Ketika ”Rahasia Negara” Jadi Dalih…
Dengan dalih akan membahas strategi pertahanan negara, pihak Kemenhan meminta rapat kerja bersama Komisi I DPR diselenggarakan secara tertutup. Padahal, di rapat itu dibahas anggaran Rp 1.750 triliun untuk alutsista.
Rapat kerja Komisi I DPR dengan Kementerian Pertahanan, Senin (31/5/2021), digelar secara tertutup. Keputusan itu diambil setelah pihak Kemenhan beralasan bahwa yang dibahas terkait strategi dan kebijakan umum pertahanan negara sehingga itu tergolong rahasia negara.
Selain itu, rapat kerja ini juga diubah menjadi rapat dengar pendapat umum atau RDPU karena Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Panglima TNI selaku pengguna anggaran tidak hadir pada rapat tersebut.
Padahal, publik telah menantikan penjelasan terkait sejumlah isu pertahanan yang berkembang dalam beberapa waktu terakhir. Salah satunya tenggelamnya KRI Nanggala-402 pada April 2021 yang menguak lemahnya alat utama sistem persenjataan (alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang menjadi pembicaraan dan keprihatinan banyak pihak.
Rapat kerja ini juga diubah menjadi rapat dengar pendapat umum atau RDPU karena Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Panglima TNI selaku pengguna anggaran tidak hadir pada rapat tersebut.
Belakangan, beredar pula dokumen rancangan peraturan presiden tentang modernisasi alutsista. Dalam dokumen itu dijelaskan bahwa Kementerian Pertahanan (Kemenhan) berencana untuk memenuhi kebutuhan alutsista sepanjang 25 tahun ke depan dalam waktu dua setengah tahun atau sampai tahun 2024. Kebutuhan finansialnya mencapai 124,997 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 1.750 triliun jika dihitung dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS.
Beragam tanggapan dan asumsi muncul dari berbagai pihak. Namun, belum ada penjelasan dari Kemenhan untuk menjawab keingintahuan publik. Rapat dengar pendapat umum (RDPU) atau rapat kerja antara Komisi I DPR dan Kemenhan yang jadi salah satu kanal untuk bisa mendengarkan penjelasan terkait pun tak bisa diandalkan. RDPU terakhir di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (31/5/2021), yang diagendakan mengundang Menhan Prabowo Subianto digelar tertutup.
Baca juga: Anggaran Fantastis Modernisasi Alutsista
Saat membuka rapat kerja, Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Abdul Kharis Almasyhari menyampaikan, rapat akan membahas lima poin, di antaranya strategi dan kebijakan umum pertahanan negara tahun 2020—2024, perkembangan kekuatan pokok minimal (minimum essential force/MEF) 2020—2024, dan perkembangan situasi dan kondisi keamanan Papua dan Papua Barat.
Selain itu, rapat juga akan membahas peran dan fungsi intelijen militer dalam mengamankan wilayah perbatasan, serta isu seputar pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional.
Sebagai pimpinan rapat, Kharis kemudian mempersilakan pihak Kemenhan untuk menyampaikan materi tersebut. Ia kemudian memberikan pilihan, penjelasan bisa disampaikan secara terbuka atau tertutup untuk publik.
Kami memohon rapat secara tertutup. Masalah strategi itu, kan, menyangkut (rahasia negara). Kalau bisa pimpinan rapat, sebaiknya untuk rapat hari ini kita laksanakan secara tertutup. (Herindra)
Menanggapi tawaran Kharis, Wakil Menteri Pertahanan Letnan Jenderal Muhammad Herindra mengatakan, pihaknya meminta agar rapat diadakan secara tertutup. Dengan demikian, masyarakat dan wartawan tak dapat mengikutinya.
”Kami memohon rapat secara tertutup. Masalah strategi itu, kan, menyangkut (rahasia negara). Kalau bisa pimpinan rapat, sebaiknya untuk rapat hari ini kita laksanakan secara tertutup,” kata Herindra.
