Kans Para Gubernur di 2024, Saat ”Panggung” Tak Lagi Ada
Tiga gubernur yang kerap terekam dalam survei soal calon presiden justru bakal kehilangan panggung mendekati Pemilu 2024. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Lantas seberapa besar kans mereka tetap dipinang partai politik?
Tiga gubernur masuk deretan sosok yang dipilih publik jika pemilihan presiden digelar April lalu, berdasarkan hasil survei Litbang Kompas. Di antaranya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Munculnya nama-nama ini tentu tak lepas dari tersedianya panggung bagi mereka untuk unjuk gigi. Namun, mendekati Pilpres 2024, mereka justru akan kehilangan panggung tersebut.
Panggung dimaksud merujuk pada posisi ketiganya sebagai gubernur. Menjabat gubernur, mereka jelas punya panggung untuk memopulerkan diri. Sehari-hari disorot media massa, dan sebagai pucuk pimpinan tertinggi di daerah, mereka setidaknya bisa ”bersentuhan” langsung dengan masyarakat di daerahnya. Jika kebijakan yang dikeluarkan atau tindak-tanduk mereka sebagai gubernur dinilai positif oleh publik, tentu hal ini menjadi nilai plus.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Ambil contoh Presiden Joko Widodo. Popularitasnya meroket ketika dinilai sukses memimpin Solo di Jateng. Ia lantas terpilih pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012. Popularitas yang kian menjulang saat menjabat Gubernur DKI Jakarta kemudian membawanya terpilih pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2014.
Namun, jalan bagi ketiga gubernur tersebut berpotensi lebih terjal dibandingkan dengan Joko Widodo. Tak lain karena masa jabatan ketiganya sudah akan berakhir sebelum pilpres digelar. Anies akan berakhir masa jabatannya pada 2022, sedangkan Ganjar dan Ridwan pada 2023. Anies dan Ridwan Kamil baru menduduki posisi itu di periode pertama, sedangkan Ganjar periode kedua.
Baca juga: Survei ”Kompas”: Elektabilitas Prabowo Fluktuatif, Anies dan Ganjar Meningkat
Tidak tersedia ruang bagi sebagian dari kepala daerah itu untuk memperpanjang masa jabatannya sebagai kepala daerah di periode kedua. Ini karena pemilihan kepala daerah (pilkada) di ketiga daerah itu baru akan digelar pada 2024 bersama dengan daerah-daerah lainnya di Nusantara. Ini sebagai amanat dari Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur pilkada serentak nasional digelar pada 2024 atau di tahun yang sama dengan digelarnya pilpres dan pemilu legislatif.
Daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya habis sebelum pilkada serentak digelar akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Penjabat gubernur akan ditunjuk oleh menteri dalam negeri, sedangkan penjabat bupati/wali kota oleh gubernur.
Lantas, akankah hilangnya panggung bagi ketiga gubernur itu akan menyusutkan elektabilitas mereka sehingga kans masing-masing diusung partai politik akan ikut menciut?
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya saat dihubungi pertengahan Mei lalu mengatakan, hal tersebut memungkinkan terjadi. Karena itu, jika memang ketiganya berniat untuk maju pada 2024, ketiganya dituntut untuk bisa menciptakan panggung baru.
Dalam konteks ini, ia melihat ruang gerak Anies dan Ridwan akan lebih leluasa daripada Ganjar. Pasalnya, Ganjar sebagai kader PDI-P bisa saja terbelenggu oleh kebijakan partai. Apalagi jika partai tak membolehkan Ganjar melakukan safari politik. Ditambah lagi, posisi Ganjar di PDI-P bukan penentu kebijakan partai, apalagi pemilik partai yang bisa memengaruhi keputusan partai.
”Maka, kalau PDI-P tak memberikan panggung baru untuk Ganjar, bisa jadi beban berat untuk dia,” ujarnya.
Baca juga: Peristiwa Ganjar Tak Diundang Diselesaikan Sesuai Kultur PDI Perjuangan
Jalan sepertinya makin terjal untuk Ganjar setelah akhir pekan lalu ia ”ditegur” sejumlah elite PDI-P. Ia dianggap terlalu ambisius untuk bisa maju di 2024, padahal partai belum memutuskan apa pun. Hal ini berbeda dengan Anies dan Ridwan yang bukan kader parpol apa pun. Mereka tak perlu takut untuk bergerak, seperti layaknya petugas partai yang harus mengikuti kebijakan partai.
