar ini akarnya untuk orang Papua. Kita mau kejar ketertinggalan dan ketidakadilan tadi dari berbagai sektor yang ada,” katanya.
Ketua Pansus Otsus Papua Komarudin Watubun juga menanggapi positif usulan itu. Menurut dia, pengadaaan kartu dana otsus itu akan memastikan warga asli Papua menikmati dana otsus untuk berbagai kebutuhan dasar mereka. Tujuannya agar ada akselerasi kesejahterana bagi OAP. Kartu itu diharapkan bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Komarudin juga sependapat dengan Bambang soal pembentukan lembaga khusus yang menangani pembangunan Papua. Keberadaan lembaga itu diyakini akan bisa mendorong perkembangan pembangunan di Papua karena perannya sebagai koordinator lintas lembaga.
“Di setiap kementerian saat ini ada desk Papua, yang saya tidak tahu apa hasil kerjanya. Keberadaan lembaga ini nantinya bisa menjembatani kerja-kerja kementerian itu, sehingga tidak ada lagi desk-desk Papua yang kerjanya mungkin mengejar amplop cokelat saja, menghabiskan anggaran saja,” katanya.
Menurut Komarudin, agar lebih berdaya guna dan jelas rantai koordinasinya, lembaga khusus yang menangani pengembangan dan pembangunan di Papua itu harus berada di bawah presiden langsung. Dengan demikian, perkembangan lembaga langsung dapat dimonitor oleh presiden.
Sementara itu, anggota pansus dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Jimmy Demianus Okie mengatakan, revisi Otsus Papua harus pula mengatur definisi yang lebih jelas siapa orang asli Papua (OAP) itu. Dengan demikian, peruntukan dana otsus untuk OAP itu menjadi lebih tepat sasaran, dan tidak menimbulkan kecemburuan karena dinikmati pula oleh pendatang.
Menurut Komarudin, agar lebih berdaya guna dan jelas rantai koordinasinya, lembaga khusus yang menangani pengembangan dan pembangunan di Papua itu harus berada di bawah presiden langsung. (Ketua Pansus Otsus Papua Komarudin Watubun)
Konsistensi
Selain mekanisme penyaluran dana otsus Papua, serta pengadaan kartu dana otsus, anggota pansus juga mendorong agar ada konsistensi sikap dari pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi UU Otsus Papua. Ketua Pansus Papua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Filep Wamafma mengatakan, UU Otsus Papua yang sudah ada sebenarnya sudah baik. Hanya saja implementasinya yang tidak konsisten.
“Sejumlah aturan soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan peradilan HAM, misalnya, itu belum dilaksanakan dengan konsisten. Selain bicara soal berapa banyak anggaran yang dikucurkan untuk Papua, hal lainnya yang lebih penting menurut saya ialah problem kemanusiaan di sana yang harus dituntaskan,” ucapnya.
Mardiyanto, ahli dari LIPI mengatakan, pelibatan tokoh-tokoh adat dan agama sangat penting untuk memberikan solusi dari konflik dan tindakan kriminal yang berkembang di Papua. Selain itu, untuk menghindari resistensi terhadap revisi UU Otsus Papua, pembahasan revisi harus melalui proses renegoisasai antara pemerintah pusat dan Papua, serta di internal orang Papua.
“Renegosiassi ini penting dilakukan untuk menghasilkan revisi UU Otsus Papua yang memiliki legitimasi kuat. Revisi ini mesti dijadikan momentum dialog antara pusat dan daerah (Papua),” katanya.