Target Sulit Tercapai pada 2024, DPR Minta MEF Alutsista Dibahas Kembali
Negara harus memikirkan kondisi alutsista yang sudah tua dan berpotensi membahayakan prajurit. Sejumlah anggota DPR mendorong pembahasan kembali target kekuatan pokok minimal di tengah keterbatasan anggaran pertahanan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat mendorong agar target minimum essential force yang merupakan basis kebijakan modernisasi alat utama sistem persenjataan atau alutsista ditinjau ulang. Usulan mengakselerasi capaian dengan meningkatkan anggaran pertahanan dari semula di bawah 1 persen menjadi 1,5 persen dari produk domestik bruto dinilai sulit direalisasikan dengan kondisi ekonomi saat ini.
Berdasar data Kementerian Pertahanan, pada Oktober 2020 TNI AD memiliki 77 persen kekuatan pokok minimal (minimum essential force/MEF), TNI AL 67,57 persen, dan TNI AU 45,19 persen. Dengan demikian, jika ingin pemenuhan MEF tetap sesuai rencana, yaitu terpenuhi 100 persen pada 2024, Kementerian Pertahanan harus bisa mencapai pembangunan pemenuhan alutsista 36,81 persen dalam lima tahun (Kompas, 8/10/2020).
Di sisi lain, hasil jajak pendapat Kompas pada 17-19 Mei yang melibatkan 511 responden di 34 provinsi, menunjukkan, 92,8 persen responden menyatakan, untuk menjaga kedaulatan wilayah Indonesia, pemerintah perlu berkala menambah alutsista dengan kualitas mutakhir (Kompas, 28/5/2021).
Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Nasdem, Muhammad Farhan, mengatakan, keberadaan kekuatan pokok minimum (MEF) sebenarnya sangat ideal karena di dalamnya mencakup tentang desain kekuatan persenjataan minimal yang harus dimiliki Indonesia sampai 2024. Namun, dengan kondisi saat ini, terutama ketika sejumlah anggaran harus direalokasikan untuk penanganan pandemi Covid-19, semua pihak harus duduk kembali merumuskan solusi terbaik.
”Rapat terakhir kami dengan TNI dan Kemenhan pada 21 Maret 2021 tentang alutsista, belum ada solusi yang jelas karena rapat itu menunjukkan kondisi sekarang sulit untuk memenuhi MEF pada 2024,” katanya saat dihubungi pada Jumat (28/5/2021) dari Jakarta.
Salah satu yang mengemuka dalam rapat, lanjut Farhan, ialah agar ada penambahan anggaran 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Hal itu pun dipandang sulit untuk direalisasikan oleh pemerintah karena kondisi saat ini. Harus juga diingat, anggaran sebesar itu baru dapat direalisasikan ketika pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7 persen.
Oleh karena itu, menurut Farhan, tidak ada jalan lain kecuali Presiden selaku panglima tertinggi TNI memanggil kembali semua pihak, seperti Menteri Pertahanan, Panglima TNI, untuk mendiskusikan kembali apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kondisi alutsista. Selanjutnya, DPR sebaiknya dilibatkan dalam revisi MEF tersebut.
”Harus ada usaha besar dan sadar dari panglima tertinggi untuk merembukkan hal ini dengan Kemenhan dan Panglima TNI, bagaimana MEF ini dirancang ulang,” ujarnya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Suaifullah Tamliha, mengatakan, hampir semua alutsista yang ada saat ini dibeli di masa Presiden Soeharto. TNI di masa sekarang hanya fokus pada pemeliharaan alutsista. Kondisi ini memang tidak ideal karena usia alutsista rata-rata sudah tua. Dalam peran pengawasan, Komisi I selalu mengingatkan kondisi ini.
”Masalahnya sekarang DPR dalam memeriksa anggaran itu tidak bisa sampai pada satuan tiga, hanya pada satuan dua, sehingga kami tidak bisa memastikan apakah alutsista yang dibeli itu original, atau KW 1, KW 2, aau KW 3,” ucapnya.
Dalam beberapa kasus pembelian alutsista, kerap kali alutsista yang dibeli itu tidak berkualitas baik, tidak sesuai dengan kondisi gografis dan demografis Indonesia, atau tidak setara kekuatannya dengan alutsista yang dimiliki oleh negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura.
”Selama zaman Pak SBY ada beberapa alutsista yang dibeli, seperti kapal perang Bung Tomo dan John Lie yang dibeli dari Inggris. Sayangnya, itu juga tanpa amunisi. Ada juga Tank Leopard yang beratnya mencapai 50 ton sehingga ketika melalui jembatan kecil, kemungkinan besar jembatannya akan runtuh. Sekarang itu banyak disimpan di Pasuruan, Jatim,” ucap Tamliha.
Contoh lainnya ialah keberadaan pesawat tempur F-16 sebanyak 33 buah untuk menjaga Ibu Kota negara. Dari 33 pesawat itu, kata dia, hanya 16 unit yang bisa berfungsi baik. Sementara itu, dari 16 unit itu hanya 12 unit yang memiliki amunisi, dan jarak tembaknya pun pendek, yakni 25 kilometer.
”Sementara kalau dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, yang memiliki pesawat dengan jarak tembak sampai 140 km,” ucapnya.
Untuk mengatasi kelemahan itu, menurut Tamliha, mau tidak mau anggaran pertahanan harus ditingkatkan. Selain untuk pertahanan negara, anggaran yang memadai itu diharapkan bisa meningkatkan moral dan daya juang prajurit Indonesia. ”Selain itu juga agar keselamatan pasukan kita terjamin. Jangan sampai belum bertempur, prajurit kita sudah meninggal karena alutsista rusak atau tenggelam,” ujar Tamliha.
Untuk tahun 2021, anggaran pertahanan Indonesia Rp 137 triliun. Angka itu belum mencapai 1,5 persen dari PDB Indonesia. Idealnya, dengan PDB sekitar Rp 13.000 triliun, anggran pertahanan Indonesia bisa Rp 260 triliun. ”Mudah-mudahan dalam APBN tahun depan angka itu dapat dinaikkan, minimal Rp 150 triliun,” katanya.
Dihubungi terpisah beberapa waktu lalu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Christina Aryani, mengatakan, dalam kondisi pandemi, belanja alutsista sebaiknya dilakukan sedapat mungkin dengan mengutamakan hasil produksi BUMN. Di tengah kontraksi pertumbuhan ekonomi diperlukan upaya ekstra untuk mendorong belanja dalam negeri, yakni pengutamaan produk lokal menjadi salah satu jalan keluarnya.
Dalam kesempatan rapat dengan Kemenhan, sejumlah fraksi juga menanyakan bagaimana implementasi peranan Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Lembaga ini, salah satu tugas dan wewenangnya berdasarkan Perpres 59 Tahun 2013, ialah merumuskan mekanisme pembelian alat peralatan pertahanan keamanan hasil industri pertahanan dari luar negeri.
”Kita memiliki undang-undang dan sederet aturan pelaksanaan yang memberikan batasan dalam pengadaan alutsista, apakah persyaratan batasan ini dapat dipenuhi dalam hal pembelian produk bekas walau masih operasional? Kami telah meminta Kemenhan, yang ketika itu diwakili Wamenhan melakukan legal analysis terkait hal ini, jangan sampai pembelian tersebut justru kemudian menimbulkan kerugian bagi pengguna,” katanya.