DPR Minta Kemenhan Perjelas Rencana Induk Pertahanan Nasional
Simpang siur mengenai Rancangan Perpres Alutsista menyiratkan pesan belum jelasnya arah rencana induk pertahanan nasional. Hal ini menjadi tugas bersama, baik DPR maupun pemerintah, untuk memperjelas rencana induk itu.
Oleh
RINI KUSTIASIH/IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat meminta pemerintah untuk memperjelas konsep dan skema rencana induk pertahanan nasional, terutama yang terkait dengan pengadaan alat utama sistem persenjataan atau alutsista. Penyusunan rencana induk pertahanan itu juga diharapkan melibatkan sebanyak mungkin pihak terkait serta mempertimbangkan aspek geopolitik, karakteristik wilayah, dan kebutuhan nasional.
Permintaan kejelasan konsep dan skema rencana induk pertahanan itu disampaikan sejumlah anggota Komisi I DPR dalam rapat kerja dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Rabu (2/6/2021), di Jakarta. Rapat tersebut digelar secara tertutup.
Seusai rapat, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyatakan bahwa rencana tersebut masih dibahas bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Keuangan, dan pemangku kepentingan yang lain.
”Sebagaimana diketahui, banyak alutsista kita sudah tua, sudah saatnya mendesak harus diganti. Kebutuhan-kebutuhan (alutsista) sangat penting dan kita siap menghadapi dinamika lingkungan strategis yang berkembang dengan sangat pesat,” kata Prabowo
Ketua Umum Partai Gerindra itu pun menjelaskan isu-isu lain, termasuk soal rancangan perpres alat pertahanan dan keamanan hingga 2044 yang mencapai Rp 1.750 triliun.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Nasdem, Muhammad Farhan, mengatakan, dalam pengadaan alutsista, banyak hal yang harus dipertimbangkan, terutama tentang arah kebijakan pertahanan nasional. Minimum essential force (MEF) yang berakhir pada 2024 sebenarnya telah memadai saat ini.
Usulan yang belakangan berkembang dari Kemenhan, yakni dengan adanya rancangan peraturan presiden tentang alutsista harus pula disertai argumentasi jelas. Ini, misalnya, kenapa perpres itu dibutuhkan dan kenapa tidak mengevaluasi MEF yang sudah ada.
”Harus ada kejelasan dengan konsep pengadaan alutsista ini. Problemnya selama ini kita tidak konsisten dengan konsep yang ada (MEF),” ujarnya.
Konsep MEF yang dibangun dulu, menurut Farhan, sebenarnya sudah ideal karena sudah sesuai dengan cita-cita Indonesia membangun perdamaian dan bersahabat dengan negara-negara lain di dunia.
”Oleh karena itu, bukan konsep powerful essential force yang ingin ditonjolkan. Sebab, dengan persenjataan itu, Indonesia tidak mau menjadi musuh negara lain. Tetapi, paling tidak ada kekuatan persenjataan untuk mempertahankan wilayah dan kedaulatan Indonesia, yang memang dalam pengadaannya harus berbasis pada rencana induk yang jelas,” katanya.
Anggota Komisi I dari Fraksi PDI-P, Effendi Simbolon, mengatakan, rancangan pengadaan alutsista untuk 25 tahun dengan biaya yang besar itu harus dijelaskan secara detail. Tiga matra, yakni TNI AD, TNI AU, dan TNI AL, harus diajak bermusyawarah untuk menentukan kebutuhannya meski pada akhirnya Kementerian Pertahanan yang akan menjadi eksekutor.
Selain itu, Komisi I DPR juga berencana mengundang Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Keuangan, dan Gubernur Bank Indonesia untuk mengetahui kemampuan fiskal serta moneter Indonesia hingga 2044. ”Apakah betul mampu mengembalikan utang?” kata Effendi.
Secara terpisah, Ketua DPR Puan Maharani saat memberikan kuliah umum di Sekolah Staf dan Komando Angkata Laut (Seskoal), Jakarta, mengatakan, DPR mendukung dan mendorong kebutuhan alutsista harus sesuai dengan karakteristik kewilayahan dan potensi ancaman yang dihadapi.