Kharis pun menyetujui permintaan tersebut setelah menanyakan pendapat anggota Komisi I DPR lainnya. Namun, ia kembali memastikan, apakah ada bagian dari penjelasan yang bisa disampaikan secara terbuka. Herindra tak menjawab. Rapat pun diputuskan digelar secara tertutup.
Baca juga: Kedepankan Akuntabilitas dalam Pengadaan Alat Pertahanan
Ketidakhadiran Prabowo
Praktis hanya sekitar 13 menit dinamika rapat yang bisa diketahui publik. Selama itu, ketidakhadiran Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pun memperoleh sorotan. Sementara yang hadir pada rapat itu, selain Wamenhan Herindra, adalah Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) TNI Jenderal Andika Perkasa, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono, dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Madya Fadjar Prasetyo.
Sebelum akhirnya rapat diselenggarakan secara tertutup, anggota Komisi I dari Fraksi PDI-P, Effendi Simbolon, mengingatkan bahwa agenda pertemuan yang diadakan dengan Kemenhan adalah rapat kerja. Namun, karena Menhan dan Panglima TNI sebagai pengguna anggaran tidak hadir, sebaiknya rapat diubah menjadi rapat dengar pendapat umum (RDPU).
Saat itu, Effendi mengatakan, kehadiran Menhan dan Panglima TNI dibutuhkan agar rapat bisa menghasilkan keputusan politis. Sejumlah pertanyaan yang diajukan juga ditengarai tak bisa dijawab langsung oleh Wamenhan karena harus ditanyakan dulu kepada Menhan.
Ia pun mengusulkan agar pembahasan ditunda pada Rabu (2/6/2021) besok. Pada hari tersebut, Komisi I mengagendakan kembali rapat kerja, dengan harapan Prabowo dan Hadi akan datang. ”Mudah-mudahan Menhan dan Panglima benar-benar hadir, jangan alasan rapat terbatas atau rapat apa pun namanya. Di sini juga penting, kok. Bukan hanya di Istana yang penting,” kata Effendi.
Menurut Effendi, pertahanan negara merupakan perihal penting dan strategis untuk dibahas. Oleh karena itu, ia ingin bertemu dan mendengarkan penjelasan langsung dari Menhan. ”Hampir setahun kita tidak pernah bertemu dengan Menhan di sini,” katanya.
Baca juga: Rp 1.750 Triliun untuk Alutsista
Dikonfirmasi seusai rapat, Effendi mengatakan, rapat hari Senin itu semestinya memang dihadiri Prabowo Subianto. Sebab, Komisi I ingin meminta penjelasan tentang rencana induk pertahanan selama 25 tahun ke depan yang membutuhkan dana sekitar Rp 1.750 triliun dari pinjaman luar negeri. Apalagi, rencana tersebut akan dituntaskan dalam dua setengah tahun ke depan.
Selain itu, menurut Effendi, penyusunan rencana induk terkesan eksklusif, tidak melibatkan Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan (Musrenbang) TNI. Dalam rapat tertutup, diungkapkan Effendi, baik KSAD, KSAL, maupun KSAU mengaku tidak tahu dan tidak ikut dalam pembahasan rencana induk tersebut.
”Kenapa pembahasan (rencana induk) ini sangat eksklusif. Kami juga ingin tahu seperti apa gambaran besar rencana induk pertahanan itu, bagaimana sistem pembiayaannya,” ujarnya.
Effendi melanjutkan, Komisi I juga sudah menanyakan hal itu kepada Herindra. Akan tetapi, jawabannya sebatas apa yang diketahui dan masuk dalam kewenangannya. Sisanya akan dijawab Prabowo pada rapat Rabu mendatang.
Dikonfirmasi seusai rapat, Effendi mengatakan, rapat hari Senin itu semestinya memang dihadiri Prabowo Subianto. Sebab, Komisi I ingin meminta penjelasan tentang rencana induk pertahanan selama 25 tahun ke depan yang membutuhkan dana sekitar Rp 1.750 triliun dari pinjaman luar negeri. (Anggota Komisi I)
Rahasia negara
Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Al Araf menilai, ”rahasia negara” merupakan dalih yang kerap digunakan untuk menutupi dugaan penyimpangan anggaran, terutama dalam pembelian alutsista. Semakin sering digunakan dalam pembahasan isu pertahanan, publik bisa saja semakin mencurigai adanya ketidakwajaran.
