Pimpinan Komisi I DPR Sebut Rancangan Perpres Alutsista Rp 1.750 Triliun Ranah Eksekutif
Pertanyaan soal rancangan perpres dan kebutuhan anggaran Rp 1.750 triliun mengemuka di rapat Komisi I DPR dan Menhan. Namun, rancangan perpres itu dianggap domain eksekutif sehingga Komisi I tak detail membahasnya.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat tidak detail membahas mengenai Rancangan Peraturan Presiden tentang Alat Pertahanan Keamanan yang disebut membutuhkan anggaran Rp 1.750 triliun. DPR menganggap rancangan perpres tersebut merupakan ranah eksekutif.
Sebelumnya, Komisi I DPR mengadakan rapat kerja dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (2/6/2021). Rapat diselenggarakan secara tertutup. Agenda utama rapat tersebut ialah pembahasan anggaran Kementerian Pertahanan 2022. Namun, dalam kesempatan itu, para anggota DPR juga mendengarkan keterangan Menhan mengenai informasi yang beredar soal anggaran Rp 1.750 triliun yang berasal dari utang luar negeri. Utang dengan skema kredit ekspor itu diusulkan untuk memenuhi kebutuhan modernisasi alutsista hingga 2044.
Wakil Ketua Komisi I dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Abdul Kharis Almasyhari, Kamis (3/6/2021), mengatakan, dalam rapat dengan Menhan Prabowo, terungkap pengajuan anggaran untuk Kemenhan Rp 244 triliun. Itu adalah gambaran kebutuhan kementerian untuk satu tahun anggaran.
Jumlah kebutuhan anggaran itu turun dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai Rp 300 triliun. Namun, dari jumlah Rp 244 trilun yang diajukan itu, pagu anggaran yang diindikasikan untuk dipenuhi pemerintah atau pagu indikatif Rp 125 triliun.
”Dalam rapat kemarin, kami lebih banyak membahas anggaran 2022. Tidak ada itu anggaran di 2022 dengan jumlah Rp 1.750 triliun. Kalaupun ada pengajuan itu, tentu harus dimasukkan dalam usulan anggaran ke DPR. Tetapi, ini tidak ada angka itu. Bahkan, pagu indikatif Kemenhan turun tahun ini,” ucap Kharis.
Seperti diberitakan, dalam Raperpres terkait Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia 2020-2024 yang masih dalam pembahasan, disebutkan bahwa kebutuhan anggaran untuk pengadaan alat pertahanan dan keamanan (alpahankam) hingga 2044 mencapai 124,995 miliar dollar AS atau setara Rp 1.750 triliun. Kebutuhan anggaran itu salah satunya akan dipenuhi dengan pinjaman luar negeri (Kompas, 3/6/2021).
Menurut Kharis, pertanyaan soal raperpres dan perkiraan anggaran Rp 1.750 triliun itu memang mengemuka di rapat. Namun, ketentuan soal raperpres itu adalah domain eksekutif atau presiden. Oleh karena itu, Komisi I DPR tidak secara detail membahas hal tersebut.
Pembuatan raperpres itu sendiri, lanjutnya, tidak harus mendapatkan persetujuan DPR karena itu merupakan aturan yang dibuat oleh presiden atau eksekutif. Berbeda dengan undang-undang (UU) yang harus mendapatkan persetujuan DPR, penyusunan raperpres adalah domain eksekutif.
”Itu pun masih rencana. Iya kalau disetujui presiden, lha, kalau tidak bagaimana? Kira-kira begini, ini, kan, orang lagi buat proposal, ternyata ketahuan sama orang lain. Sementara proposal itu belum tentu disetujui oleh presiden. Kita di DPR tidak maulah membahas sesuatu yang masih sumir begitu,” ucapnya.
Baru rencana
Draf raperpres versi Maret 2021 yang diterima Kompas terdiri atas 10 pasal. Di Pasal 2 disebutkan, menteri menyusun rencana kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) Kemenhan dan TNI tahun 2020 hingga 2044. Pengadaannya dilaksanakan tahun 2020 sampai 2024. Ini berarti pengadaan lima rencana strategis (renstra) atau 25 tahun dipadatkan dalam waktu dua setengah tahun.
Masih di Pasal 3, di angka ke-3 disebutkan, dari total kebutuhan itu, telah dialokasikan 20,747 miliar dollar AS di Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah Khusus Tahun 2020-2024. Dengan demikian, ada selisih kebutuhan yang belum terpenuhi sebesar 104,247 miliar dollar AS. Di Pasal 6 disebutkan, pemenuhan anggaran ini lewat pinjaman luar negeri yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan.
