Kedepankan Akuntabilitas dalam Pengadaan Alat Pertahanan
Modernisasi alat pertahanan dan keamanan mendesak dilakukan. Meski demikian, akuntabilitas dan transparansi mesti tetap diutamakan dalam perencanaan pengadaannya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/ Dian Dewi Purnamasari/ Rini Kustiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penambahan dan modernisasi alat pertahanan dan keamanan sudah menjadi kebutuhan mendesak yang mesti dipenuhi pemerintah. Namun, perencanaan pengadaan peralatan pertahanan dan keamanan selayaknya tetap melibatkan semua pemangku kepentingan dengan mengedepankan akuntabilitas serta transparansi.
Pembahasan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia 2020-2024 menunjukkan komitmen besar pemerintah pada sektor pertahanan. Adapun kebutuhan anggaran untuk pengadaan alat pertahanan dan keamanan hingga 2024 disebut diusulkan 124,994 miliar dollar AS atau Rp 1.750 triliun.
Namun, penyusunan rancangan perpres itu diduga belum melibatkan pemangku kepentingan, baik pengguna maupun kalangan parlemen. Hingga Minggu (30/5/2021), Komisi I DPR yang membidangi masalah pertahanan belum mendapatkan penjelasan yang lengkap dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto terkait dengan rancangan perpres.
Karena itu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Effendi Simbolon, menyatakan akan menanyakan substansi perpres secara detail pada rapat kerja dengan Menhan pada Senin (31/5/2021) dan Rabu (2/6/2021).
Effendi juga akan meminta penjelasan mengenai teknologi yang diacu dalam pengembangan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Selain itu, isu arsitektur dan desain dalam rancangan perpres juga bakal ditanyakan. ”Kita harus memiliki patokan, misalnya, alutsista itu maksimal dipakai untuk 25-30 tahun ke depan,” ujarnya.
Dalam rancangan perpres yang diterima Kompas disebutkan, rencana strategis, pembiayaan, serta pengadaan yang konsisten dan berkelanjutan dibutuhkan untuk menjamin pemenuhan alat pertahanan. Disebutkan pula, menteri menyusun rencana kebutuhan alat pertahanan dan keamanan hingga tahun 2044, tetapi pengadaannya diusulkan dilaksanakan tahun 2020-2024. Hal ini berarti pengadaan alat pertahanan dipercepat dari 25 tahun menjadi 2,5 tahun. Rancangan perpres memuat kebutuhan anggaran Rp 1.750 triliun.
Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Nasdem, Muhammad Farhan, mengatakan, Menhan harus menjelaskan secara detail peruntukan anggaran Rp 1.750 triliun. Selain itu, program pembangunan kekuatan pokok minimum (MEF) yang sudah dirancang sebelumnya perlu dilihat kembali.
Transparansi
Secara terpisah, anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Al Araf, mengatakan, Kemenhan harus menjelaskan urgensi pemadatan pengadaan alat pertahanan dari 25 tahun menjadi 2,5 tahun. ”Apakah dalam 2,5 tahun ke depan Indonesia dalam situasi mau perang sehingga pengadaan alutsista harus dipadatkan seperti itu?” katanya.
Kemenhan juga mesti membuka rencana pengadaan alutsista secara transparan agar tak dicurigai publik. Pernyataan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kemenhan Rodon Pedrason tentang besaran anggaran alutsista merupakan rahasia negara, menurut Araf, tidak tepat.
UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik mengatur bahwa rahasia negara hanya terkait dengan strategi dan taktik operasi pertahanan. Anggaran harus dibuka karena menggunakan pajak rakyat, apalagi juga ada rencana skema utang luar negeri.
Peneliti Transparency International Indonesia, Alvin Nicola, menambahkan, ketertutupan penganggaran pertahanan selama ini menunjukkan transparansi dan akuntabilitas yang rendah. Pengadaan alutsista dengan dana utang berpotensi membebani keuangan negara. Penyusunan rancangan perpres yang dinilai kurang melibatkan pengguna, yakni TNI, juga dikhawatirkan akan membuat alutsista yang hendak dibeli justru tidak betul-betul dibutuhkan.
