Korban Terus Berjatuhan, Operasi Penegakan Hukum di Papua Perlu Dievaluasi
Operasi penegakan hukum terhadap kelompok kriminal bersenjata di Papua perlu dievaluasi secara berkala. Evaluasi diperlukan untuk melindungi warga sipil.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Operasi penegakan hukum terhadap kelompok kriminal bersenjata atau KKB di Papua perlu dievaluasi secara berkala. Evaluasi diperlukan untuk melindungi warga sipil menjadi korban dari kedua belah pihak, baik aparat keamanan maupun KKB. Pemerintah diharapkan mengedepankan pendekatan kemanusiaan dan dialog.
Berdasarkan data dari Badan Intelijen Negara (BIN) yang disampaikan dalam rapat kerja bersama Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (27/5/2021), operasi penegakan hukum terus dilakukan kepada KKB yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai teroris.
Hingga 24 Mei lalu, total terjadi 60 kali gangguan keamanan di sekitar wilayah pegunungan tengah Papua. Gangguan keamanan berupa 13 insiden penembakan, 34 kali kontak tembak, dan 13 kali gangguan keamanan lainnya. (Teddy Lhaksmana Widya Kusuma)
Wakil Kepala BIN Letnan Jenderal (Purn) Teddy Lhaksmana Widya Kusuma menyampaikan, hingga 24 Mei lalu, total terjadi 60 kali gangguan keamanan di sekitar wilayah pegunungan tengah Papua. Gangguan keamanan berupa 13 insiden penembakan, 34 kali kontak tembak, dan 13 kali gangguan keamanan lainnya. Gangguan keamanan itu terjadi di sejumlah wilayah, yaitu Kabupaten Mimika, Kabupaten Nduga, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Intan Jaya.
Jumlah korban jiwa dari aparat keamanan terdiri dari 8 orang gugur dan 14 luka-luka. Dari warga sipil atau nonkombatan sebanyak lima orang meninggal dan sembilan luka-luka. Sementara dari pihak KKB, 22 orang tewas dan satu orang terluka.
Terakhir, enam orang tidak dikenal menyerang Polsubsektor Eksamol, Kabupaten Pegunungan Bintang, pada Jumat (28/5/2021) dini hari. Petugas jaga, yaitu Kepala Polsubsektor Oksamol Briptu Mario Sanoy, tewas tertembak dalam penyerangan itu. Penyerang juga merampas tiga senjata api milik polisi. Kepala Bidang Humas Polda Papua Ahmad Mustofa Kamal mengonfirmasi penyerang terkait dengan KKB (Kompas.id, 28/5/2021).
”Di Kabupaten Intan Jaya, KKB dipimpin oleh kelompok Goliath Tabuni, Legakak Telenggen, dan Militer Murib, sementara di wilayah Nduga dipimpin oleh Egianus Kogoya,” terang Teddy.
Teddy menambahkan, BIN mengidentifikasi ada tiga front yang aktif di Papua, yaitu front bersenjata, front politik, dan front klandestin. Menurut dia, kelompok klandestin ini sengaja memanfaatkan momentum revisi UU Otsus Papua untuk membuat gangguan keamanan. Gangguan keamanan dirancang untuk mendukung tuntutan referendum ulang di Papua. Selain itu, mereka juga terdeteksi ingin mengganggu pelaksanaan Pekan Olahraga Nasional (PON) 2021 dengan menciptakan instabilitas.
Kelompok klandestin dan bersenjata itu juga mendapatkan dukungan dari front politik yang berada di luar negeri, misalnya pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) Benny Wenda dan aktivis Veronica Koman.
Saat ini, upaya yang dilakukan aparat keamanan, yaitu gabungan TNI dan Polri, adalah mengejar dan menindak KKB dengan cara operasi penegakan hukum. Selain itu, juga memutus rantai jaringan logistik mereka.
Di forum yang sama, Kepala Badan Intelijen Strategis (Bais) TNI Letnan Jenderal Joni Supriyanto menambahkan, penetapan KKB dalam daftar terduga teroris dan organisasi teroris dilakukan untuk menghentikan kelompok di bawah pimpinan Lekagak Telenggen, Egianus Kogoya, Militer Murib, Germanius Elobo, dan Sabinus Waker.
