Rapor ”merah” dicap kepada 51 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Dengan alasan tak bisa dibina lagi dan keterbatasan waktu, mereka bakal diberhentikan. Menaruh asa pada komitmen Presiden.
Oleh
Nikolaus Harbowo
·6 menit baca
Lebih dari lima jam, rapat koordinasi berlangsung di kantor Badan Kepegawaian Negara, Jakarta, Selasa (25/5/2021), untuk membahas nasib 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan. Rapat dengan tujuan menjalankan arahan Presiden Joko Widodo itu dihadiri pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo, Kepala BKN Bima Haria Wibisana, serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.
Namun, keputusan rapat ternyata malah menimbulkan polemik baru. Dari 75 pegawai, terdapat 51 orang yang diberhentikan karena mendapat nilai ”merah”. Sementara itu, 24 pegawai lain dinilai masih bisa dibina agar memenuhi syarat menjadi aparatur sipil negara. Namun, mereka juga tetap bisa diberhentikan jika tak lolos pendidikan dan pelatihan bela negara serta wawasan kebangsaan.
Keputusan itu dianggap tak sejalan dengan arahan Presiden yang meminta agar tes tak dijadikan dasar pemberhentian pegawai. Terlebih, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan alih status kepegawaian tak boleh sampai merugikan hak pegawai KPK.
Dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Ramai-ramai Kebiri KPK” yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (26/5/2021) malam, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo mengatakan, penyematan rapor ”merah” terhadap 51 pegawai itu terlalu kejam. Posisi mereka seakan lebih parah daripada pencuri uang rakyat yang baru mendapat label ”koruptor” setelah putusan inkrah pengadilan. Bahkan, setelah itu, koruptor masih dapat dibina di lembaga pemasyarakatan.
”Kalau kami merah, itu apanya? Kalau merah putih, itu jelas. Karena kami, kan, memberantas korupsi,” ujar Yudi, yang juga jadi bagian dari 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu turut menghadirkan sejumlah narasumber yang tersambung melalui telekonferensi video, yakni Wakil Kepala BKN Supranawa Yusuf, anggota Komisi III DPR Arsul Sani, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, dan Ketua Departemen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar.
Pernyataan Yudi di atas tak bisa dimungkiri. Nama-nama yang masuk daftar 75 pegawai yang tak lolos TWK telah membuktikan dedikasinya bagi pemberantasan korupsi.
Penyidik senior Novel Baswedan, misalnya, pernah meraih penghargaan antikorupsi di Malaysia. Tak hanya itu, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK Sujanarko juga pernah mendapatkan tanda kehormatan Satyalancana Wira Karya dari Presiden Jokowi.
Karena itu, Yudi heran, mengapa nama-nama itu tetap akan diberhentikan. Ia melihat, KPK, Kemenpan dan RB, serta BKN tak serius menindaklanjuti arahan Presiden. ”Jadi, saya pikir, ini kok kayak bermain-main dengan arahan dari Pak Presiden,” katanya.
Keterbatasan waktu
Supranawa Yusuf membantah tudingan Yudi. Menurut dia, rapat koordinasi di kantor BKN beberapa hari yang lalu merupakan tindak lanjut atas arahan Presiden. Dalam rapat itu, nasib 75 pegawai dievaluasi satu per satu.
Setidaknya, ada tiga aspek utama yang dilihat. Pertama, kesetiaan terhadap Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintahan yang sah (PUNP). Kedua, aspek keterpengaruhan terhadap keluarga, lingkungan, teman, atau kelompok-kelompok tertentu. Ketiga, aspek pribadi atau keyakinan pribadi.
Selanjutnya, mereka yang tak bisa dilakukan pembinaan berarti gagal di ketiga kategori tersebut, yakni 51 orang. Yusuf menjelaskan, pembinaan juga tak bisa dilakukan karena keterbatasan waktu.
Sesuai dengan mandat UU KPK, peralihan status pegawai hanya diberikan waktu selama dua tahun. Praktis, proses ini tinggal lima bulan lagi. Di sisi lain, menurut Yusuf, kepribadian seseorang tidak akan bisa berubah dalam waktu yang singkat. Apalagi, itu berbicara masalah nilai dan keyakinan seseorang.
