Pengadaan Alat Pertahanan Tak Boleh Bebani Keuangan Negara
Pemenuhan kebutuhan alat pertahanan dan keamanan perlu dijaga agar tidak membebani keuangan negara. Pengelolaan anggaran pun harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Oleh
IQBAL BASYARI/RINI KUSTIASIH/ EDNA CAROLINE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemampuan fiskal dan moneter negara diharapkan menjadi pertimbangan dalam pemenuhan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia 2020-2024. Pertimbangan itu penting untuk memastikan pengadaan alat pertahanan dan keamanan tak membebani keuangan negara.
Dalam Rancangan Peraturan Presiden terkait Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia 2020-2024 yang masih dalam pembahasan disebutkan, kebutuhan anggaran untuk pengadaan alat pertahanan dan keamanan (alpahankam) hingga 2044 mencapai 124,995 miliar dollar AS atau setara Rp 1.750 triliun. Kebutuhan anggaran itu salah satunya akan dipenuhi dengan pinjaman luar negeri.
Saat dikonfirmasi seusai rapat kerja dengan Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/6/2021), Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyatakan bahwa rencana tersebut masih dibahas bersama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Keuangan, dan pemangku kepentingan yang lain.
”Sebagaimana diketahui banyak alutsista kita sudah tua, sudah saatnya diganti. Kebutuhan-kebutuhan (alutsista) sangat penting dan kita siap menghadapi dinamika lingkungan strategis yang berkembang dengan sangat pesat,” ujarnya.
Raker Komisi I DPR dengan Menhan Prabowo berlangsung tertutup selama lebih kurang 7 jam. Raker juga dihadiri Wakil Menteri Pertahanan Letnan Jenderal Muhammad Herindra dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Hadir pula Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa, Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, dan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo.
Selain menyampaikan konsep rencana induk pertahanan, dalam raker itu Prabowo juga menjelaskan isu-isu seputar pertahanan dan keamanan lainnya, termasuk Rancangan Perpres Alpahankam yang berisi pemenuhan kebutuhan alpahamkam hingga tahun 2044 dengan biaya setara Rp 1.750 triliun.
Ketua Panitia Kerja Alutsista Komisi I DPR Utut Adianto mengatakan, pada prinsipnya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) setuju dengan rencana pemenuhan alpahankam asalkan tidak membebani keuangan negara, termasuk pemenuhan anggaran melalui skema pinjaman jangka menengah.
Anggota Komisi I dari F-PDIP, Effendi Simbolon, menambahkan, rancangan pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) untuk 25 tahun dengan biaya yang besar itu harus dijelaskan secara detail. Tiga matra, yakni TNI AD, TNI AU, dan TNI AL, semestinya diajak bermusyawarah untuk menentukan kebutuhannya meskipun pada akhirnya Kemenhan yang mengambil keputusan.
Untuk mengetahui kemampuan fiskal dan moneter, Komisi I akan meminta penjelasan dari Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo. ”Apakah betul (pemerintah) mampu mengembalikan utang?” kata Effendi.
Selain itu, menurut anggota Komisi I dari Fraksi Partai Nasdem, Muhammad Farhan, pengadaan alutsista juga harus mempertimbangkan arah kebijakan pertahanan nasional. Semestinya sebelum menyusun rancangan perpres alpahankam, pemerintah lebih dulu mengevaluasi kekuatan pokok minimum (minimum essential force/MEF) alutsista.
Transparansi
Peneliti senior bidang pertahanan dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan A Laksmana, menilai, besarnya biaya untuk pengadaan alutsista merupakan sesuatu hal yang wajar. Sebab, dalam prosesnya, pembelian alutsista tidak bisa dilakukan satuan atau eceran. Umumnya pembelian alutsista disyaratkan dalam jumlah besar sehingga membutuhkan biaya yang besar pula.
Dengan pembelian dalam jumlah besar, Indonesia memiliki nilai tawar lebih tinggi untuk meminta transfer teknologi kepada produsen, bahkan pendampingan dan pembangunan pabrik alutsista di Indonesia.
”Hal yang menjadi masalah ialah sangat jarang ada daftar detail yang disampaikan kepada publik tentang apa saja yang disiapkan sampai 2045. Sebab, ini bukan hanya soal sistem penganggaran, melainkan juga ada transparansi yang harus diterapkan,” katanya.
Sekalipun DPR dalam memeriksa anggaran tidak sampai pada satuan tiga, Menhan setidaknya memiliki detail item alutsista apa saja yang akan dibeli dengan pembiayaan kredit ekspor itu. ”Jadi harus penganggaran dan perencanaan yang jelas dalam memproyeksikan kebutuhan alutsista kita dalam 20 tahun ke depan. Selain itu, perlu dibedakan pula kebutuhan alutsista untuk operasional sehari-hari dengan alutsista untuk kebutuhan strategis, misalnya untuk antisipasi perang kawasan,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, soal besaran angka Rp 1.750 triliun yang banyak dibicarakan itu bukan persoalan utamanya. Sebab, yang terpenting ialah bagaimana dana itu dikelola dan dipertanggungjawabkan kepada publik dalam penggunaannya.
Hal penting lainnya dalam penyusunan rencana induk pertahanan ialah pelibatan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Komite itu menjadi jembatan bagi berbagai pihak terkait untuk merumuskan kebijakan pertahanan nasional. Ini berarti tak perlu Menhan yang merumuskan rencana induk pertahanan, tetapi KKIP.
”KKIP ini tempat bertemunya stakeholder dan merumuskan kebijakan di bidang belanja alutsista ini. Dengan informasi yang berkembang belakangan ini, yakni tentang tidak dilibatkannya berbagai pihak dalam perumusan kebijakan itu menunjukkan KKIP tidak optimal. Di dalam KKIP itu, Menhan juga adalah ketua harian dan di dalamnya ada Panglima TNI, Kapolri, dan Bappenas, Menteri Keuangan, hingga Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ” ujarnya.