Pilkada langsung yang sudah belasan tahun dipraktikkan di Tanah Air memberikan dua sisi dampak: positif dan negatif. Lantas, apa yang perlu dilakukan?
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai turunan dari pelaksanaan otonomi daerah telah meningkatkan partisipasi rakyat, meningkatkan kesejahteraan, serta memunculkan calon pemimpin negeri ini. Namun, pemilihan kepala daerah secara langsung juga memiliki sisi lain, yakni juga memberikan masalah bagi kehidupan bernegara.
Dampak negatif itu, antara lain, praktik politik uang, pembelian suara (vote buying), mahar politik, dan independensi penyelenggara pemilu.
Kelindan antara hasil positif dari pilkada langsung yang diikuti munculnya dampak negatif itu terungkap dalam diskusi daring bertajuk ”Pilkada Langsung dan Demokrasi Lokal” yang diselenggarakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Rabu (2/6/2021).
”Saya ingat ketika UU Pilkada dibentuk, semangatnya agar daerah-daerah itu memiliki kepala-kepala daerah yang mumpuni, yang berkualitas, dan mampu membangun daerahnya. Dan, dengan pemilihan langsung itu, partisipasi masyarakat lebih besar untuk memilih pemimpinnya,” kata peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro.
Siti mengatakan, pilkada langsung hadir karena penerapan otonomi daerah. Melalui pilkada langsung, kepala daerah kemudian diharapkan menerapkan nilai-nilai demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya. Sejalan dengan itu, pelaksanaan pemilu diharapkan semakin berkualitas. Partai politik (parpol) menjalankan fungsinya sebagai salah satu pilar demokrasi, penyelenggara pemilu makin berkualitas, dan masyarakat menjadi pemilih yang cerdas.
Namun, kondisi saat ini memperlihatkan parpol yang tidak efektif menjalankan fungsi kaderisasi, kesadaran politik rakyat pemilih belum memadai, masalah independensi dari penyelenggara pemilu, isu netralitas aparatur sipil negara, hingga politik transaksional.
Berdasarkan hal itu, menurut Siti, ia yang dulu sangat mendukung pilkada langsung, kini berubah sikap. Setelah 15 tahun menjalankan pilkada langsung, dampak negatif atau harga yang harus dibayar dinilainya sangat besar.
”Kita tercerabut dari budaya kita. Tidak hanya minus Pancasila, tetapi nilai pilkada juga tidak ada lagi karena menghalalkan segala cara. Dampaknya luar biasa. Kalau prospek dan dampaknya positif itu membangun peradaban. Tapi, kalau malah menghabisi peradaban, lebih baik kita jeda dulu,” ujar Siti.
Siti berpendapat, demokrasi langsung memerlukan dasar berupa masyarakat berpendidikan tinggi serta diperuntukkan bagi masyarakat berciri individual dan kritis. Sementara sebagian besar masyarakat Indonesia tidak berpendidikan tinggi dan berciri komunal-permisif.
Di sisi lain, parpol yang diharapkan menjadi tempat munculnya calon-calon pemimpin tampak tidak mereformasi diri. Sistem merit tidak berjalan, sebaliknya yang berkembang adalah politik kekerabatan dan dinasti politik. Melihat itu semua, menurut Siti, kebijakan desentralisasi perlu dievaluasi.
Namun, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J Vermonte berpandangan, pilkada langsung tidak bisa dilepaskan dari desentralisasi. Selama desentralisasi berjalan, secara relatif terjadi peningkatan tata kelola pemerintahan di daerah, termasuk mendorong kebijakan populis. Meski ekonomi di daerah juga turut meningkat, ketimpangan juga naik.
”Bagaimana mendapatkan calon pemimpin dan proses pencalonan itu yang harus diperbaiki karena itu pintu masuk untuk menyusun kebijakan publik ketika mereka masuk ke pemerintahan,” kata Philips.
Menurut Philips, perubahan UU yang terlalu sering berdampak tidak adanya pengalaman yang lebih panjang mengenai dampak positif dan negatif dari sebuah peraturan. Padahal, sebagaimana terjadi di tempat lain, UU tentang pemilu akan menghasilkan perilaku politik tertentu. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar sebuah peraturan tentang pemilu digunakan setidaknya untuk lima kali pemilu.
Mengenai pilkada langsung, lanjut Philips, mekanisme tersebut dibutuhkan setidaknya untuk pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota. Sebab, berbagai persoalan konkret hanya dapat diatasi oleh unit pemerintahan yang kecil. Semisal, ketika terjadi bencana alam, pemerintah daerah yang mesti pertama kali merespons. Untuk itu, justru pemerintah kabupaten atau kota harus diperkuat.
Fungsionaris Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Antonius J Supit, berpandangan, dari sisi pelaku usaha, otonomi daerah berarti memindahkan kewenangan dari pusat ke daerah untuk menyejahterakan rakyat. Untuk menyejahterakan, cara yang paling efektif adalah menyediakan lapangan kerja.
Selama ini, kepala daerah berharap investasi masuk ke wilayahnya dengan menawarkan sumber daya alam yang dimiliki. Namun, semestinya yang dilakukan kepala daerah adalah menawari investor untuk datang karena tata kelola pemerintahan yang baik.
”Perusahaan hanya bisa survive kalau punya daya saing. Daya saing kita itu lebih banyak ditentukan kepala daerah. Dan, korupsi membuat unfair treatment dan unfair business. Ini membuat daya saing kita kedodoran,” ujar Anton.
Namun, lanjut Anton, otonomi daerah bukan satu-satunya penentu. Pada masa lalu, sebelum otonomi daerah diterapkan, terdapat figur-figur kepala daerah yang berhasil membangun wilayah, seperti Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo berpandangan, sebagai kepala daerah yang bukan berasal dari kader parpol, ia melihat bahwa parpol memegang peran kunci untuk melahirkan calon pemimpin. Oleh karena itu, parpol perlu dibenahi agar benar-benar menjalankan fungsinya, yakni melahirkan calon pemimpin.
”Saya melihat kader-kader di partai ini bukan orang yang mumpuni. Kalau tidak bicaranya hanya soal uang. Kalau mau parpol baik, maka perlu insentif bagi parpol, jangan dibiarkan,” ujar Nelson.