Permohonan Ditolak Pimpinan KPK, Upaya Pegawai KPK Tetap Berlanjut
Pimpinan KPK menolak mencabut surat keputusan terkait 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat TWK. Sikap ini akan dijadikan dasar oleh sebagian pegawai KPK untuk melanjutkan polemik TWK ke PTUN.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menolak permintaan pegawai KPK untuk mencabut surat keputusan terkait 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat tes wawasan kebangsaan sebagai syarat alih status menjadi aparatur sipil negara atau ASN. Penolakan dari pimpinan KPK tersebut akan dijadikan dasar untuk upaya berikutnya, yakni menggugat di pengadilan tata usaha negara.
Dalam surat tanggapan pimpinan KPK bernomor 1578 tanggal 2 Juni 2021 yang ditandatangani Wakil Ketua KPK Alexander Marwata disebutkan, pimpinan KPK menerbitkan Surat Keputusan Nomor 652 Tahun 2021 sebagai tindak lanjut hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) bahwa 75 pegawai KPK tidak memenuhi syarat untuk dialihkan menjadi ASN. Surat keputusan tersebut dinyatakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Surat dari pimpinan KPK tersebut merupakan tanggapan terhadap surat keberatan dari perwakilan para pegawai KPK, yakni Sujanarko, Hotman Tambunan, Samuel Fajar, Giri Suprapdiono, Novariza, Benedictus S, dan Tri Artining Putri.
Ini pertarungan akan panjang karena lawan kita cukup berat.
”Berkenaan dengan hal-hal di atas, kami sampaikan bahwa pimpinan KPK tidak dapat memenuhi permintaan saudara Sujanarko dkk untuk mencabut Surat Keputusan Pimpinan KPK Nomor 625 Tahun 2021 tanggal 7 Mei 2021,” sebagaimana dikutip dalam surat tersebut.
Menurut mantan Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK Sujanarko, surat tanggapan berisi jawaban dari pimpinan KPK tersebut penting sebagai landasan bagi pegawai KPK jika ke depan akan meneruskan sengketa tersebut ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Terkait penolakan tersebut, kini 75 pegawai KPK masih melakukan advokasi melalui lembaga pengawas lain, seperti melalui Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
”Ini pertarungan akan panjang karena lawan kita cukup berat,” ujar Sujanarko.
Sebelumnya, Ombudsman RI telah melayangkan surat permintaan keterangan kepada para terlapor, yakni pimpinan KPK, BKN, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Demikian pula Komnas HAM juga akan meminta keterangan dari semua pihak yang terlibat (Kompas, 3/6/2021).
Sementara Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono menyatakan kekecewaannya atas surat tanggapan pimpinan KPK tersebut. Menurut Giri, kekerasan hati pimpinan KPK dengan tetap melantik 1.271 pegawai KPK menjadi ASN merupakan sejarah kelam pemberantasan korupsi.
Pimpinan KPK dinilai telah mengabaikan aspirasi sebagian besar masyarakat sipil, tokoh masyarakat, akademisi, serta 760 pegawai KPK untuk menunda pelantikan. Sementara pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam TWK adalah pengkhianatan terhadap nilai reformasi sekaligus mendegradasi nilai-nilai Pancasila.
”Namun, kami 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat mengucapkan selamat bekerja bagi 1.271 pegawai yang telah dilantik. Tantangannya semakin berat dengan pola kepemimpinan KPK seperti saat ini,” kata Giri.
Menurut Giri, rencana untuk membawa persoalan tersebut ke PTUN sudah ada. Namun, langkah tersebut dilakukan bertahap.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Atip Latipulhayat berpandangan, KPK telah melanggar hukum terhadap 75 pegawai KPK yang dinilai tidak memenuhi syarat menjadi ASN. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 dinyatakan bahwa proses transisi tidak boleh merugikan hak pegawai.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Atip Latipulhayat berpandangan, KPK telah melanggar hukum terhadap 75 pegawai KPK yang dinilai tidak memenuhi syarat menjadi ASN.
Yang terjadi seharusnya bukan proses seleksi, melainkan proses administratif. Sementara materi TWK juga bermasalah karena melanggar hak asasi manusia (HAM). ”Itu bukan wawasan kebangsaan, melainkan wawasan kekuasaan. Bagaimana mungkin mengadili pemikiran seseorang,” ujar Atip.
Menurut Atip, langkah-langkah yang telah ditempuh 75 pegawai KPK untuk memperjuangkan hak-haknya sudah tepat. Termasuk jika ke depan mereka berencana untuk melakukan gugatan melalui PTUN.
Di sisi lain, lanjut Atip, yang jauh lebih penting dan mendasar dari proses advokasi tersebut tidak hanya demi 75 orang tersebut, tetapi demi masyarakat yang lebih luas. Sebab, atas nama kebangsaan, hak-hak seseorang dilanggar yang justru memperlihatkan bahwa mereka memang hendak ”disingkirkan”.