”Sewu Kuto” dan Kematangan Naluri Politik Megawati
Ketua Umum PDI-P menjadi penentu capres yang akan diusung partai itu pada Pilpres 2024. Kematangan naluri politiknya kembali diuji dengan munculnya nama sejumlah kader PDI-P dalam bursa pencalonan presiden.
Masih melekat dalam ingatan, pertengahan Februari 2020, di sebuah hotel di Semarang, Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menyanyikan lagu ”Sewu Kuto” karya Didi Kempot di hadapan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan putrinya, Puan Maharani. Kedua trah Soekarno itu pun terlihat senang dengan penampilan Ganjar karena kebetulan menyukai lagu-lagu Didi Kempot.
Ganjar yang juga Gubernur Jateng itu didaulat menyanyi di malam sebelum Puan menerima penghargaan doctor honoris causa (Dr HC) dari Universitas Diponegoro. Sembari bernyanyi, Ganjar menggerakkan badan mengikuti irama lagu. Audiens terlihat senang, Megawati dan Puan pun tersenyum melihat aksi Ganjar.
”Umpamane kowe uwis mulyo (seandainya engkau telah hidup mulia)/ Lilo aku lilo (rela aku rela)/ Yo mung siji dadi panyuwunku (cuma satu pintaku)/ Aku pengin ketemu (aku ingin bertemu)/ Senajan waktumu mung sedhela (walaupun waktumu sempit)/ Kanggo tombo kangen jroning dodo (untuk pelipur kangen di dalam dada),” senandung Ganjar waktu itu.
Bait lagu ”Sewu Kuto” seolah mengingatkan peristiwa yang baru-baru ini terjadi di internal PDI-P. Ganjar tak diundang pada acara pembukaan pameran Foto Esai Marhaen dan Foto Bangunan Cagar Budaya di Kantor DPD PDI-P Jateng di Kota Semarang, Sabtu (22/5/2021). Selain pengurus partai dan kader yang menjabat kepala daerah di Jateng, acara itu juga dihadiri Puan Maharani.
Baca juga : Kontestasi Internal PDI-P Menghangat
Peristiwa itu tentu mengundang banyak spekulasi. Apalagi, Ganjar menjadi satu-satunya kepala daerah dari PDI-P yang tak diundang. Ketua DPD PDI-P Jateng Bambang Wuryanto pun membenarkan bahwa Ganjar tak diundang. ”Tidak diundang! (Ganjar) Wis kemajon (kelewatan). Yen kowe pinter, ojo keminter (meskipun pintar, jangan sok pintar).” Saat dikonfirmasi, Ganjar membenarkan bahwa dirinya tak diundang. ”Iya (tidak diundang),” katanya lewat pesan singkat, Minggu (23/5/2021) (Kompas, 24 Mei 2021).
Bambang Pacul pun kemudian menjelaskan, DPD PDI-P Jateng menilai Ganjar terlalu berambisi dengan jabatan presiden. Hal itu dinilai tidak baik karena sampai saat ini Megawati selaku pemilik hak prerogatif dalam menentukan calon presiden dari PDI-P belum mengeluarkan instruksi apa pun. Semua kader juga wajib tegak lurus pada perintah ketua umum.
Menurut Bambang, ambisi Ganjar, antara lain, terlihat dari tingginya intensitas Ganjar di media sosial dan media. Bahkan, Ganjar sampai rela jadi host di kanal media sosialnya di Youtube. Padahal, hal serupa tak dilakukan oleh kader PDI-P lain yang juga dinilai berpotensi untuk ”nyapres”. Menurut dia, kader PDI-P lain itu bukannya tak bisa seperti Ganjar, tetapi tak berani karena belum mendapat perintah dari Ketua Umum PDI-P.
”Wis tak kode sik (Sudah saya beri sinyal). Kok soyo mblandang (kok tambah kelewatan), ya tak rodo atos (ya, saya agak keras). Saya di-bully di medsos (media sosial), ya bully saja. Saya tidak perlu jaga image saya,” tutur Bambang lagi.
Sementara pada acara itu, Puan mengingatkan kader yang layak diusung dalam pemilihan presiden adalah mereka yang benar-benar bekerja untuk rakyat. ”Pemimpin itu, menurut saya, ke depan (yakni) yang memang ada di lapangan, bukan hanya di medsos. Pemimpin yang memang dilihat sama teman-temannya, sama orang-orangnya, yang mendukungnya di lapangan. Medsos dan media perlu, tetapi bukan itu saja, memang nyata kerjanya di lapangan,” ujar Puan.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, belakangan, menegaskan, persoalan itu hanya dinamika internal biasa dan sudah selesai. Sesuai amanat Kongres V tahun 2019, penetapan capres menjadi hak prerogatif Megawati selaku ketua umum.