Sebelumnya, Rodon mengatakan, Menhan Prabowo menginginkan modernisasi besar-besaran tiga matra TNI. Kebutuhan pengadaan alat pertahanan yang akan dipenuhi lewat pinjaman luar negeri itu tak akan membebani keuangan negara karena berbunga relatif kecil.
Orientasi kuantitas
Koordinator Kluster Riset Konflik, Pertahanan, dan Keamanan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Muhamad Haripin, ketika dihubungi dari Jakarta, Minggu, berpandangan, Rancangan Perpres mengenai Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia 2020-2024 memperlihatkan alam pikir para pemangku kebijakan di negeri ini berorientasi pada kuantitas. Semakin besar atau banyak, semakin baik.
”Karena, mereka mengomparasikan dengan negara-negara di kawasan maupun global yang mana anggaran pertahanan kita, jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB), memang masih kecil," kata Haripin.
Dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN, anggaran pertahanan Indonesia termasuk yang terendah, yakni 0,78 persen dari PDB. Sementara Malaysia mengalokasikan 1 persen dari PDB, Singapura 3,2 persen, Thailand 1,3 persen, dan Timor Leste mengalokasikan 1 persen dari PDB.
Sementara dalam rancangan perpres itu disebutkan rencana kebutuhan alat peralatan pertahanan dan keamanan (alpalhankam) Kemenhan dan TNI tahun 2020 hingga 2044 yang pengadaannya dilaksanakan tahun 2020 sampai 2024. Untuk itu, dibutuhkan sekitar 124,995 miliar dollar AS atau mencapai Rp 1.750 triliun dengan asumsi Rp 14.000 per dollar AS.
Dari jumlah itu, sebanyak 20,747 miliar dollar AS telah dialokasikan di Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah Khusus Tahun 2020-2024. (Kompas, 30/5/2021)
Meski dari rasio terhadap PDB terbilang kecil, lanjut Haripin, pos anggaran Kementerian Pertahanan selama ini selalu berada di posisi 3 besar, termasuk tahun ini berada di urutan kedua. Meski demikian, besaran anggaran tersebut mesti dibandingkan dengan alokasi di sektor lain, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Dari rancangan perpres tersebut, menurut Haripin, pemerintah tampak ingin membuat kebijakan yang bersifat korektif sekaligus memperlihatkan komitmen yang besar pada sektor pertahanan. Namun, mestinya hal itu juga mempertimbangkan kondisi bangsa yang secara ekonomi belum membaik dan belum lepas dari pandemi Covid-19.
Di sisi lain, meskipun pihak Kementerian Pertahanan menyatakan pemenuhan anggarannya tidak membebani keuangan negara, tidak ada yang bisa menjaminnya. Sementara Kementerian Pertahanan sejak dulu selalu bersikap tertutup terkait dengan penggunaan anggaran pertahanan dengan dalih rahasia negara.
”Alih-alih pengelolaan utang yang rasional, tetapi malah menjadi rahasia negara. Padahal, ini nantinya tetap akan ditanggung warga negara. Jadi, memang harus dikritisi meski saya ragu kritik itu akan timbul secara memadai jika melihat hubungan eksekutif dan legislatif yang mana Komisi I selalu mengikuti Kemenhan,” ujar Haripin.
Terkait dengan pengembangan industri pertahanan, semestinya Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dapat menjadi lembaga yang menentukan alat utama sistem persenjataan yang hendak dibeli agar memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan, seperti mengenai transfer teknologi atau penggunaan komponen lokal. Namun, selama ini kinerja lembaga itu belum meyakinkan karena diisi orang yang menjalankan tugas sebagai regulator sekaligus sebagai eksekutor.