”Rahasia negara”, menurut Araf, merujuk pada sejumlah informasi yang dikecualikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Dalam Pasal 17 UU KIP dijelaskan, setiap badan publik wajib membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik untuk mendapatkan informasi publik, kecuali yang termasuk dalam 10 kluster.
Baca juga: Kualitas Alutsista Pengaruhi Prajurit
Salah satunya, dalam Pasal 17 poin c, adalah informasi publik yang apabila dibuka dapat membahayakan pertahanan dan keamanan negara, antara lain, strategi, intelijen, operasi, taktik, dan teknik yang berkaitan dengan keamanan negara, meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengakhiran atau evaluasi dalam kaitan dengan ancaman dari dalam dan luar negeri.
Oleh karena itu, Araf meminta pemerintah dan DPR terbuka untuk menjelaskan kebijakannya kepada publik. Termasuk soal rencana induk alutsista 25 tahun ke depan, yang membutuhkan dana sekitar Rp 1.750 triliun. Menurut rencana, dana tersebut akan didapatkan dari pinjaman luar negeri. Artinya, akan dibayarkan oleh rakyat melalui pajak.
”Rahasia negara” merupakan dalih yang kerap digunakan untuk menutupi dugaan penyimpangan anggaran, terutama dalam pembelian alutsista. (Al Araf)
Sementara itu, Effendi berjanji, pertemuan Komisi I dengan Kemenhan pada Rabu esok akan dilaksanakan secara terbuka selama pembahasan tidak menyangkut strategi dan taktik yang rahasia. ”Kalau tentang gambaran besar rencana induk alutsista 25 tahun ke depan, itu harus disampaikan kepada publik, apalagi anggarannya sangat besar dan pemenuhannya ditarik ke tahun 2024,” katanya.
Dikonfirmasi terpisah, Juru Bicara Menhan Dahnil Anzar Simanjuntak tidak menjawab pertanyaan terkait ketidakhadiran Prabowo. Ia pun enggan menjawab apakah Prabowo akan hadir pada undangan DPR untuk Rabu mendatang.
Namun, setelah beberapa hari persoalan dokumen rancangan peraturan presiden yang memuat soal rencana induk alutsista 25 tahun ke depan menjadi perhatian publik, ia pun membuat penjelasan. Menurut dia, rancangan perpres itu merupakan dokumen perencanaan yang masih dalam pembahasan dan pengujian, belum menjadi keputusan final. Dokumen yang dimaksud merupakan rahasia negara dan dokumen internal.
Baca juga: Penguatan Alutsista Perlu Konsistensi
Ia melanjutkan, Presiden Joko Widodo meminta Prabowo untuk memberikan kejelasan kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpahankam) selama 25 tahun ke depan karena 60 persen alpahamkam sudah tua dan kondisinya memprihatinkan. Modernisasi merupakan keniscayaan.
Oleh karena itu, pihaknya mengajukan formula reorganisasi belanja dan pembiayaan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpahankam). Hal itu rencananya dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan melalui mekanisme belanja alpahankam lima rencana strategis (renstra) dibelanjakan pada renstra pertama, yaitu 2020-2024. Dengan demikian, postur pertahanan ideal bisa tercapai pada 2025 atau 2026, dan bertahan sampai 2044.
Adapun pembiayaan yang dibutuhkan masih dalam pembahasan. Sumbernya adalah pinjaman dari beberapa negara dalam tenor yang panjang dan bunga kecil. Proses pembayarannya menggunakan alokasi anggaran Kemhan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yaitu sekitar 0,8 persen dari produk domestik bruto (PDB).
”Nilainya nanti dipastikan tidak akan membebani APBN, dalam arti tidak akan mengurangi alokasi belanja lainnya dalam APBN yang menjadi prioritas pembangunan nasional,” kata Dahnil.