Masyarakat Sipil Yogyakarta Desak Presiden Batalkan Hasil TWK Pegawai KPK
Sejumlah tokoh masyarakat sipil di Daerah Istimewa Yogyakarta mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan hasil tes wawasan kebangsaan KPK. Tes itu dinilai sebagai upaya melumpuhkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Sejumlah tokoh masyarakat sipil di Daerah Istimewa Yogyakarta mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan hasil tes wawasan kebangsaan atau TWK yang menjadi dasar pemberhentian puluhan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi. Pelaksanaan TWK dinilai sebagai upaya melumpuhkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Permintaan itu disampaikan dalam forum yang diberi nama Jogja Kompak, Senin (31/5/2021), di kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Kota Yogyakarta. Acara tersebut dihadiri para tokoh yang terdiri dari akademisi, aktivis sosial, pegiat organisasi keagamaan, aktivis perempuan, anggota DPRD DIY, serta sebagian anggota DPD asal DIY.
”Kami berharap Bapak Presiden membatalkan hasil TWK dan memulihkan kembali 75 pegawai yang dinyatakan tidak lolos TWK. Kami masih berharap kepada Presiden,” kata Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas, dalam acara itu.
Busyro menyatakan, selama beberapa tahun terakhir, telah terjadi upaya sistematis untuk melemahkan, bahkan melumpuhkan, upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. Upaya itu antara lain dilakukan melalui revisi Undang-Undang KPK. ”Melalui revisi Undang-Undang KPK itu, KPK secara institusional bukan hanya dilemahkan lagi, tetapi sudah lumpuh,” ujarnya.
Busyro menyebut, revisi UU KPK itu kemudian diikuti dengan sejumlah upaya lain, termasuk pelaksanaan TWK bagi para pegawai KPK. Dia menambahkan, materi TWK dinilai bermasalah oleh berbagai pihak sehingga hasil tes tersebut juga diragukan validitasnya. Bahkan, materi TWK juga dinilai tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
”Materi TWK ini justru mengingkari, menyimpangi, melecehkan, dan menista hakikat kebangsaan yang diatur dalam UUD 1945,” ujar Busyro yang juga merupakan mantan pimpinan KPK.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah Diyah Puspitarini menyatakan, materi TWK mengandung substansi yang misoginis dan diskriminatif terhadap perempuan. Oleh karena itu, materi tersebut sangat menyakiti perasaan aktivis perempuan.
”Kami dari organisasi perempuan sangat tersayat hati kami ketika ada salah satu poin dalam TWK yang sangat seksis, misoginis, dan diskriminatif,” ujarnya.
Diyah menyebut, materi yang diskriminatif itu menunjukkan adanya cacat moral dalam tubuh lembaga negara yang menyelenggarakan TWK. Oleh karena itu, hasil TWK juga tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai apakah seseorang memiliki wawasan kebangsaan.
Kekerasan hukum
Mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki mengatakan, selama ini, ada sejumlah pihak yang terus melakukan tindak kekerasan, baik secara fisik maupun hukum, untuk melemahkan perjuangan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pelaksanaan TWK juga dinilai bagian dari tindakan kekerasan tersebut.
”Kekerasan fisik sudah mereka lakukan, kekerasan hukum terus dan sedang mereka lakukan. Kekerasan simbolik juga terus dilakukan melalui berbagai macam cara. Karena itu, rakyat harus melawan,” tutur Suparman.
Suparman mengatakan, salah satu cara perlawanan itu adalah dengan mendesak Presiden Joko Widodo menghentikan upaya-upaya melumpuhkan KPK. ”Kami meminta Presiden selaku kepala negara ataupun kepala pemerintahan untuk menghentikan segala cara perusakan terhadap KPK yang menjadi simbol kepercayaan rakyat terhadap pemberantasan korupsi,” ucapnya.
Suparman menambahkan, jika ingin meninggalkan jejak sejarah yang baik, Presiden Joko Widodo harus membatalkan hasil TWK yang merupakan bagian dari upaya melumpuhkan KPK. ”Kalau Presiden mau meninggalkan jejak sejarah yang baik, sekarang ini saatnya. Kita tunggu. Mudah-mudahan beliau mendengar dan mau mengambil langkah,” ujarnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, menyatakan, pelaksanaan TWK tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Sebab, TWK hanya diatur dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Pelaksanaan TWK tidak memiliki landasan hukum yang kuat. Sebab, TWK hanya diatur dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara.
Sementara itu, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK sama sekali tak mengatur ihwal pelaksanaan TWK. Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Alih Status Pegawai KPK, TWK juga tidak diatur.
Menurut Zainal, pelaksanaan TWK merupakan bagian dari sejumlah rencana untuk melumpuhkan KPK. Dia menyebut, agar hasil TWK bisa dibatalkan, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah mendesak Presiden Joko Widodo untuk campur tangan.
Menurut Zainal, dasar hukum yang bisa dipakai untuk campur tangan itu adalah PP Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas PP Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Pasal 3 Ayat (2) PP itu menyatakan, Presiden dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS kepada sejumlah pejabat, misalnya menteri dan pimpinan di lembaga pemerintah nonkementerian. Namun, Pasal 3 Ayat (7) menyatakan, Presiden dapat menarik kembali pendelegasian kewenangan tersebut karena dua hal.
Pertama, penarikan pendelegasian kewenangan bisa dilakukan apabila terjadi pelanggaran prinsip sistem merit yang dilakukan Pejabat Pembina Kepegawaian. Kedua, penarikan kembali juga bisa dilakukan untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.