Menurut dia, gerakan KKB hanyalah kelompok kecil yang tidak terima dengan kebijakan perpanjangan otsus Papua. Selain mengganggu keamanan, front lain juga dituding melakukan propaganda di dalam dan di luar negeri.
”Mereka memutarbalikkan fakta apa yang sudah dilakukan pemerintah di Papua. Hal itu dilakukan di dalam dan di luar negeri untuk menggalang dukungan dan simpati dunia internasional,” kata Joni.
Melihat banyaknya korban yang berjatuhan, seharusnya pemerintah membuat evaluasi penegakan hukum secara berkala. (Cahyo Pamungkas)
Evaluasi berkala
Peneliti Tim Kajian Papua dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cahyo Pamungkas, saat dihubungi, Minggu (30/5/2021), mengatakan, melihat banyaknya korban yang berjatuhan, seharusnya pemerintah membuat evaluasi penegakan hukum secara berkala. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bisa membuat evaluasi menggunakan indikator tertentu. Misalnya, operasi penegakan hukum itu targetnya apa, berapa biaya yang dikeluarkan, dan sampai kapan operasi tersebut akan berlangsung.
Pemerintah harus memiliki indikator yang jelas untuk mengukur keberhasilan operasi tersebut. ”Apa indikator keberhasilan operasi militer tersebut? Apakah menangkap Lekagak Telenggen, misalnya. Ini harus dijelaskan kepada publik sehingga jelas juga kapan berakhirnya operasi tersebut,” kata Cahyo.
Hal penting lainnya, menurut Cahyo, pemerintah juga perlu mendata berapa warga sipil yang terdampak operasi militer di sejumlah distrik dan kabupaten itu. Warga sipil tersebar di kampung mana saja, jumlahnya berapa, dan apa yang mereka butuhkan juga harus didata secara baik. Pemerintah perlu pula memitigasi pengungsi sipil dan memastikan kebutuhan mereka di pengungsian. Dari kacamata warga sipil, evaluasi operasi penegakan hukum sangat penting.
”Bagi masyarakat sipil, kapan berakhirnya operasi penegakan hukum itu juga memberikan rasa aman untuk mereka kembali ke kampungnya,” kata Cahyo.
Tegas dan terukur
Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardhani menyampaikan, idealnya selalu ada evaluasi setiap selesai operasi penegakan hukum. Kendali operasi penegakan hukum berada di bawah polda yang dibantu oleh kodam. Menurut dia, ada evaluasi berjenjang di tingkat satgas dan batalyon serta struktur wilayah dan teritorial. Adapun di tingkat pusat, evaluasi juga dilakukan di tingkat kementerian dan lembaga.
”Kunjungan Kapolri dan Panglima TNI beberapa hari lalu merupakan bentuk evaluasi bersama pusat dan daerah. Salah satu rekomendasinya adalah peningkatan pendekatan persuasif di wilayah operasi pegunungan tengah dan sekitarnya,” kata Jaleswari.
Jaleswari juga mengatakan, pada prinsipnya operasi penegakan hukum dijalankan mengacu pada penegakan hukum tindak pidana terorisme. Penegakan hukum tindak pidana terorisme dilaksanakan dengan prosedur yang ketat dan harus dapat dievaluasi akuntabilitasnya.
Sementara itu, terkait dengan kapan operasi penegakan hukum itu berakhir, Jaleswari menyebutkan saat ini pemerintah sedang melakukan pemulihan rasa aman masyarakat. Pemerintah sangat berhati-hati dalam melakukan operasi penegakan hukum, salah satunya dengan pendekatan persuasif, terutama agar tidak memakan korban jiwa dari warga sipil.
”Aparat Polri dan TNI tunduk pada ketentuan hukum yang terkait dengan penegakan hukum tindak pidana terorisme sehingga perlindungan terhadap masyarakat diutamakan ketika melakukan tindakan penegakan hukum kepada KKB setelah ditetapkan sebagai teroris,” ujar Jaleswari.