Anggap Selesai Persoalan Tidak Diundangnya Ganjar, PDI-P Eratkan Konsolidasi
PDI-P menganggap polemik soal Ganjar Pranowo di Jateng, akhir pekan lalu, sebagai dinamika internal parpol yang biasa terjadi. PDI-P kini lebih memikirkan konsolidasi internal dan kohesivitas antarparpol.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menganggap persoalan tidak diundangnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam suatu acara di DPD PDI-P Jateng, akhir pekan lalu, telah selesai. PDI-P kini fokus pada konsolidasi internal, sekaligus membuka diri pada kemungkinan kerja sama dengan sejumlah partai politik lain untuk Pemilu 2024.
Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto dalam diskusi virtual yang digelar PARA Syndicate bertajuk ”Membaca Dinamika Partai dan Soliditas Koalisi Menuju 2024”, Jumat (28/5/2021), mengatakan, peristiwa di Jateng itu merupakan dinamika politik yang biasa. Persoalan itu juga telah dianggap selesai.
”Itu dinamika politik yang biasa. Dulu waktu Pak Jokowi juga terjadi. Ada Ahok, Djarot, dan Risma di Surabaya, itu semua menunjukkan dialektika. Di PDI-P, kami punya kultur mekanisme kepemimpinan untuk mengarahkan dialektika di dalam kesiapsiagaan partai menyongsong pemilu,” katanya.
Saat itu, Hasto menanggapi pernyataan moderator mengenai peristiwa tidak diundangnya Ganjar dalam acara DPD PDI-P Jateng, akhir pekan lalu. Dalam forum itu, Ketua DPP PDI-P Puan Maharani juga hadir memberikan pengarahan kepada kader partai.
Selain Hasto, diskusi virtual juga dihadiri Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno dan peneliti senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), J Kristiadi.
Hasto menegaskan, saat ini partainya fokus membantu pemerintah menuntaskan persoalan Covid-19. Partainya juga melakukan kerja-kerja kepartaian yang berorientasi pada kepentingan rakyat. PDI-P ingin menempatkan diri sebagai partai yang menjalankan politik bukan hanya sebatas kepentingan elektoral, melainkan juga untuk membangun peradaban. Oleh karena itu, konsolidasi internal ataupun eksternal dengan berbagai pihak terus digalang oleh PDI-P, termasuk dengan parpol lain.
”PDI P punya tugas menjaga kohesivitas di internal partai dan antarparpol pendukung pemerintah. Kami diuntungkan tidak ada agenda yang memecah konsolidasi terkait UU Pemilu. Kami sepakat menggunakan UU Pemilu yang lama karena skala prioritas pemerintahan saat ini bagaimana berkonsentrasi mengatasi dampak pandemi Covid-19 dengan berbagai variannya. Sebab, dampaknya sangat serius, khususnya pada perekonomian rakyat,” tuturnya.
Di sisi lain, PDI-P menyadari, 2024 adalah masa terjadinya regenerasi politik. Sesuai konstitusi, Jokowi hanya dua kali menjabat sehingga regenerasi itu tidak terhindarkan. Dalam prosesnya, lanjut Hasto, PDI-P mengedepankan pemilihan pemimpin bukan berdasarkan faktor elektoral dan popularitas semata, melainkan juga mengukur keteguhan pada prinsip.
”Bukan orang yang populer, tetapi takut mengambil keputusan berani soal bagaimana menjaga toleransi dan kebinekaan kita, dan merongrong kewibawaan negara, atau radikalisme dan keinginan mengganti ideologi Pancasila. Kita perlu pemimpin yang kokoh,” ucapnya.
Menanggapi pertanyaan wartawan mengenai sinyal ajakan koalisi yang dilontarkan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, Kamis lalu, Hasto menanggapinya dengan positif. Ajakan dari Muzani itu disambut hangat karena selama ini hubungan kedua partai juga bagus.
Hubungan antara Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri juga selama ini terjalin baik. PDI-P pun membuka diri terhadap kerja sama dengan pihak-pihak lain sepanjang ada kesamaan ideologi, dan mekanisme kerja, serta platform dan cita-cita bersama.
”Kami membuka diri dengan pernyataan dari Pak Muzani karena melihat juga kedekatan hubungan antara Bu Megawati dan Pak Prabowo. Selain itu, ada pertimbangan ideologi, kedekatan program, kesamaan basis massa, dan potensi untuk memperluas basis massa strategis,” katanya.
Namun, ia menyebut partainya juga terbuka untuk kerja sama dengan partai-partai lain selain Gerindra, seperti PAN, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), ataupun kolaborasi dengan elemen lain, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Semua kerja sama itu dilakukan atas dasar kesamaan tujuan membangun bangsa dan negara. Sebaliknya, Hasto menegaskan, partainya tidak memiliki kesamaan ideologi dan platform dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat sehingga koalisi atau kerja sama dengan kedua partai itu tidak dapat dilakukan.
Sebelumnya, Muzani menyatakan, kerja sama dengan PDI-P dalam Pemilu 2024 terbuka karena selama ini hubungan antara Prabowo dan Megawati baik. Melalui rapat pimpinan nasional (rapimnas) dan kongres luar biasa pada 2020, kader Gerindra menyuarakan keinginannya agar Prabowo kembali maju pada Pilpres 2024. Namun, Muzani menegaskan, Prabowo belum menyampaikan kesediaannya.
Hilangkan politik identitas
Eddy Soeparno mengatakan, regenerasi politik 2024 tidak terhindarkan. Namun, PAN menyerukan agar Pemilu 2024 tidak lagi terjebak pada politik aliran dan identitas yang membelah dan tidak mencerdaskan. PAN mendukung dikembangkannya politik gagasan.
”Kita telah merasakan dampak dari politik identitas di Pilkada DKI Jakarta dan Pilpres 2019. Kalau elite ini mudah bersatu, tetapi tampaknya yang di bawah ini, kok, sulit. Ini membutuhkan waktu untuk menyembuhkan luka tersebut. Capres dan cawapres yang bersaing pun sekarang sudah bergabung dalam kabinet. Oleh karena itu, jangan kembali terjebak dalam politik identitas dan aliran tersebut,” kata Eddy.
Sementara itu, J Kristiadi mengatakan, selain konsolidasi internal dan antarparpol, parpol di Indonesia harus pula melakukan konsolidasi wawasan dan ideologi. Bentuk konsolidasi wawasan ini tergantung pada kebijakan-kebijakan internal di partai, yakni dengan kian mendekatkan pemilih (rakyat) dengan wakil yang dipilihnya. Partai diharapkan tidak melulu memikirkan kontestasi politik, tetapi juga kemaslahatan dan kepentingan rakyat.