”Itu tidak mungkin berubah satu minggu, satu bulan, tiga bulan, tidak mungkin. Jadi, tidak mungkin kami penuhi batas waktu 17 Oktober itu bisa selesai,” ujar Yusuf.
Arsul Sani menilai, batasan waktu ini seharusnya tak dapat dijadikan alasan pemberhentian terhadap pegawai KPK. Jika instansi-instansi pelaksana UU perlu waktu lebih, seharusnya instansi-instansi itu berkonsultasi dengan Presiden.
”Diusulkan, apakah revisi untuk memperpanjang proses alih statusnya atau dengan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang),” katanya.
Lagi pula, kata Arsul, jika mengacu pada desain besar UU No 19/2019, proses peralihan tak boleh sampai memberhentikan pegawai. Pegawai KPK seharusnya dialihkan terlebih dulu semuanya menjadi ASN, lalu proses pembinaan dilakukan sesuai perundang-undangan ASN, mulai dari UU No 5/2014 tentang ASN.
”Saya kira, ada yang tak pas memahami desain yang diletakkan dalam UU No 19/2019. Jadi, desainnya itu bukan kemudian ditendang dulu. Desainnya adalah masuk dulu. Karena apa? Kenapa, kok, kami berasumsi seperti itu? Karena, kami itu tidak pernah berasumsi bahwa orang itu tak bisa berubah. Jadi, itulah politik hukum perundang-undangan kita, itu selalu berasumsi orang bisa berubah dan bisa diubah,” ujarnya.
Zainal Arifin Mochtar berpandangan, sebenarnya arahan Presiden sudah jelas. Namun, ia menyayangkan implementasi dari arahan itu malah bertolak belakang. Padahal, KPK, BKN, serta Kementerian PAN dan RB merupakan lembaga-lembaga negara rumpun eksekutif yang berada di bawah Presiden.
Ia mengkritisi proses yang tidak transparan. Hingga saat ini, daftar nama yang masuk kategori ”merah” atau kategori ”bisa dibina” tak pernah dibuka. Ketentuan bagi mereka yang bisa dibina atau tak bisa dibina pun diyakini tidak ada di aturan mana pun.
Untuk menyelesaikan problem ini, menurut Zainal, salah satunya KPK harus segera mencabut Peraturan KPK No 1/ 2021 yang mengatur soal TWK. Sebab, peraturan itu sumber masalahnya dan jauh dari tujuan UU KPK dan PP No 41/2020 tentang Alih Status Pegawai KPK.
Sementara itu, Azyumardi Azra menilai, pemberhentian terhadap 51 pegawai KPK lebih dari sekadar pembangkangan terhadap arahan Presiden. Ini merupakan bentuk insubordinasi atau tidak patuh.
Apalagi, jika mengacu pada penjelasan Arsul terkait dengan desain besar UU KPK, pemberhentian pegawai KPK itu tidak pernah disinggung. Nyatanya, kini pegawai KPK malah tersingkir akibat penerapan tes yang menerabas peraturan perundang-undangan. Menurut dia, penghakiman kepada 51 pegawai yang tak dapat dibina lagi merupakan perbuatan sewenang-wenang.
”Jadi, tak ada itu orang dipalu godam enggak bisa dibina, mana ada itu. Emang Anda ini Tuhan apa? Ini orang BKN menganggap orang kalau sudah itu tak bisa lagi diperbaiki, memang Anda ini siapa? Jadi, saya kira itu berlebih-lebihan,” kata Azyumardi.
Sikap Presiden Jokowi dalam menanggapi polemik TWK ini sebenarnya pernah dialami Azyumardi saat penolakan terhadap revisi UU KPK. Saat itu, beberapa tokoh diundang dalam suatu pertemuan dengan Presiden. Presiden menegaskan bahwa akan mempertimbangkan masukan dari para tokoh. Namun, ternyata, UU KPK yang baru itu tetap saja melenggang.
Ia berharap hal itu tak terjadi lagi. ”Saya kira Presiden Jokowi harus bertindak. Kalau Presiden serius dengan perkataannya sendiri, kemudian dia harus memanggil Ketua KPK itu, kenapa tidak menjalankan arahan yang sudah disampaikan,” ujar Azyumardi.