Saat ini, seluruh kader fokus membangun soliditas dan bersama-sama mengatasi pandemi Covid-19. Kontestasi 2024 masih jauh dan PDI-P tidak akan terburu-buru bersikap. ”Riak-riak kecil biasa di internal PDI-P. Namanya juga partai yang menggunakan kata demokrasi,” kata Hasto.
Baca juga : Kader PDI-P Diminta Jaga Soliditas
Ganjar pun menegaskan tidak ada persoalan dengan Puan. Bahkan, ia menyampaikan penghormatan dan penghargaan untuk Puan yang telah banyak membantunya dalam pemenangan Pemilihan Gubernur Jateng tahun 2013. Ia, bahkan, menyebut Puan sebagai komandan tempur yang membawa PDI-P memenangi pertarungan di Jateng.
Fenomena Joko Widodo
Meski dianggap selesai, peristiwa Semarang tetap mengingatkan kejadian yang menimpa Joko Widodo menjelang pemilu tahun 2014. Jokowi yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta disebut-sebut bakal dicalonkan PDI-P sebagai capres 2014-2019. Meski elektabilitas tergolong tinggi, mantan Wali Kota Solo itu tidak langsung mendapatkan dukungan para pengurus dan kader PDI-P.
Pergulatan di internal partai terasa begitu keras kala itu. Jokowi sempat dimusuhi dan kurang disukai sejumlah kader garis keras pendukung Megawati. Maklum, saat itu, sebagai Ketua Umum PDI-P, Megawati diharapkan maju sebagai capres. ”Jokowi sempat enggak boleh ke Kebagusan (rumah pribadi Megawati),” ungkap seorang mantan anggota staf Tim Transisi Jokowi-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014 kepada Kompas, belum lama ini.
Seorang lingkar dalam Presiden Jokowi yang mengikuti seluruh proses pencalonan menceritakan, ”Menang atau kalah, waktu itu kader bersikeras dan ngotot, apa pun Bu Mega harus maju sebagai calon presiden. Itulah rasa kecintaan kader. Jangan heran kalau Pak Jokowi sempat kurang disukai.”
Seperti halnya partai-partai lain, sejak 2013, dinamika politik di internal PDI-P memang relatif keras. Di satu sisi, kader dan pengurus PDI-P memiliki kebanggaan jika Megawati yang pernah menjadi Presiden RI dapat maju lagi dan menang. Namun, di sisi lain, Megawati sendiri sudah memberi isyarat tidak akan maju dan menyerahkan ke capres lain.
”Sebagian kader PDI-P waktu itu menganggap kalah pemilihan presiden soal belakangan. Yang penting Bu Mega maju dulu pada Pilpres 2014 untuk mengangkat citra dan meraih kejayaan PDI-P seperti periode 1998-2001. Pak Jokowi, selain belum dikenal luar dalam, juga belum bisa diterima sepenuhnya oleh PDI-P. Padahal, dalam delapan kali survei yang diadakan PDI-P, nama Jokowi paling unggul, bahkan di atas calon lain, termasuk nama Bu Mega,” tutur sang tokoh lainnya yang kini menjadi pejabat di era Presiden Jokowi.
Berkali-kali Megawati menegaskan kewenangannya untuk menentukan capres, sesuai dengan hasil rapat kerja nasional (rakernas). Ia juga berhak menentukan kapan akan menetapkan dan mengumumkan capres maupun cawapres yang diusung PDI-P. ”Rakernas partai menyerahkan keputusan penentuan (capres) kepada saya. Rakernas memang meminta capres ditentukan setelah pemilu legislatif. Namun, sebagai ketua umum yang oleh kongres partai diberi hak prerogatif, waktu penentuan calon menjadi hak saya sepenuhnya,” kata Megawati di GOR Satria, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jateng, pertengahan Februari 2014 (Kompas, 17/2/2014).
Saat itu, Megawati masih merahasiakan waktu pengumuman capres. Terkait alternatif nama capres yang akan diajukan, Megawati menuturkan bisa saja partai melihat nama-nama alternatif. ”Tetapi, kembali, tentunya pilihan saya itulah yang paling utama,” ujarnya saat itu.
Meski masih merahasiakan, sebenarnya Megawati sudah memberikan sinyal Jokowi-lah yang akan diusung sebagai capres. Dalam Rakernas III di Jakarta, 6 September 2013, misalnya, Jokowi didaulat untuk membacakan dedication of life, penggalan surat Bung Karno yang ditulis 10 September 1966, berisi semangat pengabdian Soekarno untuk rakyat dan bangsa tercintanya.
Megawati dalam pidatonya di rakernas menjelaskan alasan Jokowi membacakan dedication of life tersebut. ”Katakanlah itu sebuah makna sebuah regenerasi secara alami di PDI-P dan pasti berlanjut,” katanya yang langsung disambut tepuk tangan sekitar 1.300 peserta rakernas.
Seusai pembukaan rakernas, kepada pers, Megawati mengatakan nama capres tak perlu disebutkan. Prioritas PDI-P adalah mengamankan target perolehan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional agar bisa mengusung pasangan capres dan cawapres sendiri.