Puan menyampaikan hal itu sekaligus untuk menanggapi rancangan Perpres Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Tahun 2020-2024 (Alpalhankam). Rancangan itu menuai perhatian luas karena nilai kebutuhannya mencapai lebih dari Rp 1.700 triliun.
”Akan kami bicarakan melalui Komisi I, apa, sih, yang dibutuhkan oleh TNI? Enggak bisa lagi pengadaan alutsista tidak sesuai kebutuhan dan karakteristik wilayah negara,” ujarnya.
Puan menegaskan, pemenuhan kebutuhan alutsista harus disesuaikan degan kebutuhan dan karakteristik negara. ”Harus sesuai karakteristik, potensi ancaman, dan geopolitik,” ujar Puan.
”Sejak peristiwa KRI Nanggala, saya minta dan usulkan agar alutsista apa yang akan kita beli bukan barang bekas,” sambungnya.
Dia menegaskan, DPR mendukung upaya membangun kekuatan TNI untuk melaksanakan pertahanan negara. Menurut Puan, salah satu upaya negara untuk memenuhi ketersediaan peralatan pertahanan adalah dengan memperkuat industri pertahanan sesuai dengan UU No 16/2012 tentang Industri Pertahanan.
Selain itu, Puan melanjutkan, pembangunan pertahanan negara membutuhkan cara pandang geopolitik yang menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan. Karena itu, kebijakan strategis pertahanan negara juga diarahkan pada pembangunan pertahanan maritim Indonesia.
Perlu akuntabilitas
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies Khairul Fahmi mengatakan, soal besaran angka Rp 1.750 triliun yang banyak dibicarakan itu bukan persoalan utamanya. Sebab, yang terpenting ialah bagaimana dana itu dikelola dan dipertanggungjawabkan kepada publik dalam penggunaannya.
”Artinya, tidak perlu Menhan sendiri yang merumuskan. UU telah membentuk KKIP yang salah satu tugasnya adalah menyusun dan merumuskan kebijakan terkait dengan strategi ataupun industri pertahanan. KKIP ini dengan demikian harus dioptimalkan,” ujarnya.
Pelibatan pihak yang lebih luas di KKIP itu juga akan memberikan pandangan yang lebih komprehensif dalam upaya modernisasi alutsista yang saat ini tengah digagas Menhan Prabowo Subianto.
”KKIP ini tempat bertemunya stakeholder dan merumuskan kebijakan di bidang belanja alutsista ini. Dengan informasi yang berkembang belakangan ini, yakni tentang tidak dilibatkannya berbagai pihak dalam perumusan kebijakan itu menunjukkan KKIP tidak optimal. Di dalam KKIP itu, Menhan juga adalah ketua harian dan di dalamnya ada Panglima TNI, Kapolri, dan Bappenas, Menteri Keuangan, hingga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ” ujarnya.
Peneliti senior bidang pertahanan dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan A Laksmana, mengatakan, besarnya biaya untuk pengadaan alutsista itu sesuatu yang wajar. Sebab, dalam prosesnya, pembelian alutsista tidak bisa dibeli satuan atau eceran, tetapi cenderung disyaratkan dalam jumlah besar.
Dengan pembelian dalam jumlah besar itu, Indonesia memiliki nilai tawar lebih tinggi untuk meminta kepada produsen agar dapat dilakukan transfer teknologi, pendampingan, bahkan hingga pembangunan pabrik alutsista di Indonesia. Dengan alasan itu, pembelian alutsista memakan biaya besar.
Sekalipun DPR dalam memeriksa anggaran tidak sampai pada satuan tiga, tetapi Menhan setidaknya memiliki detail item alutsista apa saja yang akan dibeli dengan pembiayaan kredit ekspor itu.
”Jadi, harus penganggaran dan perencanaan yang jelas dalam memproyesikan kebutuhan alutsista kita dalam 20 tahun ke depan. Harus dibedakan pula mana kebutuhan alutsista untuk operasional sehari-hari dan alutsista untuk kebutuhan strategis, misalnya untuk antisipasi perang kawasan,” ucapnya.