Setelah tak lagi menjabat gubernur, keduanya bisa bergerak leluasa melakukan safari politik, ke mana pun, ke siapa pun, untuk setidaknya menjaga elektabilitas tetap tinggi. Terlebih jika Partai Nasdem jadi menggelar konvensi capres pada 2022. Konvensi bisa jadi panggung baru bagi keduanya karena biasanya untuk bisa terpilih dalam konvensi, calon harus rajin keliling ke daerah. Opsi lainnya, mereka bisa leluasa membuat ”kendaraan” informal sebagai panggung baru.
”Namun, apa pun itu, hilangnya panggung gubernur memang akan menjadi tantangan berat buat ketiganya jika ingin maju di 2024. Panggung baru harus dibuat,” ujar Yunarto.
Figur lain
Jika Anies, Ganjar, dan Ridwan akan kehilangan panggungnya menjelang Pilpres 2024, tidak demikian halnya dengan figur capres pilihan publik lainnya yang terekam dalam survei Litbang Kompas.
Prabowo Subianto dengan elektabilitas mencapai 16 persen, misalnya, masih akan menjabat Menteri Pertahanan selama posisinya tak diganti Presiden hingga 2024. Plus ia masih akan menjabat Ketua Umum Gerindra hingga 2025. Begitu pula Sandiaga Uno yang menjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial ataupun Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
Di luar mereka yang ada di pemerintahan, Agus Harimurti Yudhoyono juga akan tetap memiliki panggung, terutama karena jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Namun, bukan berarti jalan mereka pun akan bisa mulus jika ingin maju di 2024.
Bagi para pejabat publik, menurut Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana, tantangannya ada pada laku mereka sebagai pejabat, dan terutama kebijakan atau program yang dibuat. Selama semuanya itu bergerak selaras dengan harapan publik dan bisa meraih simpati publik, elektabilitas masing-masing bisa saja terus meningkat sekaligus memperbesar kans mereka dipinang parpol untuk 2024.
Baca juga: Survei ”Kompas”: Elektabilitas Prabowo Fluktuatif, Anies dan Ganjar Meningkat
Khusus bagi Agus, ia terbilang wajah baru di panggung politik Tanah Air. Pengalamannya yang belum lama di dunia politik bisa jadi hambatan. Untuk ini, Agus punya pekerjaan berat selain meyakinkan partainya sendiri, juga parpol lainnya. Safari politik Agus ke jajaran partainya di daerah-daerah, juga lintas parpol, menurut Aditya, bisa saja mengubah hambatan itu menjadi peluang.
Sikap partai politik
Sejauh ini, sejumlah parpol memang belum bersikap atas figur-figur yang, menurut survei, layak menjadi presiden.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sebagai satu-satunya parpol yang bisa mengusung pasangan capres-cawapres sendiri di 2024 karena raihan kursi parpol pada Pemilu 2019 melebihi syarat pencalonan capres, masih menunggu keputusan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri. Di PDI-P, Megawati memiliki hak prerogatif menentukan capres-cawapres yang akan diusung parpol. Jika menilik pemilu sebelumnya, Megawati selalu mengambil keputusan mendekati hari-H pencalonan. Ini pula yang diperkirakan terulang untuk Pilpres 2024 seperti disampaikan oleh sejumlah elite PDI-P.
”Sampai sekarang belum ada sinyal dari Bu Mega siapa yang diminta bertempur,” ujar Ketua Pemenangan Pemilu PDI-P Bambang Wuryant di Kompleks Parlemen, Jakarta, awal Mei lalu.
Kalaupun hasil survei saat ini memperlihatkan sejumlah kader PDI-P sebagai yang layak menjadi capres, anggota Komisi I DPR ini menyampaikan, hal tersebut belum bisa jadi ukuran. Hasil survei masih bisa berubah mengikuti dinamika politik, terlebih pilpres masih tiga tahun lagi. Selain itu, ia melihat hasil survei baru sebatas memotret popularitas figur. Belum tentu bisa menjadi elektabilitas di pemilu karena untuk itu masih dibutuhkan kerja keras di lapangan.