Sementara itu, Jokowi menolak berkomentar atas sinyal yang disampaikan Megawati dan peserta rakernas. ”Apa? Ada apa? Sudah bolak-balik saya sampaikan, kalau masalah politik, capres, tanya Ibu Ketua Umum atau partai. Kalau tentang Jakarta, tanya saya,” kata Jokowi tersenyum.
Setelah acara itu, Jokowi terlihat semakin sering menghadiri acara bersama Megawati. Hampir setiap akhir pekan dia pergi untuk acara PDI-P. Pada 12 Maret 2014, misalnya, Jokowi bersama Megawati berkunjung ke Blitar, Jawa Timur, untuk berziarah ke makam Bung Karno.
Dua hari kemudian, Megawati mengeluarkan surat perintah harian berisi dukungan kepada Jokowi sebagai capres PDI-P. Surat perintah itu dibacakan Puan selaku Ketua Badan Pemenangan Pemilu PDI-P.
”Dengan mengucapkan bismillahir-rahmanir-rahim, saya siap melaksanakan,” ucap Jokowi di depan Rumah Si Pitung pada 14 Maret 2014, tepat pukul 14.45. Setelah itu, ia pun mencium bendera Merah Putih yang berada di tempat itu (Kompas, 15/3/2014).
Pertaruhan lebih besar
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, pergulatan dalam penentuan capres di PDI-P sebenarnya sudah pernah dilalui pada 2014. Bahkan, ketika itu pertaruhannya jauh lebih besar karena Megawati masih diproyeksikan maju sebagai capres. Namun, ternyata Megawati tidak memilih dirinya sendiri dan legawa dengan memilih orang lain.
”Di sini dapat dilihat basis argumentasi atau indikator apa sih yang dilihat oleh Bu Mega ketika ia memutuskan seorang calon presiden. Artinya, dengan pengalaman 2014, tidak serta-merta darah biru menjadi variabel utama,” kata Yunarto.
Peristiwa 2014 itu menunjukkan kematangan Megawati sebagai politikus. Ia bahkan sudah bisa melihat kelebihan pada diri orang lain yang potensial menjadi capres. ”Titik kritis sebenarnya pada 2014 itu telah terlewati oleh PDI-P karena saat itu pertaruhannya langsung dengan Bu Mega sendiri, bukan orang lain. Bu Mega terbukti sangat matang sebagai politisi,” ujarnya menambahkan.
Ketika memilih Jokowi sebagai capres, menurut Yunarto, Megawati menerjemahkan ideologi marhaenisme Soekarno secara lebih luas. Megawati tidak membacanya dalam konteks ”darah biru”, tetapi juga melihat variabel lain, seperti rekam jejak serta karakter seseorang.
Selain itu, Megawati melihat variabel taktis, yakni dengan memperhatikan elektabilitas seorang kandidat. Sebagai parpol, PDI-P tentu akan memilih capres dengan elektabilitas atau kemungkinan memenangi kontestasi tinggi.
Kini, pertanyaannya, mungkinkah fenomena Ganjar sama dengan Jokowi? Sejumlah kader PDI-P menyatakan Ganjar tak bisa disamakan dengan Jokowi di era 2014. Pasalnya, ketika itu Jokowi adalah sosok kepala daerah dan pengusaha yang sudah menjadi ”somebody” di luar partai dan dinilai berprestasi dalam kinerjanya.
Jokowi, yang berpengalaman memimpin kota dan provinsi, punya rekam jejak yang baik. Dukungan sebagian besar publik saat itu juga relatif tinggi. Tak hanya survei internal PDI-P, survei Litbang Harian Kompas dan lembaga survei lainnya menunjukkan tingginya derajat keterpilihan Jokowi.
Hasil survei PDI-P, Litbang Harian Kompas, serta sejumlah lembaga survei dan lainnya juga menunjukkan elektabilitas Jokowi. Karena itu, PDI-P wajar meminang Jokowi. Sebaliknya, Ganjar adalah kader tulen di PDI-P, yang bisa duduk di posisi anggota legislatif maupun eksekutif karena sokongan partai. ”Hal ini beda dengan Jokowi dulu,” kata salah satu kader senior PDI-P.
Masih ada waktu sekitar tiga tahun bagi kader-kader dari berbagai partai untuk mematangkan diri, termasuk dari PDI-P. Kiranya siapa yang akan muncul dari konsolidasi politik antarparpol untuk menjadi capres-cawapres masih harus menunggu masa pematangan, tak terkecuali Ganjar.
Dalam masa-masa menunggu itu, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah momen keakraban seperti saat Ganjar menyanyi di depan Megawati dan Puan dengan tanpa beban itu akankah terulang? Akankah ”Sewu Kuto” tanda setia itu kembali dilantunkan? ”Umpamane kowe uwis mulyo/ Lilo aku lilo/ Yo mung siji dadi panyuwunku/ Aku pengin ketemu....