Indonesia mesti terus mengikuti perkembangan teknologi alutsista. Kualitas alutsista turut memengaruhi profesionalisme prajurit TNI.
Oleh
Tim Kompas
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kondisi alat utama sistem persenjataan atau alutsista turut memengaruhi profesionalisme prajurit Tentara Nasional Indonesia. Oleh karena itu, alutsista mesti terus ditingkatkan dan pengadaannya perlu mempertimbangkan kualitas dan daur hidup yang terkait dengan pemeliharaan dan peningkatan kemampuan.
Adapun pemenuhan rencana strategis kebutuhan pokok minimum (minimum essential force/MEF) TNI masih jauh dari harapan. Berdasarkan data Panitia Kerja Alutsista Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat, hingga Desember 2018, TNI Angkatan Darat hanya mampu memenuhi kebutuhan minimum 74,62 persen. Sementara itu, TNI Angkatan Laut hanya 68,72 persen dan TNI Angkatan Udara 44,40 persen.
Hasil jajak pendapat Kompas pada 17-19 Mei, melibatkan 511 responden di 34 provinsi, menunjukkan, 92,8 persen responden menyatakan, untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia, pemerintah perlu berkala menambah alutsista dengan kualitas mutakhir. Sementara itu, 46,2 persen responden menyebut yang sangat perlu ditambah jumlah alutsistanya ialah matra laut, diikuti udara 27,8 persen, dan darat 26 persen (Kompas, 27/5/2021).
Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama TNI Indan Gilang Buldansyah, pekan lalu, mengatakan, usia pakai alutsista yang dioperasikan jajaran TNI AU bervariasi. Semisal, pesawat angkut C-130B Hercules sudah dioperasikan sejak 1960. Demikian pula helikopter SA-330 Puma telah dioperasikan sejak 1978. Saat ini, TNI AU masih menunggu pengganti skuadron pesawat tempur F5 yang telah pensiun pada 2016 setelah 35 tahun bertugas.
Menurut Indan, profesionalisme prajurit ditentukan dari pembinaan dan pelatihan yang diselenggarakan secara bertahap, bertingkat, dan berlanjut. Kesiapan alutsista yang tinggi juga menjadi salah satu prasyarat terselenggaranya pembinaan bagi prajurit.
”Semakin tinggi kesiapan alutsista, tentu akan semakin tinggi pula frekuensi prajurit kita dalam melaksanakan latihan yang bermuara pada meningkatnya profesionalisme prajurit. Kita tidak melihat tahun pembuatan alutsista itu, tetapi dari kesiapan dan kelayakannya untuk dapat dioperasikan,” kata Indan.
Senada dengan itu, Kepala Dinas Penerangan TNI AL Laksamana Pertama Julius Widjojono mengatakan, kondisi alutsista tentu berdampak pada profesionalisme prajurit. Di TNI AL, alutsista berhadapan dengan kondisi alam yang sering kali cukup ekstrem. Oleh karena itu, kondisi alutsista sangat berefek pada kondisi psikologis prajurit yang bertugas.
”Tentunya kondisi alutsista berdampak terhadap tinggi rendahnya kebanggaan prajurit. Wajar kalau prajurit mengawaki alutsista bagus, keamanan, dan kebanggaannya yang akhirnya profesionalismenya akan semakin tinggi. Apalagi kalau dia melihat kekuatan negara-negara tetangga. Akan semakin percaya diri,” kata Julius.
Perawatan dan pemeliharaan
Saat ini, secara umum 60 persen alutsista TNI AL berusia di atas 30 tahun. Kapal yang paling tua adalah KRI Dewaruci, tahun pembuatannya 1953. Untuk mengatasi usia tua alutsista agar bisa beroperasi dengan baik, dilakukan pemeliharaan dan perawatan yang berkala sesuai dengan prosedur.
Pelaksanaan pemeliharaan dilakukan melalui pemeliharaan tingkat organik, tingkat menengah, tingkat depo, peningkatan kemampuan (PUP), perbaikan farm out, dan pemeliharaan kapal darurat (perbaikan). ”Alutsista yang telah berusia tua tentu butuh lebih banyak perhatian, baik waktu dan tenaga dalam perawatan maupun pemeliharaan,” ujar Julius.
TNI AU memiliki program pemeliharaan dan perawatan, baik secara terjadwal maupun tidak terjadwal. Tingkatan pemeliharaan dibagi tiga, yakni tingkat ringan, sedang, dan berat. Pemeliharaan tingkat ringan dapat dilakukan di Skuadron Udara, tingkat sedang di Skuadron Teknik, dan tingkat berat di depo pemeliharaan atau di pabrik alutsista tersebut.
Selain itu, semua alutsista yang dioperasikan tersebut telah melalui proses uji kelayakan oleh sejumlah instansi yang berkompeten, baik internal maupun eksternal. ”Meski sebuah alutsista tergolong tua, tetap dapat dioperasikan apabila dinyatakan layak untuk digunakan,” kata Indan.
Daur hidup alutsista
Peneliti militer dari Lab45, Andi Widjajanto, berpandangan, setiap alutsista memiliki daur hidup sendiri. Daur hidup tersebut terkait dengan upaya pemeliharaan hingga peningkatan kemampuan (upgrade) terhadap setiap alutsista. Ia memberi contoh, kapal selam KRI Nanggala-402 termasuk kapal selam tipe 209/1300. Saat ini ada 61 unit kapal selam tipe 209 yang digunakan sejumlah negara. Dari jumlah itu, ada empat unit kapal selam yang dipensiunkan yang berasal dari kelas 1100 dan 1200, bukan 1300 sebagaimana KRI Nanggala-402.
”Usia alutsista itu relatif. Yang penting adalah daur hidup dari suatu alutsista dioptimalisasi,” katanya.
Andi juga menggarisbawahi pentingnya alutsista modern dan kaitannya dengan profesionalisme, yaitu kemampuan TNI menghadapi perkembangan lingkungan strategis. Menurut Andi, bagi militer di semua negara, yang penting adalah memiliki senjata atau alutsista yang sesuai dan relevan dengan perkembangan teknologi terkini. Misalnya, saat ini sudah muncul pesawat tempur generasi ke-5. Banyak negara telah beralih dari pesawat tempur generasi ke-4 ke generasi ke-5.
Menurut Andi, penting bagi Indonesia untuk bisa menggelar kekuatan yang mutakhir. Sebab, dengan mengikuti perkembangan teknologi terkini, TNI juga dapat mengembangkan doktrin dan strateginya untuk menghadapi ancaman perang pada masa depan.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR, Muhammad Farhan, mengatakan, alutsista TNI masih jauh dari ideal, apalagi untuk operasional tempur. Karena itu, ia mendorong agar TNI menyusun ulang pencapaian MEF pada 2024. Dalam proses pemenuhannya, dia menilai, impor alutsista dan kerja sama dengan pihak luar negeri tetap diperlukan.
Sebab, tidak semua kebutuhan alutsista bisa dipenuhi dari industri dalam negeri, apalagi untuk mendapatkan teknologi persenjataan terbaru. ”Industri pertahanan dalam negeri perlu meningkatkan riset karena semua industri pertahanan di dunia dibangun dengan riset teknologi tinggi,” ujar Farhan.
Terkait dengan rencana strategis TNI AU hingga 2024, Indan mengatakan, alutsista yang jadi prioritas adalah pesawat tempur, pesawat angkut, radar, dan rudal. Sementara untuk TNI AL, Julius mengatakan, fokusnya pada kapal, pesawat udara, dan material tempur marinir. (SYA/NIA/NAD/EDN)