”Jadi, masih panjang. Kalau kemudian ada yang berpikir hasil survei hari ini memaksa ketua umum kami memberikan rekomendasinya, nah, ini salah,” katanya.
Adapun bagi Gerindra, masih tingginya elektabilitas Prabowo diharapkan mendorong Prabowo untuk kembali maju menjadi capres di 2024. Sekjen Gerindra Ahmad Muzani berulang kali mengatakan, harapan itu disampaikan kader dan pengurus Gerindra di sejumlah daerah. Namun, hingga kini Prabowo belum memberikan jawaban atas harapan dari kader dan pengurus tersebut.
Selain Gerindra, kader dan pengurus Golkar juga mendorong Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto untuk maju di 2024. Saat Rapat Pimpinan Nasional Golkar, awal Maret lalu, aspirasi itu disampaikan melalui 34 Dewan Pimpinan Daerah Golkar serta 10 organisasi sayap parpol.
Namun, atas dorongan itu, Airlangga baru akan mempertimbangkannya. Airlangga menyampaikan, saat ini Golkar masih fokus membantu pemerintah dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi.
Untuk Demokrat, munculnya nama Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono di sejumlah survei, tak hanya survei Litbang Kompas, dianggap sebagai keberhasilan parpol menyiapkan kader untuk pemimpin Indonesia masa depan. Agus disebutkan akan terus mengenalkan dirinya kepada masyarakat, berkeliling ke daerah-daerah, sekaligus untuk kepentingan konsolidasi parpol. Lantas, akankah Agus diajukan Demokrat untuk Pilpres 2024?
Ketua Dewan Kehormatan Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan, tujuan didirikannya parpol salah satunya untuk menempatkan kader terbaiknya di panggung kekuasaan. Agus sebagai ketua umum parpol kini dinilainya semakin matang, terutama setelah berhasil melalui ujian kudeta kepemimpinannya oleh mantan kader dan segelintir kader Demokrat, beberapa waktu lalu. Namun, agar Demokrat bisa mengusung kadernya di 2024, Demokrat tak bisa sendiri. Demokrat harus berkoalisi dengan parpol lain.
”Maka, komunikasi politik dengan parpol lain akan terus kami lakukan,” ujarnya.
Bagaimana dengan parpol lainnya yang kadernya tak terekam dalam survei-survei capres?
Menurut Ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera, yang terpenting buat parpol dalam menentukan capres yang akan diusung adalah seberapa besar kans kemenangannya. Pertimbangan lain yang tak kalah penting, seberapa besar keuntungan elektoral yang diperoleh parpol dengan mengusung seseorang menjadi capres. Kedua hal ini pula yang akan jadi pertimbangan PKS.
Adapun Partai Nasdem punya cara tersendiri. Sesuai amanat dari Kongres Nasdem II pada 2019, menurut Wakil Sekjen Nasdem Hermawi Taslim, akan digelar konvensi untuk memilih capres yang akan diusung Nasdem, tahun depan. Siapa pun bisa ikut dalam konvensi, tak terkecuali para gubernur yang akan kehilangan panggung pada 2022-2023.
Baca juga: Publik Belum Pikirkan Capres
Sambil menanti konvensi, hasil-hasil survei capres dan dinamika lain terkait capres terus diamati oleh tim khusus di Nasdem, dan pada saatnya akan jadi salah satu bahan pertimbangan dalam memutuskan.
Untuk memastikan hasil konvensi nanti bisa diajukan di 2024, lanjut Hermawi, Nasdem saat ini terus menjalin dialog dengan parpol lain. Bahkan terbuka kemungkinan, konvensi nantinya digelar Nasdem bersama parpol lain yang sudah bersedia berkoalisi untuk 2024. Dengan begitu, sudah bisa dipastikan siapa pun calon pemenang konvensi akan diajukan di Pilpres 2024 oleh koalisi parpol yang telah memenuhi syarat pencalonan presiden, seperti diatur dalam UU Pemilu.
Terlepas dari berbagai fenomena dan persiapan figur ataupun parpol tersebut, tiga tahun waktu yang cukup lama. Akankah ada kejutan figur di Pilpres 2024? Kita tunggu saja.