Menanggapi hal ini, Kharis mengatakan, sebagai sebuah proposal atau rencana, raperpres yang disusun Kemenhan itu boleh-boleh saja dan tidak ada yang melarang. Namun, isi raperpres itu merupakan domain eksekutif.
Kalaupun ada anggaran yang dibutuhkan dalam pelaksanaan raperpres itu, mestinya dimunculkan di anggaran yang diajukan ke DPR. Namun, pada kenyataannya, rencana kebutuhan yang diajukan ke DPR justru turun dari tahun sebelumnya.
Secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Effendi Simbolon, mengatakan, DPR pada dasarnya sepakat ada modernisasi alutsista. Kondisi alutsista memang perlu mendapatkan perhatian karena kondisi alutsista umumnya sudah tua.
Namun, perencanaan pengadaan ini harus jelas skema pembayaran dan penganggarannya. Pelibatan semua pihak, terutama tiga matra TNI, harus pula menjadi pertimbangan dalam penyusunan skenario modernisasi alutsista sebab merekalah yang akan menggunakan alutsista itu di lapangan.
”Di dalam rapat, pelibatan mereka juga saya tanyakan, dan karena tidak putus, kami akan undang Menteri Keuangan, Bappenas, untuk bisa tahu frame-nya (kerangka) seperti apa,” ucapnya.
Effendi juga mempertanyakan dasar hukum pengadaan alutsista yang berupa perpres, bukan berupa UU. Pengaturan rencana induk pertahanan melalui pengadaan alutsista dinilai tidak cukup kuat jika hanya diatur dalam prepres.
”Apakah perpres kuat menjadi dasar hukum bagi sebuah keputusan politik yang sarat dengan hal-hal yang sangat kompleks. Karena di situ negara melakukan pinjaman ke luar negeri selama kurun waktu 25-28 tahun untuk pengadaan dengan sekian jumlah peralatan keamanan dan pertahanan,” katanya.
Karena berupa perpres, lanjutnya, risikonya pun lebih besar bagi pemerintah nanti. Sebab, ketika presiden berganti dan ada perubahan kebijakan, perpres itu belum tentu dilanjutkan atau disetujui oleh presiden selanjutnya. Hal ini dikhawatirkan berdampak sistemik pada proses pengadaan alutsista yang telanjur berjalan. Sekalipun masih berupa rencana, Effendi mengharapkan rencana itu dijabarkan dengan detail disertai skema pembayaran yang jelas.
”Beliau selalu berkata, ini, kan, enggak mengganggu APBN. Siapa bilang tidak membebani, wong namanya utang, kok. Kamu utang, terus seluruh rakyat Indonesia sampai 2044 harus bayar, masa enggak membebani?” ujarnya.
Bahas terbuka
Peneliti senior bidang pertahanan pada Centre for International Studies (CSIS) Jakarta, Evan A Laksmana, mengatakan, raperpres yang cenderung tertutup sangat disayangkan. Ketika informasi itu diketahui publik separuh-separuh, hal itu justru menimbulkan keraguan di benak publik.
”Seolah ada mitos, kalau membahas pembelian senjata harus rahasia. Padahal, yang harus dirahasiakan itu rencana operasi dan taktik perangnya. Kalau beli senjata, ya, sebaiknya terbuka karena pasti itu melibatkan defence company, yang itu juga perusahaan terbuka, dan di pasaran dunia, orang akan mengerti berapa harganya. Ada pula laporannya yang terbuka,” tuturnya.
Pembahasan raperpres yang terkesan tertutup, termasuk ketika raker antara Menhan Prabowo dan DPR, lanjut Evan, justru berbahaya bagi DPR. Sebab, ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dari kebijakan itu, DPR bisa disalahkan karena terkesan menyetujui dalam rapat tertutup.
”Seharusnya dibahas terbuka, item yang dibeli dan perusahaan mana yang menjadi penyedia itu harus terbuka, serta mekanisme pembayarannya bagaimana, itu tidak boleh tertutup. Kenapa harus tertutup, karena itu kan uang negara yang dipakai, jadi harus ada pertanggungjawabannya,” ujarnya.
Tidak hanya dalam hal pembelian senjata, strategi pertahanan negara juga seharusnya merupakan dokumen terbuka. Sejak Reformasi, kata Evan, ada buku putih pertahanan, doktrin pertahanan, dan strategi pertahanan, yang setiap tahun dikeluarkan. Selain itu, ada pula evaluasi kebijakan umum pertahanan negara yang diluncurkan tahunan.
”Namun, sejak 2020, tidak ada lagi dokumen semacam itu yang bisa diakses. Ada dua kemungkinan, dokumen itu dibuat tetapi tidak disampaikan terbuka kepada publik atau, kedua, dokumen itu memang tidak dibuat,” ucapnya.